Ruang kamar dengan nuansa putih yang tadinya tampak berantakan itu kini telah rapi kembali. Nandira sudah selesai membereskan kekacauan akibat ulahnya tadi. Gadis itu duduk di sisi ranjang, menghampiri Hana yang sudah menunggunya dari tadi.
Hana tampak mengulas senyum, dia menunjukkan sesuatu yang melingkar di jari manisnya saat Nandira mendaratkan tubuh di sebelahnya. Nandira yang langsung bisa menangkap maksud Hana pun mengukir senyum lebar.
"Masya Allah, kamu udah nikah?" ucap Nandira terkejut.
Hana tersenyum geli sambil menyipitkan matanya. "Minggu depan akadnya," jawab Hana.
"Loh, kok udah pake cincin?" heran Nandira.
"Gak tau nih Hugo, pake acara tunangan-tunangan segala," kata Hana cekikikkan.
Nandira manggut-manggut. "Semoga lancar sampai hari akad ya, Na." Nandira tersenyum pada temannya itu.
"Iya, Nan, makasih. Oh iya, aku mau tanya sesuatu nih sama kamu. Kamu kan yang udah melangkah duluan, pasti kamu lebih tau lah," ucap Hana dengan antusiasnya.
Nandira tertawa kecil. "Aku juga masih belajar kok, Na."
"Iya deh, hehe. Jadi gini, kemarin aku sempet ikutan kelas pra nikah. Terus aku baca infonya, katanya berdosa kalau seorang istri menolak ajakan suami yang hendak melakukan hubungan. Terus kalau misalnya ... "
Deg.
Jantung Nandira seolah berhenti bergetar. Ucapan Hana barusan terasa seperti tamparan untuknya. Bagaimana mungkin dia melupakan hal itu. Kini Nandira tidak fokus lagi dengan pertanyaan Hana, pikirannya jalan-jalan pada kejadian beberapa menit sebelum ini. Rasa bersalah mulai menghantui dirinya.
"Gimana, Nan?" tanya Hana kemudian.
"Nan," panggil Hana sebab Nandira tampak diam dengan tatapan kosong.
"Oh, kenapa Na?" tanya Nandira yang barusan melewati pertanyaan Hana.
Hana mengulas senyumnya, dia memaklumi jika Nandira tidak mendengarnya. "Jadi gini, kalau misalnya kita lelah atau ngantuk gimana?" ulang Hana.
Nandira menunjukkan deretan giginya. "Hee, kalau masalah itu, aku juga lupa, Na. Tapi nanti aku cari lagi infonya deh, terus aku kirim ke kamu," ucap Nandira.
Sebenarnya tak tega Nandira melihat wajah Hana yang manyun, yang kecewa sebab tak lekas mendapat jawaban. Namun Nandira sendiri merasa tak pantas ditanyai seperti itu. Sungguh sekarang dia merasa sangat bersalah pada Glen, dan takut akan sesuatu yang dia lupakan itu.
"Btw, gimana rasanya, Nan? Glen galak gak kalau main?" tanya Hana. Tiba-tiba saja raut manyunnya itu hilang, berganti menjadi sangat antusias. Membuat Nandira tersenyum kaku.
"Eee, hehe ... hee." Hanya kekehan tak jelas yang keluar dari bibir Nandira, gadis itu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
Hana yang terlalu antusias malah menggoda gadis itu. Disenggolnya bahu Nandira dengan gemas. "Udah atuh, gak usah malu-malu."
Cukup lama mereka ngobrol, mulai dari masa-masa remaja hingga sekarang. Hana menceritakan sejarahnya, saat pertama kali dia kenal dekat dengan Hugo, yaitu saat mereka memiliki tugas kelompok sosiologi. Waktu itu mereka pergi ke sebuah desa terpencil untuk baksos. Hana menceritakan awal mulanya mengenal calon suaminya itu. Nandira terkekeh mendengar ceritanya.
"Kalau waktu itu kamu gak ajak aku satu kelompok sama kamu, kayaknya aku gak akan kenal Hugo deh," ucap Hana terkekeh.
"Qadarullah, Na. Semuanya udah kehendak Allah. Yang penting sekarang kita jalani dengan sebaik-baiknya, dan ingat hanya Allah yang mampu menolong kita," jelas Nandira dengan senyumnya.
Hana membalas senyum itu, lalu meraih Nandira ke dalam pelukannya. "Ya Allah, nggak nyangka sekarang kita udah mau jadi emak-emak," kekeh Hana dalam pelukan itu.
Nandira tidak bisa menghindar dari tawanya. Ucapan Hana dari tadi pun berhasil membuatnya kembali bernostalgia pada masa-masa remaja yang penuh dengan canda tawa haru bingar. Banyak yang kembali memenuhi pikirannya sekarang.
Setelah cukup lama ngobrol, akhirnya Hana dan Hugo pamit pulang. Nandira terduduk di sisi ranjangnya, dia masih punya hutang untuk mencari jawaban dari pertanyaan Hana tadi.
Sebuah artikel konsultasi syariah dia temui. Gadis itu membaca dengan saksama. Lalu dia merasa sangat bersalah dan takut setelah meresapi hadist yang tertera di sana.
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14)
Kepala gadis itu tertunduk, rasa malu memenuhi rongga dadanya. Dia juga merasa sangat takut jika suaminya itu marah hingga membuat malaikat melaknat dirinya. Perlahan air mata menetes dari pelupuk matanya.
Suara pintu terbuka, Glen baru saja keluar dari toilet. Dia sudah hendak menghampiri lemari untuk mencari pakaian ganti. Namun kakinya itu berhenti melangkah, dia menyadari istrinya yang tampak sedang tidak baik-baik saja. Glen berjalan menghampiri Nandira, lalu berjongkok di depannya untuk melihat wajah gadis itu.
"Kamu kenapa Sayang?" tanyanya khawatir. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja dia melihat istrinya itu menangis.
"Hei, kenapa?" Glen mendekat sambil mengusap wajah Nandira. Namun gadis itu tak lekas menjawab, malah tambah menangis melihat dan mendengar suaminya.
Glen bertumpu pada lututnya, lalu meraih Nandira ke dalam pelukannya. Dia memang belum tahu apa masalah istrinya itu, tapi melihat kesedihan di wajahnya, Glen tahu kalau Nandira benar-benar sedang sedih.
Nandira membalas pelukannya, lalu menenggelamkan wajahnya di pundak Glen yang belum tertutup baju. Pria itu bahkan hanya mengenakan handuk di pinggangnya. Dia mengelus-elus kepala istrinya, sesekali mencium pucuk kepala Nandira untuk membantu meredakan kesedihannya.
"Maafin aku, hiks."
Itulah cicitan dari bibir Nandira yang samar-samar Glen dengar. Isak tangisnya lebih mendominasi daripada suara bibirnya. Glen meraih wajah Nandira dari pundaknya. Dapat dia lihat sekarang air mata yang berceceran di wajah gadis itu.
"Aku pasti maafin kamu Sayang, apa pun itu. Udah jangan nangis," ucapnya yang tak tega melihat air mata menetes dari pelupuk istrinya. Glen mengusap wajah itu dengan kedua jempolnya, lalu mencium keningnya lembut.
Nandira berusaha menghentikan tangisnya. Meski sulit, tapi akhirnya tangis itu reda. "Maaf...," cicitnya lagi.
Glen tersenyum hangat dan kembali membawanya dalam pelukan. "Aku inget dulu waktu kecil sering buat kamu nangis, gara-gara narikin rambutmu terus, hehe, maaf ya," ucap Glen sambil mengingat masa itu.
Nandira merasa nyaman berada dalam pelukannya. Tak tersangka pula baginya jika Glen ingat masa-masa itu. Sungguh kenangan masa kecil yang sangat indah.
"Kamu tunggu sini, aku ambilin baju gantinya," ucap Nandira setelah pelukan mereka merenggang.
"Aku bisa ambil sendiri Sayang," kata Glen.
Nandira menggeleng. "Nggak, aku aja. Itu tugasku sebagai seorang istri."
"Tapi aku gak mau bebanin kamu untuk hal yang bisa aku kerjakan sendiri, Sayang."
"Dan aku gak mau kehilangan pahala untuk hal yang bisa aku kerjakan untuk suamiku, Sayang," ucap Nandira meraih kedua pipi Glen.
Senyum lebar terukir di wajah tampan Glen, senyum yang dari dulu membuat Nandira bergetar saat melihatnya. Jika dulu dia hanya bisa melihat itu sebagai rezeki tatapan pertama, meski tak jarang pula ada curi-curi pandang, sekarang dia bisa melihatnya kapan pun dia mau. Dan nikmatnya pula, hal itu dapat menjadi ibadah yang mendatangkan pahala untuk mereka.
"Terima kasih, kamu istri yang baik, cantik, dan menggemaskan." Glen mencium kening Nandira lembut.
_________________________________
Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR. Tirmidzi: 4/387; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib: 2/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunnah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR. Bukhari: 16/199)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ
“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR. Bukhari: 11/14).