15: Awal Mula (2)

1122 Words
Entah sejak kapan kupu-kupu itu terbang di perut Yura. Pesan teks dari Richard benar-benar membuatnya terbuai, jadi pesan pedekate dari cowok lainnya otomatis ia abaikan begitu saja. Bayangan ciuman yang mendarat begitu saja di bibirnya masih sangat lekat di benaknya. Ia tersipu malu setiap kali mengingat kejadian hal tersebut. Yura berjalan ke arah lemari dan ia dengan segera memilih-milih baju apa yang kiranya pantas ia kenakan untuk menghadiri makan siang dengan Richard. Beberapa koleksi pakaian gantungnya ia keluarkan dan ia letakkan di atas kasur. Ia memerhatikan dengan seksama koleksi bajunya tersebut, mengambil yang sekiranya ia suka lalu menempelkannya ke badannya dan melihat ke arah cermin. Bibir Yura akan mengerucut jika ia tak suka dengan hasil pantukan dirinya di cermin, bibirnya akan tersenyum kecil jika ia cukup menyukai pantulan dirinya di cermin. Tapi dari kesemua baju koleksinya yang ia keluarkan dari dalam lemari dan terjejer rapi di atas tempat tidurnya tersebut, tak ada satu pun yang menarik perhatiannya sama sekali. "Mama!" teriak Yura dengan sedikit kekesalan yang berkecamuk di dadanya, karena tak mendengar sama sekali kalau ada sahutan dari sang Mama, kekesalan Yura semakin menjadi-jadi hingga ia berjalan ke arah pintu kamarnya dan membukanya segera yang disambut dengan pecahnya gelas dari tangan Ayahnya. Yura kaget. Ia tertegun. Bukan hanya karena gelas yang pecah tersebut, melainkan karena sang Ayah yang sengaja memecahkan gelas tersebut dengan ekspresi wajah yang seolah menahan amarah, penuh kekesalan dan siap melahap siapapun di sekitarnya. Sang Papa menoleh ke arah Yura, ia memandang putrinya itu dengan satu tarikan napas panjang sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi begitu saja. Yura melihat ke arah Mamanya yang tertunduk di atas meja makan. Ia bingung, tak pernah sekalipun ia melihat orang tuanya bertengkar. Dan kenapa keduanya sekarang bertengkar? Ada masalah apa sebenarnya diantara keduanya? Perlahan, Yura menghampiri sang Mama dan memanggilnya dengan sangat lembut. Sang Mama mendongakkan kepalanya dan menatap Yura dengan tatapan terluka lalu ia berdiri dan mengacuhkan Yura begitu saja, seolah tak ada Yura di sana. Seolah Yura bukan siapa-siapa yang perlu dihiraukannya. "Mama!" panggil Yura kembali. Sang Mama tak berhenti dari langkahnya, terus masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya. Hati Yura terluka dan ia bingung ada apa dengan Papa dan Mamanya. Ia memutuskan kembali ke kamarnya dan merebahkan dirinya dengan malas sembari pikirannya penuh kemana-mana. Ia teringat pesan Richard tapi ia merasa enggan untuk datang, apalagi suasana rumahnya sedang tak baik untuk ditinggalkan. Yura memutuskan untuk tak pergi dan memilih tidur. Ia tak peduli dengan Richard. Suara petir yang bersahutan di luar kamar Yura mengagetkan Yura seketika dari tidurnya. Ia bangun dengan napas yang naik turun karena kaget bukan main dan langsung teringat akan Richard. Tapi kemudian ia buru-buru menampisnya, mana mungkin ada seorang lelaki yang sudi menunggunya di tengah hujan? Pikirnya. Ia memutuskan kembali untuk tidur di kamarnya, tapi sekuat apapun ia mencoba memejamkan matanya, tetap saja matanya tak mau terpejam dan ia hanya bisa menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan gundah. Yura melemparkan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, kemudian bergegas mengganti bajunya dengan baju apa saja dan berlari keluar kamar. Ketika keluar dari kamar, rumahnya nampak sangat sepi dan pecahan gelas di dapur juga masih berantakan. Yura berjalan ke arah kamarnya, mengetuk pintu kamar Mamanya lalu membukanya perlahan. Sang Mama menoleh lemas ke arahnya. "Yura tinggal sebentar, Ma." kata Yura yang membuat perempuan paruh baya itu menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak dapat Yura definisikan sama sekali. "Mau ke mana?" tanya perempuan itu akhirnya yang membuat Yura tersenyum kecil karena akhirnya sang Mama membuka suaranya dan mencemaskannya juga. "Cari makan, Yura lapar. Mama mau makan apa?" tanya Yura. "Maaf ya, Nak, Mama gak masakin kamu." kata sang Mama lembut dengan rasa bersalah yang ada di dadanya sedikit. "It's oke, Ma. Mama mau makan apa?" "Apa aja." "Mama tunggu, ya, Yura carikan." "Tapi di luar hujan deras, sayang." "Its oke. Pake mantel kok, Ma." kata Yura pada sang Mama. Sang Mama mengangguk kecil mengijinkan sang putri mencari makan. Yura menutup pintu kamar Mamanya kembali dan berjalan keluar rumah sesegera mungkin. Ia meraih mantel di tempat kecil di luar rumah rumah dekat teras yang khusus diperuntukkan untuk menyimpan mantel dan helm. Setelah memakai mantel dan helm, Yura lalu menaiki motor maticnya dan gegas meninggalkan rumah dengan rasa penuh harapan kalau-kalau Richard belum pergi dari rumah makan tempat janjian mereka. Sekitar lima belas menit kemudian, Yura sampai di rumah bakso Pak Irwan yang cukup terkenal kelezatan baksonya di kalangan sekolah Yura. Yura sendiri hampir setiap hari makan bakso di sana bersama teman-temannya. Dari luar Yura mengamati warung tersebut dan mendesah kesal karena tak ia temukan Richard di dalam sana. Warung itu terbuka lebar jadi cukup dengan hanya melihat saja, semua pengunjung di sana tertangkap oleh mata Yura dan tak ada Richard di tempat manapun. Yura ingat Mamanya, ia memutuskan untuk turun dan memesan bakso untuk dibawa pulang saja. Ketika menuju gerobak bakso, ia tak menemukan siapa-siapa di sana, dan ketika ia akan memanggil tukang baksonya, sosok Richard keluar dari dapur dengan membawa baskom panci besar berisi pentolan bakso. Mata Yura membelalak sempurna melihat Richard tersebut dan kelakukannya yang menurut Yura tak masuk akal. "Datang juga akhirnya." kata Richard seraya menata pentolan itu di gerobak bakso. "Kamu kerja di sini?" tanya Yura. Richard tak menjawab hanya meliriknya sebal. "Marah karena aku datangnya malam?" "Gue jadi harus ambil lembur." "Bukannya rumah kamu di Bandung, ya?" "Richard." panggil seseorang. "Layani tamunya, jangan ngajakin ngobrol." "Ya, pakde." jawab Richard. Mendengar itu dahi Yura berkerut lembut. "Pakde? Saudara kamu?" tanya Yura dan Richard hanya mengangkat bahunya, memilih tak menjawab Yura "Pantesan di pesan bilang kalau mau nunggu gue sampai kapanpun. Lah emang warung baksonya milik keluarga sendiri." kata Yura pada Richard. Lagi-lagi Richard hanya diam tak ingin menyahut sama sekali ucapan atau komentar Yura. "Jadi ditraktir gak nieh?" tanya Yura sebal, karena Richard tak juga menjawab pertanyaannya dari tadi dan kali inipun sama, Richard tak menyahut pertanyaannya. "Yaudah gue pulang!" kata Yura berakhir sebal. Ia sudah memutar tubuhnya untuk pergi dari sana tapi kemudian tangannya ditarik dan akhirnya Yura menoleh ke belakang. Richard memegang tangannya dan menatapnya dingin. Yura balas memandangnya tak mengerti. "Bakso komplit?" tanya Richard. "Iya. Plus senyuman. Karena eneg makan bakso kalau penjualnya tampan tapi jutek kek lo." kata Yura blak-blakan. Richard tersenyum mendengarnya. "Jangan pergi. Duduk di sana. Aku bawakan baksonya." kata Richard lembut. Yura melunak dan mengangguk kemudian. "Pakde! Bakso komplit dua!" teriak Richard. "Eh? Cewek lo udah datang?" jawab Pakde dari arah dapur dengan sedikit berteriak. Yura membelalakkan mata mendengar pertanyaan itu. Apa-apaan maksud pertanyaan Richard itu? "Iya. Sudah. Buruan Pakde, keburu dia ngambek!" kata Richard yang membuat mata Yura kembali melotot ke arahnya. Richard tersenyum melihat reaksi Yura. Keduanya kemudian duduk di meja yang ditunjuk oleh Richard. Dekat dengan gerobak bakso yang kata Richard jika ingin nambah, mudah mengambilnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD