POV Satria
Begitu aku dan Zaki selesai makan, Nina langsung menumpuk piring-piring kotor, segera membawanya ke dapur. Tidak tega dia mencuci piring sendiri, aku pun mengikutinya sambil sekalian membawa mangkuk beling kotor bekas wadah sayur.
"Ingat adik sudah punya suami," ucapku sambil meletakkan mangkuk ke wastafel. Tanganku meraih piring yang telah disabuni Nina, membilasnya sambil memandang istriku. Dia diam saja. Menoleh pun tidak.
"Dengar tidak mas bicara apa,Sayang?"
Diembuskannya napas. "Iya, denger."
"Sudah punya suami juga sudah punya anak jadi harus bisa jaga sikap," kataku lagi. Aku kesal dia keganjenan pada Zaki. Bisa-bisanya perempuan beristri membicarakan masa lalu dengan mantan pacarnya.
"Maksud mas apa, sih, sebenarnya?" Dia mengerutkan kening. Pura-pura tidak tahu maksudku, dia. Aku menghela napas. Harus ekstra sabar, memang, menghadapi anak kecil, apa-apa harus dijelaskan dengan detail.
"Jaga sikap adik pada Zaki. Adik sudah punya anak, malu pada Hanif dan Hanifa." Aku menekan perasaan kesal teringat wajah Nina yang tampak mengenang saat bicara dengan Zaki tadi. Sebegitunya mengenang masa lalu padahal ada suami di sampingnya.
"Ya, Allaaah." Keluhnya. Dia gelengkan kepala dua kali dan buru-buru berkata, "Aku kan hanya bicara biasa aja, Mas sama Zaki. Ya masa diam-diaman. Apa mas ingin aku dan Zaki diam-diam aja seperti orang musuhan? Jadi kalau Zaki negur, aku diem aja, gitu, kayak patung?" Ditatapnya aku dengan wajah jengkel.
"Ya tidak diam-diaman juga, Sayang. Hanya jaga sikap. Bicara sewajarnya saja tidak perlu mengenang masa lalu segala. Itu kan hanya masa lalu jadi jangan diingat-ingat lagi. Adik hanya boleh mengenang masa lalu kita saat kita masih jadi pengantin baru dulu," kataku yang Nina tanggapi dengan senyuman kecil.
"Mas cemburu?" Dia kembali tersenyum kecil. "Aku gak mengingat-ingat, Mas. Tiba-tiba aja aku ingat kenangan bersama Zaki. Jadi, aku gak pernah ngingat-ngingat selama ini."
Kutarik napas panjang. Dia tidak mengerti maksud ucapanku ternyata.
"Maksud mas, kamu dan Zaki tidak usah dekat-dekat, bicara sewajarnya saja. Jangan pernah lagi mengenang masa lalu. Ingat-ingat bahwa adik sudah jadi ibunya Zaki sekarang."
"Si-aap! Aku ingat-ingat!" Nina menempelkan tangan ke keningnya.
"Kamu hanya boleh mengingat masa lalu kita, Sayang. Seperti, waktu pertama kali adik peluk Mas karena jatuh dari kursi roda, atau saat kebingungan saat kacamata adik nyantol di leher mas." Aku tersenyum saat teringat ucapanku yang terakhir. Saat itu Nina sedang kesal karena ucapanku, semua barang dia lempar padaku sampai behanya juga dia lempar dan mengalung ke leherku. Yang kurasakan saat itu tentu saja, kaget. Untung saja Putri teman Nina segera mengambil benda keramat itu.
Nina mendelik saat aku kembali tersenyum. "Heran, kayak gitu aja kamu inget, Mas." Dia mengerucutkan bibir. Aku tersenyum memandangnya yang terlihat menggemaskan tiap cemberut.
"Mas tiba-tiba ingat, Sayang." Aku memandangnya.
"Jangan lagi bicara tentang masa lalu pada Zaki, ya? Ingat adik sudah punya si kembar."
"Siaap!" Dia meletakkan piring yang sudah disambuninya ke tumpukan piring teratas.
"Ehemp, jadi ayah cemburu padaku?"
Suara di belakangku sontak membuatku menoleh. Aku menggaruk rambut, melihat Zaki tengah menggelengkan kepala sambil berjalan mendekat. Dia membawa dua gelas kotor yang segera dia letakkan di wastafel.
Zaki menghadapku. "Ayah, ada apa denganmu? Ayah tidak seharusnya cemburu padaku karena Nina lebih memilih ayah daripada manusia ini." Zaki menepuk dadanya dengan bibir mengulas senyum.
"Ayah tidak cemburu. Ayah memberi tahu Nina agar jaga sikap. Itu saja. Iya, kan?" tanyaku pada Nina.
"Iya," jawab Nina dengan kepala menunduk. Zaki memperhatikannya.
"Ibu tidak aneh-aneh padaku, Yah. Bu, maukah membuatkanku wedang jahe? Jujur saja aku agak kurang enak badan." Zaki menatap Nina. Nina mengangkat wajah, menatapku seolah meminta persetujuan.
"Buatkan saja. Zaki itu kan sekarang anakmu, Sayang," kataku sambil membilas piring. Dengan wajah terlihat tak nyaman Nina menuju kulkas, mengeluarkan beberapa ruas jahe lalu mencucinya.
"Jika sudah jadi, tolong bawakan ke depan ya, Bu?"
Nina memandangku dengan wajah sedikit kesal. "Iya," jawabnya.
"Ya sudah, aku tunggu di depan, Bu."
Zaki akhirnya melangkah pergi. Sepeninggalnya, Nina memandangku dengan jengkel. Aku mengerutkan kening heran.
"Kenapa, Sayang?" tanyaku yang bingung melihat ekspresi juteknya. Padahal seharusnya aku yang marah karena sikapnya dan Zaki saat makan tadi.
"Katanya mau bilang ke Zaki agar berhenti panggil aku Bu. Masa lupa, Mas? Belum lama bilang."
"Oh, itu." Aku mengangguk. "Mas lupa, Sayang, nanti mas bilang. Asal adik janji akan jaga sikap, mas pasti bilang pada Zaki agar tidak panggil adik ibu lagi."
"Iya aku janji akan jaga sikap."
"Janji?" Jari kelingkingku terangkat ke udara.
Nina melebarkan mata. "Mas kekanak-kanakkan." Tapi dia tetap menautkan jari kelingkingnya ke kelingkingku.
"Iya aku janji, Mas."
"Baiklah kalau begitu, Mas ke depan dulu mau bilang pada Zaki jangan panggil adik ibu lagi."
"Iya, pokoknya panggil apa aja boleh asal bukan panggil ibu dan turunannya."
"Apa itu turunannya?"
"Kata-kata serupa maknanya kayak bunda, Mama, Umi, intinya aku gak mau dipanggil ibu. Aku sama dia itu sebaya, Mas." Dia mengerucutkan bibir terlihat jengkel. Dia kesal pada Zaki tapi aku yang jadi pelampiasan.
"Baiklah, Mas akan bilang pada Zaki."
"Suruh dia panggil aku Nina seperti biasanya."
"Ya, ya." Aku mengangguk-angguk. Kemudian melangkah ke depan di mana Zaki sedang duduk di lantai mengajak Hanifa mengobrol. Sementara Hanif sedang melumat bisquit. Pipinya belepotan. Aku meraih tisu di meja, menggunakannya untuk mengusap pipi dan sudut bibir Hanif.
"Pikirku, mau kubersihkan setelah selesai makan biskuit sekalian, Yah."
Aku duduk di sampingnya. Memperhatikannya.
"Kenapa, Yah?" tanyanya heran.
"Begini. Zaki, kamu jangan panggil Nina ibu lagi. Panggil saja Nina." Aku langsung pada inti.
Zaki menyipitkan sebelah mata, terheran-heran memandangku.
"Kenapa aku harus memanggilnya Nina bukan ibu?"
"Karena kamu dan dia sebaya. Nina bilang pada ayah, dia risih dipanggil ibu."
"Ayah dan Nina ternyata sama anehnya." Zaki menggelengkan kepala. Senyum tipis yang tersungging di bibir tipisnya membuatku menajamkan mata. Bisa-bisanya dia tersenyum mengejek pada ayahnya sendiri.
"Aneh bagaimana maksud kamu? Nina tentu saja risih dipanggil ibu karena kalian seumuran. Bahkan masih tua kamu beberapa bulan dibanding dia."
Zaki mengangguk diiringi senyum. "Itu memang benar, Yah, masih tua aku. Tapi faktanya sekarang, dia adalah ibuku karena dia menjadi istri ayah. Kalau aku memanggilnya Nina, itu artinya aku tidak sopan dan tidak menghargai dia sebagai ibuku. Benar begitu, Yah?"
Mau menyangkal fakta itu tapi kenyataannya memang benar. Aku pun menghela napas. Tidak bisa berbuat banyak.
"Ya terserah kamu mau panggil apa asal jangan panggil ibu atau mama. Panggil yang lain saja."
Zaki menggelengkan kepala. "Ayah, sungguh ayah lucu sekali. Baiklah, kalau begitu aku panggil dia sayang."
"A-pa?!" Tatapanku menajam. Zaki mengulum senyum.
"Iya, jika tidak boleh panggil ibu, aku panggil dia sayang saja. Aku tidak mau panggil nama karena kurang sopan. Dia kan ibuku. Jadi aku panggil dia sayang." Zaki cengengesan. Aku mendelik dengan d**a dongkol.
"Mana ada anak panggil ibu tirinya sayang?"
"Berarti yang benar, aku panggil dia ibu bukan, Yah?"
"Ya ya," ucapku akhirnya karena tidak ingin dia memanggil Nina sayang. Yang benar saja. Yang boleh memanggilnya Sayang hanya aku.
Zaki memandangiku lantas menggelengkan kepala. Senyum menyimpul di bibirnya tipisnya sebelum berkata, "Ayah sungguh lucu sekali."
"Nina yang menyuruh ayah melarangmu." Akuku.
"Kalau begitu, ayah jelaskan pada Nina bahwa dia menikah dengan ayahku."
"Ya ya," kataku tak dapat berkata-kata lagi.
Nina berjalan mendekat membawa nampan berisi dua gelas. Di letakkannya masing-masing gelas berisi air dengan geprekan jahe agak sedikit kehitaman di hadapan kami.
"Terima kasih, Bu," kata Zaki. Nina langsung memandangku.
"Dari aromanya, pasti nikmat deh wedang jahe buatan ibu."
Nina kembali memandangku, kali ini dengan sedikit mendelik. Aku pura-pura tak mengerti maksudnya.
"Mas," kata Nina, wajahnya cemberut.
"Kenapa, Sayang?" tanyaku.
"Iiih, nyebelin, deh." Nina menyentak napas, buru-buru dia membalikkan badan lalu melangkah pergi. Sungguh aku benar-benar serbasalah.