EMPAT

1169 Words
"So do you want to tell me what really happened, Aksa?" "Eden tidak berselingkuh. Saya sempat pulang dan kami melakukannya. Barangkali Bibi tidak memperhatikan saat saya pulang." "Kamu mengatakan jujur?" "Tentu. Eden wanita terhormat. Dia tidak mungkin melakukan hal tidak senonoh seperti itu." "Mama tahu. Kamu tidak salah pilih istri." "I know. Thanks for all of your support, Ma. I gotta go." Klik. Aksa mematikan sambungan telepon. Di hadapannya, Eden sedang menyiapkan sarapan untuknya. Selama ini Eden tidak pernah memasakinya apa-apa. Pagi itu Eden sibuk membuatkan pancake untuknya. Mata Aksa tak lepas sedetik pun dari Eden. Seakan tahu apa yang menjadi kekhawatiran suaminya, Eden mengatakan, "Aku tidak memasukkan racun. Sekali pun aku ingin kamu mati, aku akan menggunakan cara yang lebih sadis." Lalu diangkatnya bahunya. Mata Aksa menyipit. Dia tesenyum masam. "Kamu akan senang jika aku mati, Eden?" "Tidak juga. Aku tidak punya teman bertengkar yang menyenangkan sepertimu. Dan kamu hebat di ranjang. Jadi ya.. Aku sedikit sedih." "You're amazing, Eden," kata Aksa dengan nada yang mengandung sarkasme. "How grateful I am to have you in my life." "Ya, katakan itu pada orang-orang di luar sana. Kamu tahu, orang suka dengan pria yang menyanjung istri mereka." "Apakah itu artinya kamu tidak kagum pada Rashid? Dia belum kunjung menikah, kan? Atau jangan-jangan dia tidak menikah sampai kamu janda?" "I feel sorry for that guy. Aku tidak akan membalas cintanya karena aku perempuan terhormat yang takkan pernah berpaling dari suamiku. Sekali pun suamiku telah berselingkuh dariku." "Berapa banyak orang yang tahu aku telah berselingkuh, Eden?" "Hampir semuanya. Kabar itu seperti wabah yang menjalar ke mana-mana. Namamu terkenal di forum gosip sebagai playboy." "Aku penasaran bagaimana mereka tahu aku playboy." Dugaan Aksa sementara Eden sendirilah yang menyebarkan berita buruk tentangnya. Ya, siapa lagi yang tahu Aksa punya affair di luaran selain istrinya yang pintar ini? "Aku rasa kamu tidak penasaran," sahut Eden sambil menghidangkan piring berisi pancake berikut dengan madu. "Habiskanlah." "Eden, akuilah kamu masih mencintaiku. Katakan kamu cemburu aku telah tidur dengan wanita lain. Asal kamu tahu saja, aku melakukan itu karena kamu tidak bisa memenuhi kewajibanmu sebagai istri." "Aksa, Aksa, Aksa." Eden menghela napas. "Apakah menurutmu kamu masih layak dicintai?" "Jangan buat aku marah padamu, Eden. Kamu tahu apa yang bisa kuperbuat padamu." "Oh help me I am very scared," sahut Eden menunjukkan ekspresi pura-pura takut. Lalu ia tersenyum sinis. "Kamu tidak akan menjadi komisaris di perusahaanmu jika kamu tetap seperti ini, Aksa." "Lantas aku harus menjadi seperti apa?" "Be more gentle." Aksa perlu mengklarifikasi. "With you? Towards you?" "Espescially, me, your wife." "Aku hanya perlu kepastian. Jika pencitraan yang kamu perlukan, apakah aku masih boleh punya affair dengan wanita lain di belakangmu? Toh masyarakat juga tahu bagaimana playboy-nya aku, kan." "Sure why not," kata istrinya acuh tak acuh. Setelah makan Aksa tidak langsung berangkat ke kantor. Eden pun yang masih ambil jatah cuti berjalan ke kamar. Sudah tiga sejak kepulangan Aksa, tak pernah sekali pun Aksa memasuki kamarnya dengan Eden. Dia selalu merinding berada di kamar yang sama dengan perempuan itu. Perempuan itu bukan perempuan baik-baik. Dia bisa melakukan hal yang melanggar hukum. Berapa kali Eden melakukannya selama menjadi Tax Managing Partner di firmanya? Sudah berapa kali Eden membohongi kliennya? Dan sudah berapa kali Eden berselingkuh? Ah, Aksa tidak tahu mengenai hal itu. Eden tampaknya tahu segalanya tentangnya di saat dia tidak pernah meliaht secuil pun kesalahan Eden di luar sana. Apalagi seiringnya berjalannya waktu Aksa mengindari kontak mata dengan istrinya. Eden tidak pernah menanyakannya mengapa tidak ingin seranjang dengannya. Istrinya terlihat bodoh amat dengannya. Tapi Aksa tetaplah seorang pria. Dan dia terbiasa melepaskan hasratnya dengan wanita. Sejujurnya dia merindukan Eden berada di dalam dekapannya. Pagi itu, Aksa kembali ke kamarnya, mendengar suara senandung Eden. Dia pasti sedang mandi, pikir Aksa. Eden selalu bernyanyi saat dia berada di bawah shower. Aksa berjalan ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Dan ketika dibukanya pintu, tenggorokannya mengering. Dilihatnya Eden telanjang di bawah pancuran shower. Tangannya sibuk membalurkan shampoo ke kepalanya. Eden aku merindukanmu, desah Aksa dengan napsu yang tak tertahankan lagi. Sempat terpikir untuk tidak melakukannya sebab dia sudah memakai baju kerja. Persetan, geramnya. Diturunkannya retsleting celananya kemudian dihampirinya istrinya dari belakang. Ia memasuki Eden. Dapat dirasakannya tubuh Eden yang tegang karena kaget diperlakukan begitu. Dia menghentak-hentakkan tubuh Eden sampai kepala Eden terbentur berkali-kali ke tembok. Setelah ia mencapai kepuasan, dibaliknya tubuh Eden. Dilihatnya dahi Eden yang mulai memar. Namun bukan itu saja yang menarik perhatian Aksa. Perut Eden yang selama ini rata, terlihat menggelembung. "So you were pregnant," bisiknya tak percaya. Eden tidak menjawab. Dia keluar dari bilik shower dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk berbentuk kimono. Lalu tanpa berkata apa-apa ia keluar ke kamarnya. Pakaian Aksa basah kuyup. Di kamar mandi ditanggalkan pakaiannya. "SO YOU WERE PREGNANT," teriaknya dari dalam kamar mandi. "WHO WAS THE FATHER, EDEN?" Tidak ada jawaban. Aksa melilitkan handuk di bagian bawah tubuhnya, lalu berjalan ke kamar. Dia mendapati Eden duduk di tempat tidur masih dengan handuk kimononya. Is she acting again, pikir Aksa sinis. Karena Eden diam saja, terpaksa Aksa duduk di sampingnya dan bertanya dengan halus, "Aku tahu pernikahan kita sebenarnya tidak baik-baik saja. Tapi siapa b******n yang menghamilimu, Eden? Apakah aku tidak berhak tahu?" "Aku akan mengatakannya saat semuanya akan selesai." "Kamu membuatku bingung, Eden. Apa maksud perkataanmu?" "Aku akan mengatakannya setelah kamu mendapatkan apa yang kamu mau. Kita berdua tahu kamu sangat ingin menjadi komisaris. Aku tahu kakekmu akan mencalonkanmu jika kamu bisa memberikannya cicit." Eden diam sebentar. "Tapi kamu tak wajib memberikannya cicit jika sainganmu, Erlangga, dianggap tidak layak." "Lalu apa rencanamu setelah aku menjadi komisaris?" "Tinggal bersama laki-laki yang kucintai." "Siapa laki-laki itu? Apakah aku mengenalnya?" "Kamu tidak mengenalnya. Begitu pun aku. Maksudku, aku tidak mengenalnya secara personal. Aku tidak tahu apa isi hatinya. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan tentang aku. Tapi aku tahu ada harapan bagiku untuk bersamanya." "Kamu sadar kamu masih menjadi istriku?" "Dengan aku yang tidak bisa memberikanmu anak?" Eden tertawa miris. "Aku tidak bisa mengubah diriku, Aksa. Kita akan terus bertengkar." "Memangnya, laki-laki itu seperti apa?" tanya Aksa serius. Sekaligus penasaran! Apa kurangnya dirinya di mata Eden sampai istrinya punya cita-cita untuk bersama pria lain? "He's a good looking that's all I know." "He's a good looking that's all you know?!" ulang Aksa dengan suara nyaring. "Can't you be smarter than this, Eden?" "Aku sudah bilang aku tidak mengenalnya." "Lupakan pria itu, Eden." "Aku tidak yakin bisa melakukannya." "Kenapa tidak? Kamu sudah bersuami!" "Kamu bisa meninggalkan simpananmu?" "Jangan bahas aku!" bentak Aksa menjauh dari istrinya. Dia mendekati lemari dan mengambil kemeja, celana panjang serta pakaian dalamnya. "Kalau begitu lupakan saja percakapan tadi," kata Eden santai. Setelah siap dengan pakaian kerjanya Aksa bergegas meninggalkan Eden tanpa berkata apa-apa. Eden memandang kepergiannya dalam bisu pula. Setelah pintu kamar dibanting oleh Aksa, Eden memegangi dahinya yang sakit. Tuhan. Bagaimana bisa aku tetap menjadi istrinya? Tidak ada maaf terucap dari mulutnya. Tidak ada penyesalan di mukanya yang sombong itu. Tenang, Eden, tenang. Pada saatnya nanti kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD