Aku dan Damian sangat terkejut. Maksudnya apa Oma berkata demikian? Apa jangan-jangan Damian mau dijodohkan? Kalau dia jodohkan dengan gadis lain, lalu aku bagaimana? Meskipun pernikahan kami hanya kontrak, tapi aku tidak mau dipoligami.
"Kamu gak perlu ikutan kaget, Salsa. Harusnya kalian itu enggak menikah. Kamu juga, Damian. Kenapa menikah enggak izin dulu pada kami? Tau-tau bawa istri kampungan ke sini."
Astaghfirullah, sabar, Salsa.
Aku tidak boleh terpancing emosi. Harap maklum, oma usianya sudah tidak lagi muda. Wajar saja kalau jiwanya cepat emosi.
"Aku lebih baik menikah dengan gadis kampung tapi masih perawan daripada menikah dengan gadis kota tapi udah gak perawan."
Aku tersenyum bahagia mendengar pembelaan yang dilontarkan Damian. Tanpa malu, kukalungkan kedua tangan pada lehernya. Sengaja, aku bergelayut manja di hadapan keluarga sombong itu.
"Damian, jaga bicaramu! Bicaramu enggak sopan, Nak."
Kali ini yang bicara ibu mertuaku. Ibu mertua yang selama tiga bulan menjadi menantunya, tidak pernah satu kalipun menyapaku.
"Oma juga enggak sopan pada istriku, Mah. Sayang, sekarang kamu tunjukin pada mereka surat keterangan dari dokter kandungan yang menyatakan kalau kamu positif hamil."
Masya Allah, andai saja di rumah sikap dan bicara Damian seperti ini, hatiku pasti langsung meleleh, langsung jatuh cinta padanya. Kenapa sih, Dam? Kalau di rumah bicaramu ketus terus? Kadang terdengar bodoh?
"Oke, Sayang." Mengambil surat keterangan dari dokter kandungan dari dalam tas, lalu meletakkan di atas meja. "Ini suratnya." Aku kembali duduk di atas pangkuan sang suami. Damian Adiwiguna.
Oma dan ibu mertua saling pandang. Begitu pula adik tiri Damian, Ferdi dan istrinya tampak gusar. Aku tahu, mereka pasti khawatir kalau harta kekayaan keluarga Adiwiguna jatuh ke tangan Damian.
"Ja-jadi benar, sekarang kamu lagi hamil?" Jenny, istri Ferdi bertanya. Wanita itu penampilannya sangat glamour. Kedua tangannya dipenuhi perhiasan. Belum lagi jari manisnya, berlian yang berkilau. Sementara aku, hanya punya cincin nikah saja. Bukan berlian tapi emas biasa.
"Iya, Jenny. Aku sekarang hamil. Alhamdulillah udah tiga Minggu," jawabku sembari tersenyum manis.
Sikap Jenny dan Ferdi semakin gelisah. Begitu pula Ibu mertua. Ia mulai mengubah posisi duduk ketika oma membaca surat keterangan dokter.
"Damian, apa kamu yakin, kalau janin yang ada di dalam kandungan Salsa adalah benihmu?"
Astaghfirullah, nenek-nenek satu ini mulutnya selalu saja berkata sembarangan. Dia pikir aku perempuan murahan?
"Sangat yakin, Oma. Aku bisa pastikan kalau anak yang dikandungnya adalah darah dagingku. Kalau Oma dan yang lainnya enggak percaya, enggak masalah. Terpenting bagiku, papah dan opa. Kalau mereka sudah pulang dari luar negeri, aku akan secepatnya menyampaikan kabar gembira ini."
Suara Damian terdengar sangat tegas dan berwibawa. Aku yang duduk di atas pangkuannya semakin kagum dan bangga menjadi istri kontrak Damian.
Sepersekian menit tidak ada yang bicara. Hingga salah satu asisten rumah tangga keluarga Adiwiguna tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan.
"Ada apa, Bi?" tanya Oma pada wanita yang usianya mungkin setengah abad.
"Mohon maaf, Nyonya besar. Non Chika sudah ada di depan."
"Oh dia udah datang? Bibi suruh dia langsung masuk saja."
Raut wajah oma dan ibu mertua sumringah. Apakah Chika itu yang akan dijodohkan dengan Damian? Semoga saja bukan ya Allah.
"Oma, Tante, selamat malam. Hai, Jenny, Ferdi, senang bertemu kalian lagi."
Wanita yang bernama Chika sudah masuk ke dalam ruangan. Semua keluarga ini sangat berbahagia dengan kedatangan wanita berpakaian seksi itu kecuali Damian.
Aku menggelengkan kepala melihat penampilan Chika yang mengenakan pakaian kurang bahan apalagi belahan dadanya yang sengaja ditonjolkan. Aku sangat risih melihatnya. Melirik Damian, suamiku itu membuang wajah ke arah lain.
"Damian, apa kamu masih ingat dengan Chika? Dia teman masa kecilmu waktu kita masih tinggal di Bandung, Dam. Coba dong, kamu lihat ke sini!" Oma memberi perintah tapi Damian tetap bergeming.
"Eh, Salsa. Apa kamu gak bisa duduk di sana aja? Jangan di atas pangkuan Damian terus dong! Bikin risih aja lihatnya."
Ya Allah tuh mulut adik ipar, sangat tajam. Aku berdiri, mengulas senyum tipis, tapi Damian menyuruhku duduk di atas pangkuannya lagi.
"Istriku enggak boleh duduk di sofa manapun. Dia hanya boleh duduk di atas pangkuanku. Kalau kamu iri, mintalah sama Ferdi untuk memangkumu."
Mantap Damian.
Malam ini dia benar-benar membelaku. Tidak seperti awal-awal menikah. Mereka menghina dan merendahkanku, Damian justru memilih diam.
"Siapa yang iri? Iri sama perempuan kampung itu? Dih, males banget." Jenny mencebik, bersidekap.
"Damian, pasti kamu masih ingat aku 'kan?"
Suara Chika sangat mendayu. Wanita itu duduk di sofa dekat oma. Aku hanya menghela napas berat, menoleh pada Damian yang pandangannya entah kemana.
"Sorry, aku udah lupa."
Kedua mataku membulat mendengar jawaban Damian.
Damian menyuruhku berdiri.
"Sayang, sekarang kita pulang. Jangan lama-lama tinggal di sini. Aku enggak mau, calon anak kita terpapar sifat sombong seperti mereka."
Hatiku bagai melayang-layang mendengar ucapan Damian. Kali ini dia benar-benar berada di pihakku. Sudah sangat jelas, ketidaksukaan Damian pada keluarga ini. Aku sangat yakin, mereka pasti sakit hati atau minimal tersinggung mendengar ucapan Damian.
"Iya, Sayang. Apapun perintahmu, aku pasti akan menuruti." Aku menimpali sambil menyelipkan tangan pada lengan Damian.
Ekspresi wajah mereka semua sangat menyebalkan. Terlihat sangat tidak suka padaku. Tetapi, aku tidak peduli.
"Damian, tunggu!"
Panggilan Chika membuat langkah kami terhenti. Aku menoleh ke belakang, sedangkan Damian pandangannya lurus ke depan seolah tak ingin menatap Chika yang sudah berpenampilan sangat seksi.
"Dam, kenapa kamu menikah diam-diam? Kenapa wanita yang kamu nikahi, wanita yang enggak selevel sama keluargamu, Dam? Aku enggak nyangka deh, bos mafia sepertimu, selera istrinya sangat rendah dan kampungan."
Aku merunduk, hanya bisa pasrah. Bisa saja aku melawannya, tapi di sini aku harus bisa menjaga nama baik Damian. Kalau aku dan Chika sampai ribut, pasti Damian lagi yang disalahkan. Lebih baik aku diam saja. Tidak perlu menanggapi hinaan Chika.
"Damian, ngomong dong! Apa kamu udah enggak cinta lagi sama aku?"
Damian mendongak, membalas tatapan Chika. Apa mungkin, sebelumnya mereka pernah menjalin suatu hubungan khusus?
"Enggak. Aku udah enggak cinta kamu lagi. Aku sekarang udah punya istri." Jawaban tegas Damian membuat hatiku berdesir. Baru sekarang aku mendengar kalimat indah yang meluncur dari mulut Damian.
Chika mencebik. Ia tampak tak percaya.
"Mana mungkin kamu enggak cinta aku? Lihat aku, Damian! Aku ini jauh lebih seksi dan jauh lebih cantik dari istrimu. Lihat, Damian! Lihat aku!"
Aku memejamkan kedua mata sejenak, menarik napas, menetralisir emosi yang mulai menguasai jiwa. Aku sangat muak melihat tingkah Chika yang genit. Kalau bukan karena menjaga nama baik Damian, sudah kujambak rambutnya sampai rontok. Menyebalkan sekali si Chika padahal kecantikannya hanya karena make-up.
"Mungkin benar, menurut sebagian lelaki kamu lebih cantik dan lebih seksi dari istriku. Tapi, bagiku, sangat percuma. Kecantikan dan keseksian tubuhmu itu sudah banyak lelaki yang mencicipinya termasuk si Ferdi. Bukan begitu, Ferdi?"