7 (Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1823 Words
Aku pun kembali menjalani kegiatan sehari-hariku seperti biasanya, setelah kepulangan mertua dan kakak iparku waktu itu. Hanya saja, aku masih terbayang percakapan antara Mas Zaidan dan ayah mertuaku di ruang kerjanya saat itu.Flashback on Saat itu aku akan memanggil ayah dan Mas Zaidan untuk makan camilan ke ruang tengah. Aku pun berniat mengetuk pintu, tapi aku urungkan  ketika aku mendengarkan percakapan mereka yang terdengar serius. Aku pun penasaran dan ingin mendengarkan apa yang mereka sedang bicarakan. “Apa kamu masih belum bisa ngelupain Risa, Dan?” tanya ayah mertuaku. “Belum, Yah. Ayah tahu sendiri kan, gak mudah ngelupain orang yang kita cintai. Apalagi wafatnya Risa juga belum ada setahun, Yah,” ucap Mas Zaidan. “Tapi, ayah lihat kayanya sikap kamu ke Ela masih belum ada perubahan.” “Itu karena aku gak cinta sama dia, Yah.” Aku sudah tidak kaget lagi mendengar ucapan Mas Zaidan. Tetapi tetap saja hati ini perih mendengar suami kita berucap seperti itu. Air mataku dengan refleks mulai menggenangi pelupuk mata. “Lagian ayah kenapa sih, nyuruh aku nikah lagi? Ayah aja bisa setia sama almarhummah ibu, sampai sekarang ayah gak nikah lagi, kan?” “Anak-anak kamu masih kecil Zaidan, mereka masih butuh perhatian seorang ibu. Apa kamu sanggup ngurus dua anak yang masih kecil seperti sekarang? Apalagi Attar masih bayi? Kalau ayah, saat ibumu wafat, kamu dan Rania sudah besar. Ayah sudah sanggup mengurus kalian seorang diri. Jangan samakan keadaan ayah waktu itu dengan keadaanmu saat ini,” jelas ayah mertuaku. “Tapi kan aku punya pengasuh yang bisa aku percaya, Yah. Aku gak mau m*****i cinta aku sama Risa dengan menikah lagi seperti ini. Gak akan ada yang bisa gantiin Risa di hati aku, Yah. Nantinya malah aku bakal nyakitin Ela.” Hatiku rasanya perih mendengar Mas Zaidan begitu keras kepalanya mempertahankan cintanya di depan ayahnya sendiri. Tak terasa air mata yang tadinya hanya menggenang kini sudah mengalir deras di wajahku ini. “Dengar Zaidan, anak yang diasuh pengasuh tentu beda dengan anak yang diurus perempuan yang berstatus sebagai istrimu. Dari dulu, sebelum menjodohkan kamu dengan Ela, tentunya Ayah sudah menyelediki latar belakang dan sikap Ela. Ayah rasa, dia bisa menjadi istri  dan ibu yang baik bagi kamu dan cucu-cucu ayah. Ayah juga ingin kamu mendapatkan istri yang shalihah, Dan. Ayah juga ingin cucu-cucu ayah tidak merasakan kekurangan kasih sayang seorang ibu. Insya Allah firasat ayah tidak salah, Elana bisa menjadi istri dan ibu yang baik buat kamu dan anak-anak.” Mas Zaidan hanya terdiam sambil menatap keluar jendela mendengarkan ucapan ayah mertuaku. “Ela itu perempuan yang baik, Dan. Jangan sakiti dan kecewakan dia sebelum kamu menyesal nantinya. Satu yang kamu harus ingat kalau kamu lupa, delapan tahun yang lalu, sebenarnya Ayah lebih merestui kamu menikah dengan Ela dibandingkan dengan Risa,” ucap ayah mertuaku memperingatkan. Aku sedikit terkejut dengan ucapan ayah mertuaku. Apa hubungannya dengan kejadian delapan tahun yang lalu? Apa itu artinya ayah mertuaku tidak merestui pernikahan Mas Zaidan dan Mbak Risa? Aku semakin dibuat penasaran dengan percakapan dua lelaki beda usia ini. “Ingat nasihat ayah ini, Dan. Ayah menjodohkan kalian karena ayah anggap kalian sama-sama memiliki pemahaman agama yang baik. Kamu tahu kan bagaimana agama kita mengajarkan umatnya dalam memperlakukan perempuan yang berstatus istri kita? Jangan terlalu mengagungkan cinta masa lalu, Dan. Cobalah berusaha untuk mencintai Ela karena akhlaknya dan agamanya yang baik. Dia juga anak yang cantik dan santun,” ucap Ayah mertuaku. “Tapi selama ini juga dia tidak bersikap layaknya seorang istri sama aku ,Yah.” “Itu akibat sikap kamu ke dia yang dingin dan ketus.  Apa yang kita tanam itulah yang kita tuai. Cara kita memperlakukan dia akan berbalik pada kita. Perbaiki aja sikapmu sama dia, Insya Allah nanti sikap dia juga akan baik sama kamu.” Aku pun sudah tidak mau lagi mendengarkan kelanjutan percakapan mereka. Aku memutuskan kembali ke ruang tengah tanpa memanggil mereka berdua. Flashback off === Hari ini aku merasa sangat bahagia karena hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku sangat bersyukur diusiaku yang sudah kepala tiga ini Allah masih memberiku kesehatan, keluarga yang aku sayangi, suami dan juga anak-anak. Aku tak berharap Mas Zaidan mengetahui hari ulang tahunku ini. Aku hanya bisa berdoa agar ia menerimaku sebagai istri dan ibu  bagi anak-anaknya dengan setulus hati. Biasanya saat ulang tahunku, aku mengadakan acara makan-makan bersama di butikku bersama adik dan para pegawaiku. Ponselku berdering, menampilkan nama adikku disana. Aku menggeser tombol hijau untuk menjawab panggilannya. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam. Iya kenapa Mira?” “Selamat ulang tahun tetehku, semoga panjang umur, murah rezeki dan sehat selalu ya.” “Aamiin, makasih banyak ya doanya.” “Teh, hari ini jadi ke butik kan? Makan-makan seperti biasanya?” “Iya, insya Allah jadi. Kamu siapin aja ya seperti biasa. Nanti teteh ke sana pas jam makan siang.” “Oke Teh, beres. Jangan lupa bawa si ganteng Attar ya.” “Iya, nanti teteh izin dulu sama Mas Zaidan ya, semoga dibolehin.” “Iya, oke deh, aku tutup ya. Wassalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Aku pun tersenyum sambil menatap ponsel. Rencanya setelah menjemput Qia dari sekolahnya, aku akan membawa Qia dan Attar ke butik. Tugasku saat ini adalah meminta izin pada Mas Zaidan, semoga ia mengizinkan aku membawa anak-anak ke butik. Aku pun segera menghampiri Mas Zaidan dan Qia yang sedang sarapan di meja makan. Hari ini mereka sarapan nasi goreng sosis buatanku. Tapi seperti biasa, mereka tahunya Bi Marni atau Bi Eti yang memasak. Aku merasa sangat senang melihat mereka berdua memakan masakanku dengan lahap. “Mas, nanti habis jemput Qia di sekolah, boleh aku bawa Qia dan Attar ke butik?” tanyaku hati-hati. Mas Zaidan terlihat berpikir sebelum menjawab, ia masih dengan santai menyuapkan nasi goreng ke mulutnya. Aku pun masih dengan sabar menunggu jawabannya. “Mau ngapain ke butik?” tanyanya. “Mau ngecek butik, sekalian ajak anak-anak jalan juga keluar. Boleh gak?” “Boleh aja, asal sebelum maghrib kalian harus sudah ada di rumah,” jawabnya tanpa memandangku. “Baik Mas, insya Allah sebelum maghrib kita udah di rumah. Terima kasih sudah mengizinkan aku membawa anak-anak, Mas,” ucapku. Alhamdulillah, aku senang sekali Mas Zaidan memberikan izin. Aku menyendokkan nasi ke piringku dengan wajah sumringah lalu aku pun menghabiskan sarapanku di piring sambil sesekali mengawasi sarapan Qia dan Attar yang duduk di kursi khusus bayi. Setelah beres sarapan, seperti biasanya aku mengantar mereka berangkat sampai teras rumah. === Perjalanan dari sekolah Qia ke butikku memakan waktu yang lumayan lama. Entah kenapa siang hari ini jalanan macet sekali. Cuaca siang ini juga terasa begitu panas menyengat. Aku memutuskan untuk mengendarai taksi online ke butik. Setelah memakan waktu satu jam lebih di perjalanan, akhirnya aku dan anak-anak sampai di butik. Adikku langsung menyambut di pintu masuk. “Assalamu’alaikum,” ucapku. “Wa’alaikumussalam,” ucap adikku dan beberapa pegawai butik serempak. “Akhirnya sampai juga, pasti macet banget ya di jalan?” tanya adikku. “Ya lumayan macet tadi di jalan,” jawabku. Kemudian satu per satu pegawaiku pun bergantian mengucapkan selamat ulang tahun padaku. Sedangkan Attar dan Qia sudah diasuh oleh Mira dan para pegawaiku. Kebetulan hari ini aku sengaja tidak mengajak Bi Marni, karena aku ingin menghabiskan waktu berdua dengan anak-anakku.  Aku memutuskan untuk shalat zuhur dulu sebelum bergabung bersama mereka. Beres shalat, aku menghampiri mereka yang sudah berada di ruangan yang sudah ditata untuk acara makan bersama. Kali ini adikku memesan dua tampah nasi tumpeng beserta lauknya, sedangkan untuk desertnya ada pudding, es krim dan jus. Jangan heran karena aku dan adikku pecinta ketiga dessert itu. Biarlah jika tak habis bisa dibawa pulang oleh karyawan atau disimpan di lemari es yang ada di butik. Acara diawali dengan doa bersama, kemudian aku menyendokkan nasi pertama kali dan memberikan pada adikku. Kami pun makan dengan perasaan yang bahagia. Qia dan Attar pun terlihat sangat senang bermain di butik. Apalagi Qia senang melihat gambar-gambar rancangan baju yang dibuat olehku dan adikku. Mira mengajarkan Qia menggambar baju. Qia pun terlihat antusias mengikuti arahan dari tantenya itu. Tak terasa hari sudah hampir sore. Aku pun segera ingat janjiku dengan Mas Zaidan agar pulang sebelum maghrib. Tadinya aku memutuskan untuk naik taksi online lagi, tapi Mira memaksaku agar mau diantar pulang olehnya. Aku pun menyetujuinya. Kami tiba di rumah pukul setengah lima sore. Aku pun mengajak adikku untuk mampir masuk dulu sebelum pulang. “Assalamu’alaikum,” ucapku sambil mengetuk pintu. “Wa’alaikumussalam, eh sudah pulang, Bu,” ucap Bi Eti yang membukakan pintu. “Iya Bi, kenalin ini adik saya,” ucapku memperkenalkan Mira dengan Bi Eti. Adikku memutuskan untuk langsung pulang setelah masuk ke rumah sebentar. Ia lupa punya janji dengan klien butik. Jadi ia buru-buru dan tidak sempat makan malam bersama. Aku pun segera masuk ke kamar untuk menaruh barang-barang Attar dan menidurkannya di box bayi. Kemudian aku pun membantu Qia merapikan tas dan membantunya mandi sore. Setelah beres mengurus Qia, kemudian aku memandikan Attar yang telah terbangun. Lalu setelah selesai mengurus kedua anakku, aku meminta Bi Marni menjaga mereka di ruang tengah selama aku mandi. Ketika keluar kamar mandi, aku pun kaget melihat Mas Zaidan yang sudah berada di kamar. Mana aku hanya memakai kimono handuk selutut dan mencepol rambut sebahuku. Ia pun juga sedikit terkejut melihat penampilanku. “Eh, tumben sudah pulang, Mas?” ucapku gugup. Kemudian aku segera menuju lemari dan mengambil bajuku. “Iya, hari ini sengaja pulang cepet,” jawabnya sambil membuka kancing lengan kemejanya. Memang biasanya Mas Zaidan pulang sekitar jam tujuh malam atau sehabis isya. “Aku pake kamar mandinya sebentar ya buat pake baju, Mas tunggu aja dulu sebentar,” pintaku. “Hmm.” Ia hanya bergumam sebagai jawabannya. Tak lama aku pun selesai memakai baju gamis rumahan dan jilbabku. Kemudian aku segera turun ke bawah menghampiri anak-anak. Sebelum ke ruang tengah. Aku melihat Bi Eti yang sedang sibuk menata meja makan dengan hidangan-hidangan yang sepertinya special. Apalagi ada kue tart ulang tahun. “Wah, kayanya ada acara special ya, Bi?” tanyaku. “Iya kayaknya, Bu. Ini Bapak semua yang beli,” ucap Bi Eti. Seperti ada yang ulang tahun, gumamku dalam hati. Apalagi kue ultahnya black forest seperti kesukaanku. Apa Mas Zaidan menyiapkan ini semua untukku? Secepat ini dia menerimaku di hati dan hidupnya? === Ba’da maghrib, kami sekeluarga makan malam seperti biasanya. Qia sangat senang karena ada kue ulang tahun black forest. Aku pun penasaran tujuan Mas Zaidan menyiapkan ini semua. “Tumben beli makanan di luar, Mas? Ada kue tart segala? Mas Zaidan ulang tahun ya?” tanyaku pura-pura tidak tahu. Padahal aku tahu tanggal ulang tahunnya. “Iya, hari ini ada yang ulang tahun soalnya.” “Siapa?” tanyaku makin penasaran. “Mamanya anak-anak, almarhum istriku, Risa,” ucapnya datar tanpa menatap wajahku. “Oh, ulang tahun Mbak Risa,” ucapku lemah. Sangat kebetulan sekali tanggal lahir Mbak Risa sama dengan tanggal lahirku.  Sekuat tenaga aku menahan rasa sesak di d**a. Begitu besarnya cinta Mas Zaidan, sampai ulang tahun istrinya yang telah wafat saja masih diperingati. Usai makan malam dan menidurkan anak-anak, aku tidak langsung tidur. Aku berada di kamar bawah, menulis diary ketika hatiku sangat sedih. Ya, kebiasaanku memang sepeti itu dari jaman kuliah, menulis diary di laptop ketika perasaanku sedang kacau. Tak sengaja aku pun tertidur di kamar bawah seorang diri. Pukul dua dini hari, aku memutuskan kembali ke kamar atas. Begitu aku membuka pintu, aku melihat Mas Zaidan yang sedang berada di balkon kamar sambil memegang bingkai photo yangkuyakin itu foto Mbak Risa. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku. Kemudain pelan-pelan kau menuju tempat tidur ketika aku mendengar ia berkata, “Sampai kapan pun aku tetep cinta sama kamu,  Ris. Tidak akan ada perempuan yang bisa menggantikan kamu di hati aku,” ucapnya sendu kemudian mencium bingkai foto itu. Lagi-lagi aku hanya bisa menitikkan air mata mendengar ungkapan cinta suamiku untuk istri pertamanya itu. Ya Allah, kuatkanlah hamba-Mu ini, ucapku dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD