22: Rasa Bimbang

1047 Words
"Siapa?" tanya Richard sekembalinya Mia ke dalam apartemennya. "Ojek Online. Aku pesan makanan karena lapar." kata Mia berbohong. Setelah membuang bungkus makanan yang diberikan oleh Ayahnya dan berniat masuk, ia merasa tak enak dan berbalik lalu mengambil bungkus makanan tersebut. Hal yang tidak diketahui oleh Ayahnya saat ia memutuskan memungut kembali makanan di sampah tersebut, Ayahnya sudah terlanjur terluka dengan sikap Mia. Ayahnya selalu merasa bersalah karena membiarkan Mia tinggal bersama kakaknya dari kejadian mengerikan itu sampai ia bebas. "Sudahlah, dia model papan atas. Sudah kukatakan kau tak perlu membelikan makanan warteg kepadanya." kata rekan Ayahnya yang sudah menempel seperti parasit kepada Ayah Mia. Ayah Mia hanya tak tahu kalau rekannya itulah yang telah memeras Mia dengan berpura-pura menjadi Ayah Mia. Pria tua licik yang mengerikan, menggunakan uang Mia sekenanya tapi ia dianggap malaikat kebaikan yang turun dari langit oleh Ayah Mia. Bagaimana tidak? Rumah kontrakan dan segala fasilitas gratis dari rekannya yang dikira Ayah Mia itu murni pemberian rekannya, nyatanya adalah dari Mia. Bahkan sebagian besar uang yang dikirim Mia itu sudah habis di meja judi. "Tapi dia putriku, aku yakin dia tak akan melupakanku." kata Ayah Mia dengan nada sedih. "Aku tahu. Tapi kita bisa apa? Kita mantan napi. Lihat saja aku, aku juga tak diterima oleh keluargaku, kan?" kata lelaki itu. "Tapi kau punya warisan banyak dan aku hanya menumpang padamu." kata Ayah Mia dengan tatapan malu. "Sudahlah. Bukankah kita sudah saling membantu sejak berada di penjara?" katanya berpura-pura baik. Dua laki-laki itu meninggalkan apartemen Mia dengan cepat ketika melihat mobil polisi berkeliaran. Mereka seperti masih menyimpan trauma jika mendengar suara sirene mobil polisi berkeliaran. Bayangan penjara yang menyesakkan selalu membuat mereka berdebar ketakutan. Sedang di dalam apartemen Mia, Mia melanjutkan makan buburnya sembari pikirannya melayang jauh ke Ayahnya. Bayangan Ayahnya yang hanya mengenakan pakaian kumal itu membuat ia lupa percakapannya dengan Richard sebelumnya. Richard memerhartikan wajah Yura yang nampak lesu, ia kemudian penasaran dengan bungkusan yang dibawa oleh Mia. Tangannya meraih bungkusan kecil tersebut dan membukanya, disana ada satu bungkus makanan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mia tadi. "Bagaimana kalau kita main ke pantai?" tawar Richard. "Aku ada sesi pemotretan terakhir dua hari ini sayang, lusa kita melakukan tinjauan terakhir sebelum menikah." kata Mia. "Baiklah." jawab Richard paham. "Aku antar kamu ke lokasi pemotretan, bagaimana?" tawar Richard. Mia tersenyum mendengarnya dan mengangguk cepat. Setengah jam kemudian Richard dan Mia meninggalkan apartemen Mia menuju lokasi pemotretan Mia. Ketika Mia akan turun dari mobil, Richard mencegahnya dengan menahan lengan kirinya. "Jika ada yang ingin kau bicarakan padaku, sayang, katakanlah. Biar hatimu lega." kata Richard yang semakin membuat Mia merasa tersudut dan ketakutan. Mia sungguh-sungguh bingung dengan situasinya saat ini. Ia merasa sangat sial dengan kebebasan Ayahnya beberapa bulan yang lalu. Bukan hanya perekonomiannya yang berantakan karena Ayahnya selalu meminta uang padanya, tapi juga ia takut ancaman Ayahnya yang akan memberitahu Richard kenapa ia dulu di penjara. "Tidak ada." "Aku melihatmu murung hari ini." "Itu karena sesungguhnya aku tak ingin datang ke pemotretan. Aku ingin bersamamu terus menerus." kata Mia. Richard tersenyum mendengarnya. "Sudah sayang, aku sudah terlambat masuk. Nanti kita lanjut lagi." kata Mia seraya melayangkan kecupan singkat ke pipi kiri Richard. Setelah mobil Richard pergi, Mia berbalik dan berjalan masuk ke dalam ruangan pemotretannya, tapi langkahnya terhenti karena seseorang menghadangnya. Melati. Dadaa Mia berdebar kencang. Tatapan Melati selalu sukses membuatnya menegang karena cemas dan takut sekaligus, bahkan kini ia merasa gugup. "Kita harus bicara." kata Melati. "Maaf tante, saya ada pemotretan." "Kalau begitu kita bicara di sini saja." kata Melati tak sabar. Mia menatap ke sekelilingnya di mana orang-orang berlalu lalang dengan sangat bebas. Ia takut ucapannya dengan Melati nanti akan diketahui oleh rekan-rekan kerjanya. Kemudian Melati mengangkat pergelangan tangan kirinya dan melihat jam di sana. Ia masih punya waktu sekitar sepuluh menit untuk bicara dengan Melati sebelum melakukan pemotretan. "Silahkan tante ikuti saya." kata Mia kepada Melati sembari berbalik pergi dari halaman lokasi pemotretannya. Melati mengikutinya berjalan dan mereka sampai di sebuah restaurant dan cafe yang terletak di sebelah lokasi pemotretan Mia. Mia segera memesan america cappucino dan Melati memesan Latte. Keduanya duduk di pojok luar cafe tersebut, menghindari beberapa orang yang lebih memilih duduk di area dalam. "Aku juga tidak banyak waktu, Mia. Terserah apa kau ingin melanjutkan menikah dengan Richard atau tidak. Aku tidak akan menawarkan hal-hal menarik seperti sebelumnya, tapi aku hanya ingin kamu melakukan satu hal karena jika kau tak melakukannya, maka aku yang akan melakukannya." kata Melati dengan serius. "Apa, tante?" "Katakan pada Richard sebenarnya tentang keluargamu dan Ayahmu yang memerasmu. Aku tak ingin setelah kalian menikah nanti ada masalah lain muncul, terutama masa lalumu, terlebih ayahmu yang matre." kata Mia. Mia tertegun menyadari bahwa Melati mengetahuinya dan ia semakin tak punya nyali melangkah lebih jauh ke pernikahan dengan Richard, apalagi soal masa lalunya yang sudah diketahui oleh Melati. Ia benar-benar takut Richard murka suatu saat nanti. "Tidakkah tante bisa menyembunyikan untuk saya?" "Apa kau tak mengenal Richard?" tanya balik Melati. "Kau seharusnya tahu bahwa Richard tak suka ditipu. Sudah berapa banyak karyawan yang ia pecat hanya karena masalah sepele?" tanya Melati. Mia terdiam karena memang ia tahu seberapa marah ketika Richard tahu ada penipuan di sekitarnya. "Tapi saya tidak berniat menipu siapapun, Tante." "Apapun itu, Mia, sebaiknya kau jujur kau anak siapa kepada Richard dari pada Richard tahu dari orang lain. " kata Melati. "Ia tahu, Mia, dia hanya menunggu kau jujur padanya dan menceritakan yang sebenarnya soal kejahatan ayahmu." kata Melati. "Ayah saya tak jahat. Masalah itu hanya jebakan di masa lalu." "Aku sama sekali tak peduli hal itu, Mia! Yang kupedulikan sekarang kondisi suamiku dan kemarahan Richard di masa depan!" kata Melati. "Jika kau jujur pada Richard, kelak ketika Papanya sudah jauh lebih baik, ia bisa membelamu." kata Melati menyarankan. "Aku takut." "Kau takut jujur atau takut kehilangan?" tanya Melati. "Dua duanya." kata Mia sembari mengingat sudah berapa banyak mantan pacarnya yang mundur setelah ia menceritakan kisah tentang dirinya dan Ayahnya yang pembunuh. Dan Mia sungguh-sungguh takut kalau Richard akan berlaku sama dengan mantan-mantanya terdahulu. "Kuberi waktu sampai lusa, ungkap dirimu sebenarnya kepada Richard atau aku yang akan bicara pada Richard." kata Melati. Mia mendongak tak percaya. "Yakin saja meski hanya satu persen bahwa Richard akan menerimamu." kata Melati yang kemudian berdiri dan meninggalkan Mia seorang diri. Air mata Mia jatuh membasahi pipinya kemudian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD