"Damian, mana uangnya?" tanyaku setengah berteriak. Menengadahkan sebelah telapak tangan di depan Damian yang masih menatap tespeck.
"Sebentar, aku masih gak nyangka kalau kamu hamil. Ck, luar biasa."
"Mana uangnya, Damian Adiwilaga?"
Damian menoleh, menghela napas berat.
"Sebentar dulu. Kamu jadi cewek matre amat?"
"Harus. Jadi cewek harus matre. Cepetan, mana uangnya?"
"Iya, sebentar."
"Sekarang! Enggak ada sebentar-sebentar. Cepetan, mana uangnya?" desakku tak sabar. Bukan apa-apa, lusa jatuh tempo utang bapak. Aku harus segera melunasinya sebelum juragan itu menculik dan menghabisi nyawa bapak.
"Iya, ini mau ditransfer. Dasar cewek matre!"
"HARUS."
Damian mengeluarkan handphone, aku pun meraih handphone yang tergeletak di atas meja rias.
"Sudah aku transfer."
Senyumku mengembang melihat sejumlah uang yang masuk ke dalam rekening.
"Makasih, ya? Semoga aja calon bayi ini lahir dengan selamat dan sehat. Aamiin."
Aku sungguh bahagia. Penantian yang kami tunggu selama 3 bulan pernikahan, akhirnya membuahkan hasil. Besok akan aku bayar semua utang-utang bapak terutama pada Juragan Norman. Enak saja, tua bangka itu memintaku menjadi istri kelimanya hanya karena bapak mempunyai utang. Dari pada menikah dengan tua bangka, lebih baik menikah dengan Damian. Meski bos mafia yang ditakuti banyak orang, nyatanya dia tidak jahat padaku.
"Sekarang kita ke rumah sakit. Aku pengen tau, berapa usia kandunganmu?"
"Siap. Oh ya, jatah uang bulananku harusnya ditambahin dong."
"Ditambahin? Buat apa lagi?"
Bibirku mengerucut mendengar tanggapan Damian. Sepertinya dia tidak suka aku minta uang tambahan lagi.
"Aku sekarang lagi hamil. Katanya wanita hamil banyak maunya. Kalau maunya enggak cepet-cepet dikabulin, nanti anaknya jadi ileran. Emang kamu mau, punya anak ngiler begini?" Langsung kuprakterkan orang yang suka ngiler. Damian jijik melihatku. Aku menahan tawa, mengekspresikan orang yang suka mengeluarkan iler.
"Eh, stop! Kamu jangan kayak gitu. Jelek."
Terkekeh melihat reaksi Damian.
"Jadi gimana? Mau ditambahin gak jatah uang bulananku?" Menyenggol lengan Damian. Lelaki itu menghela napas berat, mengacak rambut.
"Ya udah, nanti aku tambahin jatah bulananmu tapi please, jangan buat anakku ileran."
"Siap, Bos."
Aku bersorak dalam hati. Senang rasanya, punya banyak uang. Aku harus mengumpulkan banyak uang supaya ketika pernikahan kami sudah selesai, tidak jatuh miskin, tidak dihina sama orang-orang kampung. Di kampung, orang yang banyak uang lebih dihormati ketimbang orang yang cerdas tapi miskin.
"Dasar cewek matre!"
"Bodo amat," kataku melengos, mengganti pakaian, bersiap ke rumah sakit memeriksakan kandungan.
Sepanjang jalan menuju rumah sakit, diantara kami tidak ada yang bicara. pandangan Damian lurus ke depan. Mau tanya, tapi segan. Dia terlihat berwibawa jika di luar kamar. Kalau di dalam kamar, tingkahnya seperti orang bodoh.
Sampai di rumah sakit, aku dan Damian langsung ke ruangan dokter kandungan setelah salah satu bodyguard Damian mendaftarkan jadwal pemeriksaan kandunganku.
"Selamat Pak Damian. Istri Anda positif hamil. Saat ini, usia kandungannya baru tiga Minggu. Tolong dijaga kondisi ibu dan calon bayinya," ucap dokter kandungan bernama Herna.
"Baik, dok," sahut Damian antusias.
Mengelus perut yang belum terlihat membuncit. Anak ini akan membawa keberuntungan. Setelah melahirkan, menyerahkan anak ini pada Damian, aku akan kembali kuliah di luar kota. Tidak masalah meski usiaku sudah 25 tahun. Aku berharap masih ada kampus yang mau menerima. Paling tidak, bisa merasakan diwisuda dan mendapat gelar sarjana.
Aku ingin menunjukkan pada mereka yang telah menghina dan merendahkan bahwa aku si cerdas yang miskin bisa menempuh pendidikan tinggi. Setelah itu, akan mencari pekerjaan di perusahaan besar. Kelak, masa depanku pasti lebih baik.
Dokter tidak hanya menyarankanku menjaga kandungan, tapi memberi saran dan larangan yang dilakukan suami istri selama aku hamil. Damian sempat terkejut ketika dokter menyarankan agar berprilaku lemah lembut ketika melakukan hubungan. Aku tersenyum miring melihat reaksi Damian. Dia biasanya melakukan hubungan cukup kasar walaupun tidak menyakitiku tapi membuat sekujur badan pegal-pegal.
"Jadi harus pelan-pelan, dok?"
"Iya, Pak. Soalnya kandungan Ibu Salsa masih muda. Sangat rentan."
Damian meringis, menganggukkan kepala. Aku melipat bibir, menahan tawa.
Setelah dari rumah sakit, Damian mengajak ke salah satu swalayan. Hatiku sangat bahagia, 3 bulan dikurung di dalam rumah, akhirnya bisa jalan-jalan. Jangan lupa, di belakangku ada 2 bodyguard yang mengikuti kami kemana pun pergi. Ekspresi wajah Damian begitu kaku dan menyeramkan. Andai orang-orang melihat Damian di dalam kamar, pasti mereka tak menyangka. Damian yang bodoh dan manja.
"Kamu beli s**u ibu hamil yang banyak. Buah-buahan yang banyak." Perintah Damian langsung aku laksanakan. Dua bodyguard itu mengambil trolli. Bagai kesetanan mengambil semua yang kuinginkan. Selagi Damian mengajak belanja, harus aku manfaatkan kesempatan ini. Walaupun tiap bulan dikasih jatah uang, tapi aku belum pernah menggunakannya. Uang yang diberi Damian, selalu ditabung.
"Aku mau cokelat. Boleh 'kan?"
"Boleh. Ambil saja."
Akhirnya aku bisa membeli apapun yang tanpa memikirkan bagaimana membayarnya. Sungguh membahagiakan.
"Setelah ini aku mau mengajakmu ke butik. Malam nanti, aku akan mengajakmu ke rumah. Menemui kedua orang tuaku."
"Buat apa?"
Jujur saja, aku paling tidak nyaman berada di tengah keluarga Damian. Cara bicara mereka sangat sombong. Pakaian mereka pun sangat mewah. Aku tidak suka mengenakan pakaian glamour apalagi make up tebal. Sangat tidak nyaman.
"Buat apa? Bukan buat apa. Aku mau kasih tau mereka kalau kamu lagi hamil."
"Oh itu, okelah."
Usai ke swalayan membeli beraneka macam minuman dan makanan, Damian mengajakku ke butik ternama. Di sana ia menyuruh memilih pakaian atau gaun yang aku suka. Diperlakukan seperti ini, aku merasa seperti putri Raja.
"Nanti dari sini, kita ke salon. Aku ingin kamu tampil cantik saat bertemu dengan keluarga besarku."
Hah? Salon. Apa tidak berlebihan?
"Dam, ngapain ke salon? Aku bisa make-up sendiri kok."
"Aku gak suka mereka merendahkanmu lagi."
Seketika, ingatanku melayang saat pertama kali bertemu dengan keluarga Damian. Mereka menganggapku rendah hanya karena dari kampung. Sempat kesal karena Damian hanya berdiam diri. Tidak membelaku sama sekali.
"Oke. Nanti malam aku akan membuat mereka takjub melihatku."
***
Malam hari, kami tiba di rumah keluarga besar Damian. Rumah yang bisa dikatakan seperti istana. Sangat mewah dan megah. Damian menyuruh tanganku menggamit lengannya.
"Harus begini, Dam?" tanyaku melirik tangan yang sudah menggamit lengannya.
"Iya, Sayang. Kita harus terlihat romantis."
Ck, pembohongan publik.
"Oke. Aku suka akting, tapi aktingku enggak gratis. Kamu harus membayarnya. Oke?"
Damian menoleh, aku tersenyum manis.
"Cewek matre, mata duitan."
"Harus. Jadi cewek harus matre, harus mata duitan. Pokoknya aku gak mau tau, kamu harus membayar aktingku malam ini. Oke, Sayang?" kataku memamerkan senyum manis.
"Ck, iya, iya."
Hatiku kembali bersorak riang.
Semua mata yang berada di ruang keluarga mengarah pada kami. Aku semakin mengeratkan gamitan tangan pada lengan Damian. Raut wajah keluarga ini sangat menyebalkan. Menatapku tak suka kecuali si Ferdi. Bibir Ferdi tak henti mengulas senyum, bahkan ia sempat mengerlingkan sebelah mata. Menjijikan.
Sebenarnya Ferdi sudah menikah dan mereka sudah dikaruniai anak. Anak hasil hubungan di luar nikah. Gara-gara Ferdi punya anak, Damian ingin menikah juga dan ingin punya anak. Tak peduli wanita mana yang bersedia mengandung benihnya, yang penting masih perawan.
"Malam semua." Sapaan Damian tak ada yang menanggapi.
"Duduklah, Damian! Sebentar lagi, Oma !akan mempertemukanmu dengan seorang gadis yang cantik dan berpendidikan tinggi."
Tanpa basa-basi, wanita tua yang mengenakan banyak perhiasan itu mengatakan kalimat yang membuatku dan Damian terkejut setengah mati.
"Maksud Oma apa?"