POV Satria
Aku dan Zaki bertemu tatap, aku tersenyum canggung karena mengingat kejadian terakhir kali begitu pun Zaki tersenyum juga, tampak canggung. Jujur, aku senang dia mau pulang lagi ke rumah karena sejak kejadian itu, yang ternyata dia tahu aku akan menikahi pacarnya dan Zaki pun hadir di pernikahanku, hubunganku dan Zaki jadi renggang.
Zaki tidak pernah menelepon lagi seminggu sekali seperti sebelum aku menikah dengan Nina dan kalaupun di telepon olehku pasti tidak diangkat. Pesan yang kukirim, dia jawab seadanya. Jika aku mengirim pesan, sudah makan, Ki? Dia jawab, y. Jika aku mengirim pesan bertanya, bagaimana kuliahnya, apa kamu ikut organisasi yang membuatmu jadi sibuk? Dia jawab, ikut.
Siapa yang tidak gemas jika pesannya hanya dijawab seadanya saja? Maka aku bertanya untuk memancingnya membalas pesanku sedikit lebih panjang, bagaimana hubunganmu dengan perempuan yang kamu bawa ke rumah waktu itu?
Zaki membalas, aku menyewanya untuk pura-pura jadi pacarku, Yah.
Itu membuatku syok. Yang membuatku tambah syok, dia kembali mengirim pesan.
Aku menyewanya jadi pacarku karena pacarku diambil ayah. Disertai emoticon menangis juga senyum.
+Ayah tidak perlu merasa bersalah. Toh Nina juga mau dengan ayah jadi itu bukan salah ayah. Wah aku kalah saing dengan ayahku sendiri) Emoticon menangis menyertai pesannya waktu itu.
Sejak saat itu, kuputuskan untuk tidak mengiriminya pesan lagi. Kalau dia kangen misalnya, biar dia saja yang menelepon daripada aku disindir-sindir.
Jadi, ya jujur saja, aku sangat senang dia tiba-tiba pulang ke rumah tanpa mengabari terlebih dulu, tapi juga tidak nyaman mengingat dia dan Nina dulu adalah sepasang kekasih dan ternyata Zaki hanya menyewa orang untuk jadi pacarnya. Pasti sekarang, Zaki masih menyukai Nina. Seperti cintaku pada Nuri yang adalah ibu kandung Zaki, Zaki pun pasti butuh waktu melupakan Nina, tak mungkin hanya beberapa bulan saja dia bisa melupakan orang yang dicintainya.
Zaki mendekat lalu mencium punggung tanganku, tersenyum kecil tapi senyumnya terlihat seakan dia mengejekku. Tidak hanya Zaki yang mendekat, si kembar pun ikut merangkak mendekat. Aku mengulurkan tangan lantas menggendong Hanifa, setelah mencium keningnya, ganti Hanif yang kugendong. Di bawah, Hanifa rambatan di lututku. Akhirnya kugendong dua-duanya, satu di d**a kanan, satu di d**a sebelah kiri.
"Sudah lama pulang?" tanyaku yang dijawab anggukan oleh Zaki.
"Tadi siang, Yah."
"Oh." Aku mengangguk. Kejadian terakhir kali benar-benar membuatku canggung. "Sudah makan?" tanyaku lagi. Basa-basi tidak apalah, yang penting ada obrolan tidak kaku.
Zaki mengangguk. "Sudah, Yah, barusan aja."
"Baiklah, kalau begitu istirahat. Pasti kamu lelah habis perjalanan jauh."
"Tentu saja lelah, yah."
Hening. Aku menggaruk rambut. "Apa kamu tidak bawa mobil?" tanyaku yang penasaran karena mobilnya tidak ada di halaman.
"Aku pulang bareng temen."
"Mobilmu?" tanyaku penasaran.
"Masuk bengkel, Yah," jawabnya dengan tatapan ke wajahku. Tatapannya seakan tengah mengintrogasiku atau mungkin ini hanya perasaanku saja?
"Oh, masuk bengkel. Kenapa bisa masuk bengkel?"
"Kebut-kebutan, Yah," jawabnya jujur yang membuatku terperangah tidak percaya. Dia anak yang kalem jadi mana mungkin kebut-kebutan? Benar-benar kaget aku mendengarnya
"Kebut-kebutan?" Tatapanku menajam. Dia mengangguk membenarkan.
"Iya. Karena pacarku diambil orang, aku jadi sedikit stres."
"Ehemp." Aku berdeham kecil. Jelas dia sedang menyindir. Di sampingku, Nina menggaruk sisi kepalanya. Terlihat tak nyaman, dia.
"Ya sudah kalau mau mandi."
"Sudah mandi, Yah."
"Kalau mau istrirahat," ralatku.
Zaki mengangguk dengan bibir mengulas senyum. Lalu katanya sambil memandang Nina.
"Ibu, masakkan aku yang enak ya? Ibu tentu tahu makanan kesukaanku."
Nina mendelik. Bibirnya manyun.
"Bisa gak kamu gak panggil aku ibu, Ki? Ngeselin, deh!"
Zaki tersenyum kecil dengan sorot geli, membalikkan badan dengan santai kemudian melangkah menuju kamarnya. Nina mengentakkan kaki ke lantai, membuatku mengernyit heran.
"Kenapa sih, Sayang?"
Nina menyentak napas keras. "Mas, mas bilang deh sama Zaki, jangan panggil aku ibu! Nyebelin banget, tau, dengernya!" Dia kembali menyentak napas dengan tatapan galak padaku.
"Memangnya kenapa kalau dia panggil kamu ibu, Sayang?"
"Ya gak mau, lah! Aku sama dia kan sepantaran, seolah aku udah tua banget. Pokoknya, Mas harus bilang sama dia agar gak panggil aku ibu. Denger, Mas?"
"Iya, Sayang, Mas dengar. Nanti mas bilang padanya."
Nina menghela napas. Kami berpandangan.
"Emmp, aku, masakin Zaki dulu ya, Mas." Dia terlihat tak enak hati.
Memasak untuk Zaki? Entah kenapa aku tidak rela, dia sedang hamil mau memasak untuk Zaki. Aku pun memandanginya. "Memang adik tidak mual? Biar Mas saja yang masak." Asli tidak rela istriku memasak untuk lelaki lain walau itu anak.sendiri. Masalahnya, Zaki terlihat masih menyukai Nina.
"Agak mual, sih. Yaudah aku bantuin Mas kalau gitu."
Aku mengangguk. Kami pun menuju dapur, aku menurunkan si kembar lalu mengambil lele di kulkas. Zaki, makanan favoritnya adalah pecel lele dan nasi goreng. Tapi nasi di mejikom agak lembek, yang tentu saja tidak bisa dibuat nasi goreng. Saat mulai mencucinya di wastafel karena lele yang sudah dibumbui tinggal dua biji, Nina yang tengah memetiki cabai langsung mual-mual. Akhirnya kembali kumasukkan lele ke kulkas. Nina mengernyit heran.
"Gak jadi digoreng, Mas?" tanyanya dengan tatapan aneh.
"Kalau digoreng, hanya akan menyiksa adik," jawabku yang dia jawab dengan senyuman.
Setelah mencuci sawi, aku lantas memotonginya di talenan.
"Mas?"
"Ya, Sayang?" Aku menoleh.
"Ehm, jangan bilang sama Zaki kalau aku hamil, yaa?" Pintanya yang membuat tatapanku langsung menajam. Memangnya kenapa kalau Zaki tahu dia hamil?
Nina nyengir kecil. "Aku malu, Mas. Jangan bilang, ya, Mas?"
"Kenapa malu? Kan punya suami." Aku menggelengkan kepala, tak habis pikir dengan pemikirannya.
"Ya malu, anak masih kecil-kecil udah hamil aja. Pokoknya, gak ada yang boleh tau kalau aku hamil, Mas, baik tetangga maupun Zaki. Ya, Mas?" pintanya dengan tatapan mengibai.
"Nanti pasti, orang-orang akan berpikir kita sering lakuin, jadinya aku hamil, deeh. Mas sih, minta mulu, jadinya aku hamil, kaaan?" Dia sedikit mendelik.
Aku menggaruk rambut. Aku yang disalahkan, padahal melakukannya berdua. Karena tidak ingin orang berpikir seperti itu, aku pun mengangguk.
"Baiklah."
Begitu selesai masak aku segera mandi, salat asar, setelah itu memanggil Zaki di kamarnya.
Tok tok. "Zaki, sudah matang. Ayo bangun lalu makan."
"Iya, Yah." Terdengar sahutan dari dalam.
Tak lama kemudian, pintu membuka. Aku menghela napas melihat foto-fotonya dan Nina terpajang di dinding kamar. Kunci kamar selalu Zaki yang pegang, bahkan dia berangkat ke Metro pun dibawanya jadi aku cukup syok melihat banyaknya foto istriku dengannya yang sangat mesra di kamarnya. Seolah mengerti yang kupikirkan, Zaki tersenyum.
"Aku belum membersihkan kamar, Yah. Nanti aku akan membuang foto-foto itu," katanya.
Aku mengangguk. "Ya," jawabku. Kami pun menuju ruang makan bergabung dengan Nina dan si kembar. Zaki duduk lalu mengamati sajian di atas meja yang hanya nasi, sayur kangkung juga sawi dan kerupuk dalam wadah besar.
Zaki menuding tumis kangkung yang tampak menggoda dengan irisan cabai rawit lalu menuding Nina. "Ibu, mana makanan kesukaanku?" tanyanya yang membuat Nina langsung cemberut karena lagi-lagi dipanggil Ibu.
"Tidak ada lele di kulkas." Aku yang menjawab. Mata Zaki sedikit menyipit.
"Tadi saat mengambil buah, aku melihat lele di kulkas."
Aku dan Nina berpandangan.
Alu.nyengir kecil. "Jadi," kataku. "Sebenarnya hari ini, giliran makan sayur-sayuran agar sehat, tidak boleh makan ikan atau yang berbau amis sama sekali. Itu berlaku tiap hari Senin, Rabu, Jum'at Sabtu dan Minggu. Selain hari itu, bebas." Jelasku yang membuat Nina mengangkat ibu jarinya pelan, hanya aku yang melihatnya.
Zaki kembali mengernyit, dia bahkan sampai menelengkan kepala saking herannya. "Di lemari dapur ada ayam goreng dan sambal, pasti dimasak hari ini."
Aku menggaruk rambut. "Ha ha. Iya benar, ada. Ha ha. Tapi itu, nenekmu yang bawa. Kami tidak makan."
"Oh, begitu rupanya." Zaki mengangguk. "Baiklah, makan tanpa lauk pun tak masalah." Ia menyendok nasi. Lalu menambahkan sayur ke piringnya dan mulai mengunyah, begitu pun aku dan Nina mulai makan juga. Sementara si kembar, mereka melumat biskuit.
Zaki menyuap sesuap demi sesuap dan mengangguk-angguk. "Masakan ibu selalu enak."
Selalu enak? Seolah kedengarannya, Nina sudah sering masak untuk Zaki.
"Selalu enak?" kataku tak dapat menahan penasaran.
Seolah mengerti ke mana arah ucapanku, Nina berkata,
"Jadi dulu, Zaki sering nungguin aku masak, Mas."
Zaki mengangguk membenarkan ucapan istriku. "Iya, Yah, tiap aku ke rumah Nina ingin ajak dia main, seringnya dia sedang masak. Masakan dia enak selalu membuat kecanduan, Yah, jadinya aku selalu nungguin." Zaki tersenyum.
Lalu lanjut Zaki, "Tiap aku selesai makan, Nina pasti cemberut."
Nina tertawa kecil seolah mengenang sesuatu yang lucu. "Yaaa habisnya tiap aku masak, pasti selalu habis sama dia, Mas. Ujung-ujungnya, aku dan Zaki masak berdua buat ibuku, hehe."
Zaki tertawa kecil. "Jangan percaya ucapannya, Uah. Sebenarnya, bukan hanya aku saja yang menghabiskan, tapi dia juga karena kami makannya selalu suap-suapan." Zaki tersenyum pada Nina.
Nina tertawa kecil. Lalu mengangguk-angguk. "Iya, ding, lupa."
Bisa-bisanya mereka malah nostalgia, membuat dadaku panas seperti mau meledak.
"Ehemp." Aku berdeham kecil. Zaki dan Nina berpandangan lalu sama-sama menunduk. Detik selanjutnya, kami makan dalam keheningan. Hanya celotehan si kembar dan denting sendok beradu dengan piring yang terdengar di ruangan ini. Aku menghela napas. Nasib, nasib, memiliki istri yang adalah mantan anak sendiri, ya begini jadinya.