8 (Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1953 Words
Seperti hari libur biasanya, hari ini aku menyiapkan sarapan untuk keluargaku. Qia dan Mas Zaidan sedang lari pagi mengelilingi komplek. Sedangkan si kecil Attar masih lelap tertidur di boks bayinya. Selesai di dapur, aku beranjak naik ke kamarku untuk melihat Attar. Ternyata bayi tampan itu sudah bangun. Aku pun menggendong dan mencium pipinya yang tembam dengan gemas. Attar hanya bisa menggeliat sambil tertawa geli. Aku pun membawanya turun ke meja makan. Qia dan Mas Zaidan sudah selesai dari lari paginya. Qia sangat senang bisa berolahraga bersama ayahnya. Aku pun mendudukkan Attar di kursi khususnya. Qia yang lapar, langsung mencomot tempe goreng yang ada di meja dan memakannnya. Aku yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepala. “Eh, Kakak! Lupa ya pesen tante?” “Oh iya, Qia belum cuci tangan, Tante,” ucapnya sambil mengunyah makanan di mulutnya. “Hayo loh, nanti kuman-kuman di tangan kakak ikut masuk ke perutnya. Terus nanti kakak sakit perut mau?” nasihatku pada Qia. “Iihh, gak mau, Tante! Qia gak mau sakit perut,” ucapnya. kemudian anak itu menyimpan tempe gorengnya yang tinggal setengah di meja makan kemudian berlari ke arah bak cuci piring dapur untuk mencuci tangannya. “Mas Zaidan mau langsung sarapan atau mandi dulu?” ucapku menawarkan karena melihat kaosnya yang basah oleh keringat. “Saya mandi aja dulu,” ujarnya kemudian langsung naik ke atas. Qia pun kembali ke meja makan. Aku menyendokkan nasi uduk beserta telur dadar dan tempe goreng yang telah aku buat untuk sarapan hari ini. Ia makan dengan sangat lahap. Aku pun memerhatikannya sambil menyuapi Attar dengan bubur bayinya. Sepuluh menit kemudian Mas Zaidan muncul dengan tampilan yang lebih segar setelah mandi. Aku pun menyendokkan nasi ke piringnnya, untungnya dia tidak menolakku. “Oh ya saya hari ini ada rencana pergi dengan anak-anak,” ucap Mas Zaidan di sela-sela kegiatan makannya. “Oh, kemana, Mas? Boleh aku tahu?” ucapku penasaran. “Saya ingin mengajak mereka ke makam ibunya, lalu mengunjungi rumah nenek dari mamanya.” “Ke rumah nenek, Yah? Beneran?” ucap Qia menampilkan ekspresi terkejut sekaligus senang. “Iya Sayang, abis ini kita ke rumah nenek ya,” ucap Mas Zaidan sambil tersenyum. “Horee, asyik!” ucap Qia senang. “Ayo dihabiskan dulu makannya, kalo makannya gak habis gak jadi ke rumah nenek,” ancam Mas Zaidan. Qia pun dengan semangat menghabiskan sarapan di piringnya. “Apa aku boleh ikut, Mas?” tanyaku ragu-ragu. “Terserah, kalo kamu gak sibuk silakan saja ikut. Tapi kalo gak bisa jangan memaksakan. Saya bisa ajak Bi Marni untuk bantu jaga anak-anak.” “Insya Allah aku tidak sibuk kok hari ini, Mas. Ya sudah nanti aku bantu siapin perlengkapan anak-anak ya,” ucapku. Dalam hati aku merasa khawatir akan reaksi keluarga Mbak Risa terhadapku. Sebenarnya keputusanku ini terbilang nekad. Karena aku belum pernah bertemu dengan mereka. Namun, sebagai ibu sambung Qia dan Attar, aku tetap harus menjalin silaturahmi dengan keluarga almarhummah Mbak Risa bukan? Karena mereka tetap memiliki hubungan pertalian darah dengan anak-anak. Tak bisa dipungkiri, hatiku tetap merasa resah. Apakah mereka akan menerimaku dengan baik? Atau malah tidak memedulikanku? Ya Allah, bantulah hamba-Mu ini. Aamiin. Gumamku dalam hati. Aku pun menyiapkan kebutuhan anak-anak, terutama Attar. Meskipun tidak menginap, kebutuhan yang perlu dibawa lumayan banyak. Kami berempat pun berangkat pukul Sembilan pagi agar tidak terkena macet di jalan. Sebelum menuju makam Mbak Risa, Mas Zaidan menyempatkan membeli bunga tabur dan air botolan untuk disiramkan di makamnya. Aku pun jadi teringat belum mengunjungi makam kedua orang tuaku setelah menikah. Maukah Mas Zaidan aku ajak berziarah ke sana suatu hari nanti? Entahlah. Mas Zaidan dengan telaten membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di makam, kemudian ia memanjatkan doa. Aku pun ikut memanjatkan doa sambil menggendong Attar. Selesai berdoa, Mas Zaidan menaburkan bunga dan menyiramkan air di makamnya. Ia pun mengusap nisan Mbak Risa dengan tatapan yang sendu. Kami pun beranjak menuju mobil. Sebelumnya, Mas Zaidan memberikan sedikit uang untuk penjaga makam dan berpesan agar selalu membersihkan makam Mba Risa. Dalam perjalanan menuju rumah orang tua Mbak Risa, aku merasa takut. Takut kalau kehadiranku tidak diterima oleh mereka. Aku hanya bisa beristighfar dalam hati untuk menenangkan perasaanku. Perjalanan dari area pemakaman menuju rumah orang tua Mba Risa tidak terlalu lama, hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Setibanya di sana, perasaanku semakin campur aduk tak menentu. Qia yang sangat senang langsung berlari menghambur ke arah kakek neneknya. “Assalamu’alaikum,” ucapku dan Mas Zaidan bersamaan. “Wa’alaikumusalam,” ucap ayah dan ibu Mbak Risa. Aku pun menyalai keduanya dengan hormat. “Kok baru kesini lagi, Dan? Kan kami kangen sama cucu-cucu?”ucap Bu Rima, ibu Mbak Risa. Aku sudah mengetahui namanya karena aku bertanya pada Mas Zaidan saat di mobil tadi. “Iya, maaf Bu kami baru sempat kesini lagi. Akhir-akhir ini Zaidan sibuk jadi baru sempet sekarang. Oh iya ini kenalin Bu, Elana istri Zaidan,” ucapnya memperkenalkanku. Aku hanya bisa tersenyum menatap mereka berdua. Dalam hati aku merasa sedikit lega karena untuk pertama kalinya Mas Zaidan memperkenalkanku sebagai istrinya kepada orang lain. Aku kira awalnya mereka akan menolak kehadiranku seperti Mas Zaidan. Ternyata kedua orang tua Mbak Risa menerimaku dengan ramah dan tangan terbuka. “Wah, pinter kamu milih istri, Dan. Cantik dan ayu,” ucap Pak Syarif, ayah Mbak Risa. Aku hanya bisa tersipu malu mendengar pujian Pak Syarif. “Sudah ayo masuk, kita ngobrol di dalam,” ajak Bu Rima. Kami pun diajak masuk ke ruang keluarga mereka yang dekat dengan halaman belakang. Qia sudah berlarian di halaman belakang rumah kakeknya dengan senang. Ternyata Pak Syarif memiliki hewan peliharaan seperti burung, ayam dan kucing. Qia langsung asyik bermain dengan kucing peliharaan kakeknya. Ya, aku memang tak boleh memutus silaturahmi antara kakek nenek dengan cucu-cucunya, karena aku tidak bisa memberikan sosok kakek nenek dalam hidup Qia dan Attar karena kedua orang tuaku sudah meninggal. Bu Rima pun meminta Attar dari gendonganku. “Cucu nenek sudah bangun ya? Yuk sini gendong sama nenek,” ucap Bu Rima. Aku pun memberikan Attar padanya. Awalnya Attar terlihat tidak nyaman dan menangis. “Eh sayang kok nangis, ini sama nenek lho, lupa ya?” ucapku pada Attar. Lama kelamaan tangis Attar pun reda dan ia terlihat nyaman dalam gendongan neneknya. Kemudian, Bu Rima menyuruhku dan Mas Zaidan untuk makan terlebih dahulu. “Kamu gak bilang dulu sih mau kesini, kan ibu bisa masakin kesukaan kamu, Dan,” ucap Bu Rima. “Sengaja Bu, biar ibu gak repot,” ucap Mas Zaidan sambil menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Ya nggak repot dong, masa buat anak sama cucu repot. Habis ini kalian istirahat aja dulu ya di kamar Risa. Biar ibu bapak puas-puasin dulu main sama cucu-cucu. Kalian nginep kan di sini?” “Nggak Bu, besok aku harus masuk kerja. Qia juga harus masuk sekolah,” ucap Mas Zaidan. Kulihat raut wajah Bu Rima menunjukan kesedihannya. “Oh gitu, kalo Nak Ela kesibukannya apa?” tanya Bu Rima padaku. “Saya mengelola butik baju muslim bareng adik saya, Bu. Sesekali saja saya mengecek butik. Selebihnya saya di rumah mengurus suami dan anak-anak,” ucapku. “Wah, bagus itu punya usaha sendiri. Jadi waktunya lebih bebas, ya?” “Iya, Bu,” ucapku sambil tersenyum kikuk. Selesai makan, aku pun menuju kamar Mbak Risa untuk istirahat. Awalnya aku menolak, tetapi Bu Rima terus memaksaku. Ketika aku masuk, semua barang yang ada di dalamnya masih tertata rapi. Bukti bahwa orangtuanya selalu membersihkan kamar ini meskipun sudah tidak ada penghuninya. Aku tertarik melihat foto-foto Mbak Risa yang ada di nakas samping meja riasnya. Ada fotonya saat masih bayi, balita hingga menikah, hamil Qia, ketika berjalan-jalan sekeluarga dan juga ada foto ketika mereka sedang honeymoon. Aku jadi teringat bahwa aku dan Mas Zaidan belum pernah kencan berdua setelah menikah. Ah, apa yang kamu pikirkan Ela? Kamu bisa masuk dalam kehidupannya saja sudah bagus. Jangan berangan-angan terlalu tinggi. Aku dikejutkan dengan pintu kamar yang terbuka. Ternyata Bu Rima yang masuk, awalnya kukira Mas Zaidan. Bu Rima tersenyum tulus kepadaku dan kubalas dengan senyuman yang sama tulusnya. Kemudian beliau menghampiriku yang sedang duduk di pinggir ranjang. “Ya beginilah keadaan kami, Nak Ela. Risa adalah anak kami satu-satunya. Wafatnya Risa tentu menjadi pukulan hebat untuk ibu dan bapak. Tapi kami tidak boleh larut dalam kesedihan. Awalnya ibu sempat tidak setuju dengan rencana ayah Zaidan menjodohkan Nak Zaidan dengan perempuan pilihannya. Ibu khawatir cucu-cucu ibu mendapatkan ibu tiri yang jahat,” ucapnya sambil menatap foto-foto Mbak Risa. “Tapi setelah ketemu kamu, ibu menjadi lega. Ibu lihat kamu perempuan yang shalihah dan baik. Tak salah ayah Zaidan memilihmu untuk anaknya. Qia dan Attar bisa dekat dan nyaman dengan Nak Ela. Ibu lega kalau mereka sudah mendapatkan ibu pengganti yang menyayangi mereka dengan tulus,” ucapnya sambil menitikkan air mata. Aku hanya bisa mendengarkan dengan seksama tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun. Aku menggenggam tangan Bu Rima untuk menguatkan. “Ibu titip cucu-cucu ibu ya, tolong rawat dan sayangi mereka meski mereka terlahir bukan dari rahimmu,” ucapnya padaku. “Pasti Bu, insya Allah Ela akan jaga mereka seperti anak kandung Ela sendiri. Ibu gak usah khawatir ya.”  Tak diduga Bu Rima langsung memelukku erat sambil mengucapkan terima kasih. Aku membalas pelukannya sambil menganggukkan kepala. === Adzan maghrib sudah berkumandang. Pak Syarif dan Mas Zaidan sudah berangkat ke masjid untuk shalat maghrib berjamaah. Tadinya kami akan pulang ba’da ashar, namun Pak Syarif dan Bu Rima memaksa kami menginap karena masih kangen dengan cucu-cucunya. Selesai shalat maghrib, aku pun membantu Bu Rima menyiapkan makan malam. Biasanya mereka akan di masjid hingga waktu isya tiba. Setelah isya baru kami akan makan malam bersama. Aku pun bingung karena tidak membawa baju ganti untuk tidur. Namun Bu Rima telah mengizinkanku memakai baju Mbak Risa yang masih tersimpan di lemarinya. Aku dan Mas Zaidan akan tidur di kamar Mbak Risa, sedangkan Qia dan Attar dimonopoli oleh kakek neneknya. Mas Zaidan sudah asyik duduk di ranjang dengan buku bacaan di tangannya. Aku tak tahu buku apa yang sedang dibacanya. Aku keluar kamar mandi sehabis mengganti bajuku dengan baju Mbak Risa, tak lupa jilbab bergo menutupi rambutku. Kulihat Mas Zaidan yang sedikit tertetgun melihat penampilanku. “Risa,” gumam Mas Zaidan pelan. “Kenapa, Mas? Aku Elana Mas, bukan Mbak Risa,” ucapku. mungkin dalam bayangannya aku yang memakai baju Mbak Risa adalah istrinya yang kembali hidup. Kulihat Mas Zaidan segera menyadarkan dirinya dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu pakai baju Risa? Jangan pakai barang orang lain sembarangan, Ela!” ucap Mas Zaidan dengan nada agak tinggi. “Aku memakainya karena sudah diizinkan oleh Bu Rima, Mas. Aku juga tahu diri untuk tidak menyentuh barang yang bukan milikku,” ucapku kesal. “Berarti kamu juga tidak akan menyentuh saya yang bukan milikmu kan? Karena jiwa raga saya selamanya milik Risa.” “Ih, Mas kepedean banget siapa juga yang mau nyentuh, Mas. Palingan Mas duluan nanti yang gak tahan dan minta disentuh duluan,” ucapku sambil tersenyum sinis. “Ayah bilang ilmu agama kamu bagus ya Ela. Tapi masa begini kelakuan perempuan shalihah yang dinasihati oleh suaminya, beraninya melawan terus.” “Terserah Mas Zaidan mau bilang aku ini apa. Tapi kita ini suami istri mas, sudah sah di mata agama dan hukum. Ingat ya Mas, Mas itu berjanji di hadapan Allah dan akan dimintai pertanggungjawaban juga di hadapan Allah nanti. Sebagai istri, aku hanya bisa memperingatkan Mas Zaidan. Aku hanya berusaha menyentuh hati suamiku sendiri, apa itu salah?” “Sudah cukup, awalnya bahas baju kenapa jadi melebar kemana-mana. Intinya tetap saja, saya gak suka kamu pakai benda apapun milik Risa.” “Oh, jadi Mas lebih suka aku gak pakai baju gitu? Ya Allah Mas, tolong ini hanya masalah baju,” ucapku mulai kesal. Aku teringat belum mengambil wudhu sebelum tidur. Aku pun kembali masuk ke kamar mandi degan kesal kemudian berwudhu. Malangnya, jilbab bergo yang aku gantung terjatuh sehingga basah. Tak mungkin aku menggunakan jilbab yang basah selama tidur kan? Apa boleh buat, untuk malam ini terpaksa aku tidur tanpa jilbab. Meskipun halal dilihat suami sendiri, tetapi hatiku rasanya belum rela Mas Zaidan melihat seluruh auratku apabila ia belum menerima diriku sepenuhnya sebagai seorang istri. Ketika membuka pintu kamar mandi, aku dikejutkan dengan Mas Zaidan yang sudah berdiri menjulang dihadapanku. Matanya menatap lekat ke arahku. Aku pun menatapnya dengan dalam tanpa terpikir untuk mengalihkan pandangan. Rasanya aku betah berlama-lama tenggelam dalam danau bola matanya. Baru kusadari Mas Zaidan memiliki warna iris cokelat. Baru kali ini aku memandangnya dalam jarak sedekat ini setelah kami menikah. Tak terasa hangat napasnya menerpa wajahku dan bibirnya sudah menempel sempurna di bibirku. Aku hanya bisa memejamkan mata sambil menitikkan air mata. Ya Allah semoga ini bukan mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD