"Oke. Gue standby di kantor nieh." kata Yura. Ia kemudian memutuskan sambungan teleponnya dan tersenyum ke arah Satria yang duduk di sebelahnya. Neli dan Ilham yang ada di depannya saling pandang heran. "Kita bakalan dapat pelanggan kaya, lagi!" seru Yura senang yang disambut riuhan tawa oleh teman-temannya sembari mereka mengetuk-ngetuk meja saking bahagianya.
"Eh? Siapa? Siapa?" tanya Neli antusias dengan mata yang berbinar. Ia segera membenarkan letak rambutnya yang jatuh ke depan untuk ia sematkan di belakang telinga dan memajukan badannya. Ia menatap Yura dengan mata berbinar-binar.
Yura memerhatikan teman-temannya satu persatu dan kemudian ia tertawa sesaat setelah pintu bel berbunyi di luar.
"Tuh, kayaknya udah datang." kata Yura yang disambut dengan kerlingan mata penuh harap oleh rekan-rekannya. Yura berdiri diikiti oleh teman-temannya. Semuanya berjalan ke arah pintu di mana Mia telah menekan tombol belnya.
Richard dan Mia menunggu dibukakannya pintu kantor kecil tersebut. Mia yang cantik dengan rambut panjang keriting gantungnya itu tak berhenti tersenyum sama sekali. Ada dua kebahagiaan yang kini ia rasakan, yang pertama ia bahagia karena bertemu Yura dan Yura adalah orang yang akan membantunya dalam pernikahannya, dan yang kedua adalah ia mendapatkan restu dari Ibu Richard untuk melangsungkan pernikahan, sebelum semuanya menjadi alot lagi.
Sedangkan Richard tak tenang, ia sangat gusar dan gugup sekali. Ia tak mengucapkan kalimat apapun sejak Mia mengatakan kalau ia ingin pernikahan mereka diurus oleh Wedding Organiser Cantika, tempat di mana Yura berada.
Ketika Yura membuka pintu, matanya langsung tertuju pada Mia yang tertawa puas menyapanya, sedetik kemudian matanya menatap mata coklat Richard yang juga menatapnya dengan gusar dan cukup terkejut.
Suara Mia melambat di telinga Yura, begitupun dengan waktu yang seolah-olah ikut berjalan sangat lambat. Yura terpaku. Ia sangat ingat dengan mata tegas berwarna coklat dan alis tebal hitam serta hidung yang terdapat tahi lalat kecil di dekat mata. Untuk memastikan bahwa ia tak bermimpi bertemu dengan orang b******k yang telah membuat hidupnya amburadul dan menolak puluhan lelaki yang datang serta susah move on itu, ia kembali melihat bentuk bibir, telinga dan rambut Richard.
Mustahil kalian melupakan seseorang yang sangat berarti dalam hidup kalian tapi juga sangat kalian benci, kecuali kalian mengalami amnesia, barulah semuanya mungkin dan itulah kini yang sedang dialami oleh Yura.
Saking kagetnya, suara Mia dan teman-teman kerja Yura seolah tertelah bumi. Mereka berempat seolah lenyap begitu saja menyisakan Yura dan Richard yang saling pandang kaget tanpa senyuman sama sekali.
"Yura! Yur!" panggil Mia sedikit berteriak sembari menggoyangkan bahunya. Yura tersentak dan menatap Mia dengan tatapan bingung yang luar biasa. Ia seperti orang linglung. Matanya berpendar dari satu temannya ke temannya yang lain dan berakhir menatap Richard lagi.
Sialan! Bukan Mimpi!
"Itu!" tunjuk Mia pada tangan Richard yang mengudara dan terjulur di hadapan Yura. Yura memandang Richard sekali lagi sebelum menjabat tangan lelaki itu dan berharap bahwa nama meraka tak sama. Terpaksa, dengan dadaa yang berdebar-debar tak karuan, Yura menjabat tangan Richard dengan enggan.
"Richard." sebut Richard pada dirinya sendiri. Yura serasa ingin pingsan dibuatnya. Orang yang diam-diam selalu ia harapkan kedatangannya dan meminta maaf telah memutuskannya secara sepihak itu kini benar-benar ada dan nyata di depannya.
"Nama lengkap?" tanya Yura tanpa senyuman sama sekali. Semua orang yang ada di sana saling pandang tak mengerti dan bingung. Tapi Yura tak peduli, Richard juga tahu kalau Yura kini ingin memastikan dirinya. Richard memberanikan diri.
"Richard Alvero Dendi." ucap Richard. Yura menyesal kenapa ia tak belajar ilmu taekwondo atau bela diri. Jika saja ia belajar mungkin kali ini ia akan benar-benar meremukkan tangan Richard. Alih-alih melepaskan tangannya terlebih dahulu, Yura malah menggenggamnya cukup lama, seolah-olah ia merindukan tangan itu yang menggenggam tangannya. Richard dengan dingin menarik tangannya dari Yura dan langsung menggandeng tangan Mia. Melihat hal itu entah kenapa hati Yura seketika mendidih. Ingin rasanya Yura melempar Richard dan Mia ke kutub selatan atau utara saat ini biar membeku di sana.
Yura tersenyum kaku ke arah Mia yang menatap aneh padanya.
"Calon suami lo gantengnya kayak artis luar negeri." puji Yura seolah-olah ia terpesona.
"Tapi lo gak boleh nikung gue, Yur... " kata Mia.
"Oh tenang aja, gue bukan orang yang suka ngerebut milik orang lain kok, Mi. Apalagi ninggalin orang lain buat sama yang lain. Gue gak suka sama cowok yang kayak gitu, apalagi lo sohib gue. No way forever ... " kata Yura dengan sindiran. Richard sadar bahwa ucapan Yura barusan itu menyindirnya. Ia tahu Yura mengikuti semua sosial medianya dahulu saat mereka putus, dan tentu foto-fotonya dengan Mira saat putus dengan Yura di IG, pasti membuat Yura berpikir bahwa dirinya menyelingkuhinya dengan Mira. Ah, masa bodo! Pikir Richard.
"Ehem!" Ilham berdehem. Ia pun membuat suasana seketika menjadi canggung dan salah tingkah. "Ayo masuk! Kita bicarakan konsep pernikahan seperti apa yang kalian inginkan." ajak Ilham seraya bergerak masuk ke dalam kantor diikuti oleh Neli, Satria, Mia dan Richard. Hanya Yura yang masih berdiri mematung di luar ruangan.
Tuhan, aku memang berdoa agar aku bisa membalas luka hatiku suatu hari nanti ke Richard, tapi? Bagaimana aku bisa membalasnya jika ternyata ia calon suami sahabatku? Lalu kenapa KAU pertemukan kami lagi?
Yura menghela napas panjang kemudian menghembuskannya secara kasar. Mundur tiba-tiba dari tim yang akan menangani pernikahan Mia rasanya tak mungkin mengingat Mia sendiri yang menginginkan dirinya mengurus segala t***k bengek pernikahannya dengan Richard.
Neli berteriak memanggil Yura, Yura menoleh dan mengangguk ke arahnya lalu berjalan ke arah motornya yang di parkir di depan kantornya. Setelah menyalakan mesin motornya, ia segera melajukan mesin motornya menuju mini market terdekat. Sesuai permintaan Neli padanya barusan yang memintanya mencari minuman untuk mereka.
"Hai, Ron ..." sapa Yura malas pada petugas mini market yang sedang melayani p********n pembeli di meja kasir saat Yura mendorong pintu kaca untuknya masuk. Ronald menoleh sejenak ke arah Yura yang bergerak malas menuju kulkas dingin.
"Kenapa lo? Lesu banget?" tanya Ronald.
"Gue ketemu musuh bebuyutan gue, dia jadi klien gue." kata Yura curhat dengan malas. Ronald menoleh dengan tatapan prihatin sejenak tapi dia kembali sibuk dengan rak-rak yang ada di depannya, menata makanan di sebelah Yura.
"Itu namanya takdir yang indah." kata Ronald.
"Maksud lo?" tanya Yura dengan mata melotot yang tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Maksud gue, lo bisa bales dendam ke dia sekarang." kata Ronald dengan sangat ringan.
"Yee! Lo pikir gampang!"
"Gampang, jahilin aja doi!" kata Ronald.
"Caranya?" tanya Yura sungguh-sungguh.
"Doi musuh bebuyutan lo, kan? Pasti lo tahu apa yang disuka sama nggak sama dia, apa makanan kesukaan dan gak-nya, apa minuman kesukaannya dan gak-nya, iya, kan?" tanya Ronald seraya berputar balik dan meningalkan Yura yang tertegun melihat satu minuman yang kemudian membuatnya menyunggingkan senyuman jahat. "Tapi kalo itupun lo mau ngelakuin, kalau lo cinta ke dia ya gak bisa lo ngelakuin itu! Karena beda cinta dan benci itu tipis!" kata Ronald seraya mencontohkan apa itu tipis dengan kedua jarinya (jari antara jempol dan telunjuk).
Sialan Ronald! Kenapa jadi bilang antara cinta dan benci sih?