Aku merasa kepalaku sedikit pusing dan perut yang perih. Ah ya, kemarin aku tidak sempat makan malam karena terlalu khawatir dan sibuk mengurusi Attar. Aku lihat Bi Marni dengan cekatan mengelap tubuh gempal bayi itu dengan air hangat, memakaikan baju dan menyuapinya.“Ibu sebaiknya makan dulu Bu, itu di nakas sudah ada sarapannya,” ucap Bi Marni sambil menunjuk ke arah nakas samping tempat tidur.
“Oh?” ucapku agak sedikit linglung sambil melihat ke arah nakas. Sudah tersedia segelas s**u coklat dan semangkuk bubur ayam.
“Bibi lain kali gak usah repot bawain sarapan saya kesini ya. Saya masih kuat turun ke bawah kok,” ucapku.
“Ih,bukan bibi lho Bu yang bawain, tapi Bapak.”
Apa? Mas Zaidan yang menyiapkan sarapan untukku? Batinku tak percaya.
“Beneran, Bi?”
“Ya bener atuh Bu, masa bibi bohong.”
Ya Allah, kenapa dengan suamiku? Mau tak mau aku mengulas senyum tipis di bibirku. Mungkin ini cara dia berterima kasih karena kamu sudah mau menjaga anaknya yang sakit semalaman, Ela. Jangan punya prasangka yang lebih, nanti kamu sakit sendiri menerima kenyataan yang tidak sesuai, batinku. Aku pun segera bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk mencuci muka kemudian melahap sarapanku.
===
Hari ini aku memutuskan untuk berada di rumah saja. Tidak mungkin setelah kejadian kemarin, ditambah sindiran tajam Mas Zaidan aku berani meninggalkan rumah, walau hanya ke butik. aku pun masih was-was jika berjauhan dengan Attar. Aku sedang menyiapkan makan siang dengan Bi Eti. Ketika sedang menyimpan masakan di meja makan, Bi Marni datang habis menjemput Qia dari sekolahnya.
“Assalamu’alaikum,” ucap mereka serempak.
“Wa’alaykumussalam,” jawabku. kemudian Qia mengambil tangan kananku untuk dicium.
“Gimana tadi di sekolah, seneng nggak?” tanyaku berusaha membuka obrolan.
“Seneng kok, Tante.”jawabnya agak sedikit cemberut.
“Loh jawabnya seneng tapi kok mukanya cemberut sih, Sayang?”ucapku sambil menoel pipinya.
“Itu Bu, tadi pagi Qia mau rambutnya dikepang sebelum ke sekolah, Bapak gak bisa ngepangin dan Qia gak mau dikepangin sama saya, maunya sama ibu,” bisik Bi Marni padaku. Aku hanya ber”oh” ria sambil menganggukan kepala. Ini gara-gara aku bangun terlambat. Memang aku lihat rambut Qia yang mulai panjang agak sedikit acak-acakan jika pulang sekolah, makanya beberapa hari terakhir ini aku selalu mengepang rambutnya dan menghiasnya dengan pita atau jepitan lucu.
“Tante minta maaf ya, Sayang. Tadi tante bangun terlambat soalnya semalem jagain Dek Attar yang lagi sakit. Kasian kan Dek Attar, Kak Qia jangan marah ya. Ya, ya, nanti cantiknya hilang loh.” Kulihat wajahnya belum menunjukkan perubahan ekspresi. Aku pun mencari akal, “Eh, Tante udah masakin udang goreng sama puding cokelat kesukaan Qia loh.”
Seketika ekspresinya langsung berubah, dari cemberut menjadi sumringah. “Wah, asyik! Ayo cepet Tante kita makan,” ajaknya sambil menarik-narik tanganku menuju meja makan.
“Eh, tunggu dulu! Kita ganti baju dulu terus abis itu makan. Bi, saya titip Attar sebentar ya.”
“Baik, Bu.”
===
Sore harinya aku menemani Qia yang sedang menonton kartun di ruang tengah sambil menggendong Attar. Alhamdulillah, kondisi Attar berangsur membaik sehingga aku tak perlu membawanya ke dokter. Qia sangat antusias menonton kartun beruang cokelat besar dan gadis kecil berkerudung di televisi. Tak lama, tayangan pun habis dan berganti berita sore.
“Eh, kak ada PR nggak dari Bu Guru? ”tanyaku.
“Hmm…Qia lupa, Tante,” jawabnya.
“Coba gih bawa tasnya Qia kesini, kita periksa sama-sama.”
Ia pun bergegas ke kamarnya dan tak lama turun dengan menenteng tas gendong berwarna oranye. Kemudian ia mengeluarkan buku tulis dan tempat pensilnya. Aku kemudian membuka buku-bukunya dan benar saja ada PR mewarnai gambar dan menulis beberapa kata dan kalimat. Aku pun memintanya mengerjakan semua PR nya agar malam bisa sedikit santai. Ketika sedang mengawasi Qia mengerjakan PR, tetiba suara seseorang mengucapkan salam mengejutkanku.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawabku. Ternyata orang itu adalah Mas Zaidan. Tumben sekali dia pulang cepat. Aku pun segera mengambil tangannya untuk kucium.
“Tumben Mas, jam segini udah pulang?”
“Iya,saya sengaja pulang cepet khawatir sama kondisi anak-anak di rumah,” jawabnya.
“Anak-anak di rumah insya Allah aman kok, kan ada aku sama bibi.”
“Tapi aku masih takut kejadian kemarin terulang lagi. Aku gak mau anak-anakku kenapa-napa,” ucapnya datar, namun seperti biasa, tajam.
Aku hanya mendengus malas mendengar perkataannya. Jika aku memiliki watak yang sama, maka kami akan ribut di depan anak-anak. Aku berusaha sabar sambil berkata, “Demam pada anak bayi itu wajar Mas, sistem imun mereka kan belum seperti kita. Mending sekarang Mas mandi terus ganti baju sebelum main sama anak-anak. Mas datang dari luar juga bisa bawa virus dan bakteri,” ucapku. kemudian ia pun menuruti perkataanku, untunglah dia tidak membalas lagi.
===
Aku sedang menyiapkan bubur kacang hijau yang telah aku masak semalam untuk sarapan pagi ini. Bi Marni sedang menjaga Qia dan Attar di meja makan. Tak lama setelah buburnya siap, aku membawanya ke meja makan. Khusus untuk Qia aku beri di mangkuk kecil, sedangkan untuk ayahnya aku beri di mangkuk yang agak besar.
“Nah, makan dulu buburnya, Kak,” ucapku pada Qia. Kemudian ia pun memakan buburnya dengan lahap.
“Pelan-pelan, Kak,” ucapku.
Tak lama kemudian, Mas Zaidan turun dengan menenteng tas kerjanya. Ia segera duduk di kursinya, lalu memakan sarapannya. Ketika kami sedang asik dengan sarapan masing-masing tiba-tiba terdengar suara seseorang mengucapkan salam dari arah luar. Aku meminta tolong Bi Marni agar membukakan pintu.
“Assalamu’alaikum, eh masih pada sarapan.”
“Wa’alaikumussalam. Eh, Teh Rania.” Ternyata Teh Rania, kakaknya Mas Zaidan yang datang.
“Ayo, sarapan dulu Teh bareng kita,” ajakku lalu aku meminta Bi Marni mengambilkan bubur kacang hijau di dapur.
“Tumben kesini pagi-pagi, ada apa, Teh?” tanya Mas Zaidan .
“Ini, Sabtu ini ada acara nikahan sepupu kita yang di Jakarta, mereka ngadain resepsinya di Bali,” ucap Teh Rania sambil menunjukkan sebuah undangan berwarna coklat dan berpita warna gold.
“Nah, kalian aja berdua ya yang datang mewakili keluarga kita. Yah, itung-itung sekalian bulan madu gitu, Dan,” lanjut Teh Rania kemudian menyuapkan lagi sesendok bubur ke dalam mulutnya.
“Aku ga bisa Teh, lagian Attar baru aja sembuh dari demam kemarin. Ga enak aku ninggalin anak-anak,” jelas Mas Zaidan lalu kembali menyantap buburnya.
“Ini perintah ayah loh, Dan. Udah sih tenang aja, anak-anak biar teteh sama ayah yang jaga, ada Bi Marni juga. Iya kan Bi?”Tanya Teh Rania pada Bi Marni. Bi Marni yang mendengar hanya tersenyum sambil mengangguk.
Setelah menghabiskan satu mangkuk bubur, Teh Rania segera pamit izin pulang, “Pokoknya teteh gak mau tau ya Dan, kamu sama Ela harus pergi ke Bali. Ga enak kan kalo dari keluarga kita gak ada perwakilan yang datang. Oke?”
“Hmmm…” gumam Mas Zaidan.
“Ela, teteh pamit dulu ya, makasih buburnya. Sering-sering aja kamu masakin bubur kacang ijo, itu kesukaannya Zaidan,” ucap Teh Rania sambil mengedipkan mata.
Aku hanya tersenyum mengangguk kemudian menatap kepergian kedua kakak beradik itu dari teras. Teh Rania kembali ke rumahnya sedangkan Mas Zaidan pergi ke kantor.
===
Saat ini aku dan Mas Zaidan sedang berada di Bandara Ngurah Rai Bali, menunggu supir jemputan yang sudah diutus keluarganya untuk menjemput kami di bandara. Tak lama seseorang menghampiri Mas Zaidan dan mengaku sabagai supir utusan keluarganya, kami berdua mengikutinya dan masuk ke dalam sebuah mobil hitam.
Pergi jalan ke luar kota berdua dengan Mas Zaidan seperti berjalan dengan patung hidup. Tidak ada ekspresi, datar, apalagi suara. Sepasang suami istri yang terasa seperti orang asing. Aku pun enggan memulai percakapan apapun dengannya. Perjalanan dari rumah menuju bandara, di pesawat hingga kini, hanya keheningan yang menyelimuti kami. Jika tidak ada sesuatu yang mendesak, lelaki itu tidak akan membiarkan pita suaranya bekerja.
Padahal tadi di pesawat aku melihat pasangan-pasangan yang begitu mesra, ya mungkin mereka akan berbulan madu. Interaksinya membuatku iri, kapankah aku bisa seperti itu. Tak terasa mobil yang kami tumpangi sudah tiba di hotel. Aku dan Mas Zaidan segera turun dan check-in. Begitu tiba di kamar aku langsung merebahkan tubuhku di kasur. Rasanya nyaman sekali. Mataku lambat laun terasa berat dan akhirnya terpejam membawaku ke alam mimpi.
===
Resepsi pernikahan sepupu Mas Zaidan diadakan di sebuah café yang berdekatan dengan pantai. Acara diadakan pukul 19.00 malam. Sehabis shalat maghrib, aku sedang bersiap-siap merias diri, secara sederhana dan tidak berlebihan karena aku tidak ingin digolongkan dalam wanita yang bertabarruj. Oleh karena itu, aku hanya mengulas make up tipis agar tidak terlalu pucat. Aku menggunakan gamis khusus pesta rancanganku sendiri berwarna gold dan dilengkapi hijab dengan warna senada.
Sedangkan Mas Zaidan yang sudah terlebih dahulu siap sudah menunggu di lobi hotel. Ia juga menggunakan kemeja putih dengan dasi berwarna gold dan jas hitam yang membalut tubuh tegapnya. Alhamdulillah, untung saja ia tidak menolak pakaian yang aku siapkan. Setelah memastikan semuanya oke, aku pun turun ke lobi. Di sana aku melihat Mas Zaidan sedang berbincang-bincang dengan seorang lelaki dan perempuan berhijab.
“Mas!” panggilku.
“Elana? Bener kan ini Ela?” ucap perempuan berhijab itu kepadaku. Aku pun mencoba mengingat-ingat siapa perempuan di depanku ini.
“Ya Allah, Zahra, kan?”
“Iya, Zahra,” jawabnya senang. Kami pun berpelukan erat. Zahra adalah salah satu teman dekatku sewaktu kuliah dari semester satu. Zahra juga adalah teman satu jurusan Mas Zaidan sewaktu kuliah. Meskipun kami berbeda jurusan, tetapi itu tidak menghalangi kami untuk berteman dekat, sayangnya kejadian enam tahun lalu membuatku kehilangan kontak dengannya. Zahra mengenal aku dan Mas Zaidan juga mengetahui masa lalu yang terjadi diantara kami.
“Oh iya, kenalin ini suami aku La, namanya Mas Raffi,” ucapnya. Aku pun hanya tersenyum mengangguk sambil menangkupkan kedua tanganku di depan d**a.
“Elana.”
“Raffi. Saya juga teman Zaidan di kantor, La.”
“Kok kalian bisa barengan sih, Dan, La?” tanya Zahra heran.
“Iya, kita ada acara nikahan sepupunya Mas Zaidan disini, Ra,” jawabku.
“Hah? Mas? Kenapa kamu manggil Zaidan pake sebutan Mas? Jangan-jangan ...” tanya Zahra yang seolah heran dengan panggilanku pada Mas Zaidan.
“Iya, aku dan Zaidan udah nikah, Ra,” ucapku.
“Ya Allah, ternyata jodoh gak kemana ya. Akhirnya kalian bersatu juga,” ucap Zahra.
“Hmmm…Raffi, Zahra maaf kita duluan ya, mungkin lain kali kita ngobrol lagi, soalnya udah mau mulai acara resepsinya”ucap Mas Zaidan sambil menunjuk pada jam tangannya.
Aku dan Mas Zaidan pamit setelah aku bertukar nomor ponsel dengan Zahra. Kami memasuki mobil yang telah disiapkan dan meluncur ke tempat resepsi.
===
Suasana resepsi sangat meriah. Tema yang diusung kedua mempelai adalah modern internasional dengan warna dominan gold, sesuai juga dengan dresscode para tamu. Hal yang aku khawatirkan semenjak pergi dari rumah adalah respon keluarga besar Mas Zaidan. Aku agak sedikit takut, apakah mereka bisa menerimaku? Untungnya, kekhawatiranku alhamdulillah tidak terbukti, sejak awal memasuki area pesta dan Mas Zaidan memperkenalkanku sebagai istrinya, semua keluarganya bersikap sopan, ramah dan baik padaku. Aku pun merasa sangat bersyukur dan lega.
Kedua mempelai terlihat sangat bahagia, terlihat pancaran cinta dari kedua mata mereka. Mereka pun tersenyum bahagia sambil menyalami para tamu undangan. Aku hanya bisa ikut bahagia mengamati mereka dari meja tempatku saat ini. Aku iri pada mereka. Bukan, bukan iri pada kemeriahan pestanya, tetapi karena mereka bisa saling mencintai dengan tulus. Kapankah saat itu tiba untukku ya Allah?
===
Aku sedang menikmati semilir angin pantai di balkon hotel yang kami tempati. Acara pesta sudah selesai pukul 21.00. Aku dan Mas Zaidan langsung kembali begitu pesta usai. Saat ini aku sendirian di kamar. Ketika tiba di kamar dan selesai berganti pakaian, Mas Zaidan langsung pergi lagi, entah kemana. Aku berdzikir dalam hati sambil menatap indahnya langit berhiaskan bintang-bintang. Seketika aku teringat surat Al Mulk yang Rasulullah SAW anjurkan baca sebelum tidur. Aku pun membacanya perlahan sambil membaca arti tiap ayatnya diiringi suasana malam.
“yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan yang Maha pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?”
“kemudian ulangi pandangan(mu) sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu tanpa menemukan cacat dan ia (pandanganmu) dalam keadaan letih.”
“Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar setan , dan Kami sediakan bagi mereka azab yang menyala-nyala.”(Q.S Al Mulk:3-5).
Sungguh, Allah Maha Besar. Memang, ketika aku pandangi langit tidak satu pun aku menemukan cacat, semua terlihat seimbang dan teratur. Sebagai manusia biasa aku hanya bisa bersyukur masih bisa diberikan kesempatan untuk menikmati keindahan ciptaannya. Ketika akan melanjutkan bacaan AlQuranku, aku mendengar pintu kamar terbuka, pasti Mas Zaidan.
Aku pun segera menghentikan bacaanku dan menghampirinya. Ia langsung merebahkan dirinya di kasur dan memejamkan matanya. Kulihat pelipisnya berkeringat dan napasnya naik turun tidak teratur.
“Mas, dari mana?” tanyaku sambil duduk di bagian kasur yang kosong. Ia tidak merespon pertanyaanku.
“Mas, kenapa?” tanyaku sambil menggoyangkan lengannya. Aku semakin heran, panik dan khawatir.
Aku pun akan beranjak untuk mengambilkan segelas air minum di nakas dan handuk kecil untuknya. Namun sebelum aku bangun, Mas Zaidan menarik lenganku hingga aku terjatuh diatasnya lalu mendekapku erat.
“Tolong jangan pergi….jangan tinggalin aku….”