11: Nomer

1038 Words
"Yur,  sejauh apa lo tahu tentang calon suami gue?" tanya Mia tiba-tiba yang membuat Yura mendongak ke arahnya sembari konsentrasinya pecah gegara pesan dari Dimas yang mengajaknya candle light dinner. "Ap-apa?" tanya Yura lagi. Mia yang sedang didandani oleh si perias itu mengangkat tangannya, tanda ia meminta dihentikan sejenak riasannya. Setelah itu ia menoleh ke arah Yura dengan tatapan yang berbeda. "Kamu tahu suamiku sejauh mana?" tanya Mia. "Masih calon suami!" seru Melati menyahut kemudian. Yura dan Mia menoleh ke arah penghasil suara dan sedikit terhenyak menyadari Mama tiri Richard ada di sana,  di dekat pintu masuk yang memang sengaja dibuka. Perempuan tersebut kemudian melenggangkan kakinya untuk masuk ke dalam kamar tamu tersebut dan duduk di salah satu sofa yang telah disediakan. Ia menatap dengan nyalang ke arah ketiga wanita yang langsung terdiam itu. Wanita angkuh itu kemudian mengambil salah satu majalah dan mulai membacanya. "Ini hanya karena permintaan Papa Richard yang sakit-sakitan agar Richard segera menikah. Kalau saja ia sadar dan tahu bahwa yang dinikahi Richard hanyalah perempuan biasa, ia pasti marah dan akan menolaknya mentah-mentah." kata Mama Richard pedas. Yura merasa sangat prihatin dengan apa yang dialami oleh Mia barusan. Perlakuan kasar dari calon Mama mertua itu pasti membuat Mia merasa tak nyaman. Trial make up selesai dilakukan setengah jam kemudian.  Mia memerhatikan wajahnya baik-baik di depan cermin. "Menakjubkan!" seru Yura kagum melihat make up yang ada di wajah Mia yang membuatnya tampak sangat cantik dan mempesona. "Kau suka?" tanya Mia dengan ekspresi datar. "Kenapa aku rasanya ini terlihat sangat tebal ya? Apa bahasanya?  Menor?" tanya Mia lagi. "Lo bahkan gak kelihatan kayak pakai make up, Mi. Natural but so good. " kata Yura berargumen. "Yang mau nikah itu gue bukannya elo." kata Mia dengan ekspresi tak sukanya sama sekali. "Lalu anda ingin saya melakukan retouch seperti apa?" tanya perias itu sangat sabar. "Lakukan retouch lagi!" perintah Mia kasar yang ditanggapi dengan anggukan kepala oleh perias tersebut. Yura dan Mia kemudian mendengar suara majalah yang dilempar di atas meja. Kemudian Mama Richard berdiri dan keluar dari kamar tamu itu. "Sudah! Sudah! Aku suka dengan make up anda." kata Mia tiba-tiba. Sikap anehnya itu membuat Yura dan perias itu saling pandang dengan sangat heran. "Kalian boleh pergi,  tinggalkan aku sendiri!" perintah Mia sekali lagi dengan tatapan tegas dan sedikit sendu yang terlihat di wajahnya. Yura tahu kalau ia merasa tak nyaman dengan apa yang sedang terjadi antara Mia dan Ibu tiri Richard. "Mia,  jangan lupa kalau besok sesi pemotretan dan pengambilan video untuk foto prewedding." kata Yura seraya meraih tas tangannya di atas meja rias dan berlalu pergi dari Yura bersama periasnya. Ia tahu kalau Mia pasti ingin meluapkan perasaannya dalam tangisan, itu sebabnya Yura memutuskan untuk pulang saja alih-alih sok baik dan perhatian dengan mood Mia yang naik turun itu. Selepas Yura menutup pintu kamarnya, Mia menatap dirinya lekat-lekat di depan cermin di hadapannya lalu air mata turun begitu saja membasahi kedua pipinya. Ia tahu pernikahannya dengan Richard mengalami banyak kendala terutama dari Mama Richard yang sikapnya menunjukkan terang-terangan tak suka kepadanya. Terkadang Mia merasa ingin menyerah saja soal pernikahannya itu. *** "Kau tak ingin pulang lebih awal?" pesan itu akhirnya terkirim juga ke nomer Richard yang selama ini Yura simpan di ponselnya. Ia tahu mustahil Richard masih menggunakan nomer yang sama dengan nomer saat mereka masih SMA dulu.  Tapi dua tanda tercentang di pesan yang Yura kirimkan. Kemudian ia berpikir bisa saja nomer Richard digunakan oleh pengguna lainnya. "Ini siapa?" balasan pesan itu membuat Yura tersenyum masam. Benar dugaan Yura bahwa tak mungkin Richard masih menyimpan nomernya dan juga tak mungkin Richard masih menggunakan nomernya itu. "Maaf sepertinya saya salah kirim pesan. Saya berniat menghubungi calon suami teman saya." balas Yura akhirnya. "Yura? Ini kamu? Benar ini kamu, kan?" balas pesan tersebut yang membuat mata Yura membulat sempurna. "Jadi ini benar,  Richard?" balas Yura. "Jadi kamu masih simpan nomerku?" balas Richard yang disertai emot tertawa yang membuat Yura merasa eneg sekaligus. Yura merasa kesal dua kali lipat kemudia. "Nomer klien ada di formulir kami." "Lalu kenapa kau tadi merasa kalau salah nomer?" "Takut salah menyimpan saja." "Oh. Aku kira kamu masih simpan nomerku sejak SMA." "Buat apa?" "Ya buat apa lagi selain berharap kau meminta aku kembali ke pelukanmu." "Najis." "Ha ha ha. Akui saja, Yur." "Aduh. Nyesel aku hubungi kamu. Cepetan pulang dan lihat kondisi calon istri lo." "Mia? Kenapa dengannya?" "Makanya cepat pulang! Cari tahu sendiri saja!" lalu Yura mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam tasnya kembali. Ia menyesal telah mengirim pesan untuk Richard. Setelah membalas pesan Yura yang terakhir, ia tak mendapatkan balasan dari Yura kembali. Richard kemudian mencoba menghubungi Mia tapi berkali-kali ia mencoba tetap saja Mia tak mengangkatnya. Ia cemas tapi sekitar dua jam lagi ia masih harus menemui investor asing lainnya. Richard menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan dan apa yang sedang terjadi dengan Mia di rumahnya. Lalu dengan segera Richard menghubungi sekretarisnya dan memberitahunya kalau ia harus menghubungi sopirnya karena ia akan bersiap untuk pulang sebentar lagi. "Tapi,  Pak ... Maaf,  tapi anda ada janji temu dengan mister David dua jam lagi." "Aku hanya akan pulang sebentar, Siska. Makanya cepat hubungi sopirku." "Baik,  Pak. Segera." jawab Siska. Kemudian Richard mengakhiri panggilannya dan segera keluar dari ruang kerjanya yang super luas. Ia menyapa Siska saat melewati gadis yang baru saja menutup teleponnya tersebut. Gadis itu buru-buru menganggukkan kepalanya saat sang bos besar dengan segala ketampanan, wibawah dan pesonanya itu melewatinya.  Siska menghela napas berat. Ia tak mengerti kenapa ia selalu saja berdebar saat bersama dengan bosnya, padahal ia tahu ia sudah bekerja dengan lelaki pekerja keras tak kenal ampun itu dua tahun yang selaku membuatnya hampir setiap hari jantungan karena tingkahnya. Siska bahkan berulang kali komat kamit tak jelas, berharap jantungnya kuat bekerja dibawah tekanan pesona ketampanan Richard. Banyak orang yang iri dengan posisi Siska yang selalu bisa dekat dengan Richard. Mereka mengatakan Siska beruntung punya bos tampannya sekelas artis luar negeri. Tapi juga tak sedikit yang mengatainya dekil karena sang bos sama sekali tak menunjukkan reaksi ketertarikannya sama sekali kepada Siska. Tapi meski begitu Siska sama sekali tak berniat punya suami seperti Richard, ia tak ingin menanggung konsekuensi mati muda karena penyakit jantung yang disebabkan cemburu buta setiap melihat sang suami bersama perempuan lain. Resiko orang tampan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD