Mia datang lebih pagi dari biasanya dan hanya seorang diri, kebetulan sekali bahwa orang yang ingin ia temui ada di kantor Cantika Wedding Organiser dan seorang diri. Dengan wajah yang menahan amarah sedari malam kemarin, ia langsung duduk di hadapan Yura tanpa permisi yang membuat Yura mendongak ke arahnya dengan tatapan bingung sekaligus kaget. Ia sama sekali tak mendengar pintu terbuka dan tiba-tiba Mia sudah duduk di hadapannya. Yura lupa kalau ia sedang memakai earphone di telinganya, kemudian ia buru-buru melepasnya dan menatap Mia dengan senyuman tapi Mia tak membalas senyuman tersebut.
"Kenapa gue gak tahu kalau Richard pernah tanding basket di sekolah SMA kita? Apa karena gue siswi baru di kelas dua belas?" tanya Mia to the point seraya menyerahkan foto tim basket Richard dan tim basket dari sekolah Yura. Yura menatap bingung ke arah Mia dan ia tak mengerti bagaimana harus menjelaskannya. "Lo tahu, kan? Dan lo bisa cerita ke gue." kata Mia dengan tatapan lurus-lurus ke arah Yura. Perlahan, Yura meraiah foto tersebut dari atas meja dan entah mengapa dadanya berdebar-debar tak karuan saat memegang foto tersebut, bahkan Yura tak memedulikan adanya sosok Mia di hadapannya. Yang ada kini foto itu di tangannya, foto dua tim basket yang diambil di lapangan basket sekolah Yura dan Mia dulu.
Seperti terseret alur waktu saja, Yura terlempar perlahan ke masa lalu dengan begitu cepat. Ia bingung dengan sorak sorai penoton tribun sekolah yang ramai sekali di telinganya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati tribun sekolahnya penuh sesak dengan para siswa siswi sekolah. Dari sekolahnya dan dari sekolah yang lainnya. Yura masih heran kenapa ia bisa ada di sana dengan seragam sekolah lengkap dengan atributnya dan tribun yang ramai dengan siswa siswi.
Yura berbalik dan hendak kembali entah kemana tapi tiba-tiba saja.
"Bruakk!!" ia terjatuh tepat dengan posisi luar biasa. Kepalanya ditahan oleh telapak tangan yang besar agar tak membentur lantai, tubuhnya tertindih oleh tubuh pria dengan kostum basket di badannya, bibirnya menempel dengan bibir pria yang tanpa sengaja ditabraknya tersebut. Matanya memandang kaget wajah pria tampan yang juga melotot ke arahnya. Untuk sepersekian detik lamanya Yura dan pemuda itu masih dalam posisi tersebut hingga keduanya sadar lalu pemuda itu buru-buru menarik diri dari tubuh Yura.
Untung saja ciuman diantara mereka tak terlihat oleh siapapun, padahal di lorong yang menuju tribun, tapi tribun yang riuh karena kehadiran sang maskot tampan sekolah itulah penyebabnya kenapa tabrakan dan ciuman antara keduanya tak mendapatkan respon.
Yura dan Richard sama-sama terdiam dengan wajah yang telah memerah masing-masing. Richard bingung harus bagaimana, begitupun dengan Yura. Ketika keduanya berhasil menguasai perasaan masing-masing, Richard menoleh ke arah Yura, pun begitu dengan Yura yang juga menoleh ke arah Richard. Mereka saling pandang dengan salah tingkah, terlebih Yura, dadanya berdebar-debar tak karuan. Ini kali pertamanya ia ciuman setelah berulang kali gonta ganti pacar dan rasanya flat saja tak ada yang istimewa sama sekali.
Richard hendak mengatakan sesuatu kepada Yura tapi suara riuhan yang berasal dari lorong membuat Richard menoleh ke arah belakang, begitupun dengan Yura yang kaget melihat beberapa pemuda dengan seragam yang sama seperti Richard datang menghampiri. Salah satu dari pemuda itu memanggil Richard lalu merangkulkan lengannya di lengan Richard dan mengajaknya untuk segera masuk ke lapangan basket, tapi Richard memberanikan diri menolak ajakan tersebut dan meminta teman-temannya berjalan lebih dulu darinya. Setelah teman-temannya pergi, Richard kembali menatap Yura dengan kebingungan. Jujur ia merasa gugup dan tak tahu harus bagaimana.
"Maaf." kata itu akhirnya yang keluar dari bibir Richard yang membuat Yura menoleh ke arahnya dan menatap bibir Richard lagi, dan dadanya semakin berdebar-debar tak karuan sekali lagi. "Maaf, aku benar-benar tak sengaja tadi." kata Richard lagi.
"Richard!" panggil salah satu teman Richard yang membuat Richard menoleh ke arah teman-temannya yang sudah berada di tribun. Temannya melambai meminta Richard segera turun karena pertandingan antar sekolah itu akan dimulai. Dan baru para siswi di tribun itu menyadari bahwa Richard, salah satu pemain basket dari sekolah lawan itu sangatlah tampan. Tak berselang lama nama Richard dielu-elukan kemudian, membuat riuh semakin menjadi-jadi di tribun. Richard memang sangat tampan, di dalam tubuhnya masih ada darah Jerman dan Belanda dari nenek moyang. Itu kenapa rambut Richard sedikit merah.
"Sebentar!" teriak Richard kepada rekannya. Ia kembali menoleh ke arah Yura yang terdiam di depannya. "Boleh minta nomermu?" tanya Richard seraya mengeluarkan ponselnya. "Please." kata Richard. Meski Yura tak tahu apa maksud Richard meminta nomer ponselnya, Yura akhirnya memberanikan diri memberikannya nomer ponselnya juga. "Nama?" tanya Richard.
"Yura!" panggil seorang pemuda yang berdiri di ujung lorong. Ia memandang Yura dan Richard bergantian dengan tatapan tak suka. Lelaki itu selalu seperti itu tiap kali ia memergoki Yura bersama pria lain. Pemuda itu berjalan cepat ke arah Yura dan menarik tangan kiri Yura buru-buru. "Ayok!" kata pemuda itu kepada Yura, Yura hanya bisa diam menuruti langkah pemuda itu yang statusnya adalah pacarnya. Yura menoleh dan Richard masih berdiri di sana dengan pandangan mata yang lurus menatapnya baik-baik. d**a Yura kembali berdebar.
Malam harinya ketika Yura akan tidur, ponselnya berbunyi kecil dan singkat. Sebuah bunyi yang ia setel sebagai pertanda bahwa ada pesan masuk baru. Dengan rasa enggan dan malas, ia meraih ponsel di atas nakas yang tak jauh dari tempatnya berbaring ingin segera tidur.
"Hai." kata itu yang dibaca Yura saat ia membuka pesan tersebut. Nomer asing yang tak dikenalnya, berikut dengan foto profil pemuda yang memegang bola basket. d**a Yura bergetar lagi kemudian, dengan tangan yang gemetaran karena penasaran itulah, ia membuka foto profil pengirim pesan itu dan melihat dengan seksama siapa yang ada di sana. Dadanya semakin terasa berdebar-debar tak karuan kala ia mengenali pemuda itu, pemuda yang telah mencuri ciuman pertamanya. "Apa kau sudah tidur?" lanjut pesan itu masuk ke ponsel pintar milik Yura.
Yura bingung harus menjawab bagaimana. Ia bangkit dari posisinya setelah meletakkan kembali ponselnya di atas nakas, kemudian ia berjalan mondar mandir tak jelas karena bingung merangkai kata yang tepat untuk membalas pesan Richard. Ponselnya berbunyi kembali, sebuah pesan masuk lagi.
"Maafkan aku, sebagai gantinya maukah kamu makan siang denganku?" pesan itu terbaca dengan sempurna oleh kedua mata Yura yang kini membulat karena kaget dan rasa tak percaya. Sebuah senyum kemudian mengembang di wajahnya. "Jam sepuluh pagi esok hari. Aku akan tunggu kamu sampai kamu datang di bakso Pak Irwan." pesan itu kembali terbaca oleh Yura dan ia melompat kegirangan.