LIMA

1295 Words
Ada saatnya Aksa pulang lebih cepat daripada Eden. Di saat ia tidak memiliki hal untuk dilakukan, ia ke kamar untuk menyalakan laptop-nya dan menghubungi simpanannya melalui Skype. Mereka biasa melakukan hal yang tidak senonoh lewat video call. Simpanannya, Ratih, membuka pembicaraan dengan keluhannya sebagai mahasiswa yang tak kunjung lulus kuliah. Aksa tidak pernah tertarik dengan cerita-ceritanya. Dia hanya ingin gadis itu mampu memuaskannya. "Take off your shirt, baby..." kata Aksa sambil melepaskan celananya, kemudian pakaian atasnya. Di layar dilihatnya Ratih juga melakukan hal serupa. d**a yang ranum itu membuat napsu Aksa semakin menggebu-gebu. "Dance for me." Gadis itu masih sangat muda. Walau Aksa tidak pernah menanyakan usianya-atau pernah tapi dia tidak mengingatnya-dia bisa menduga bahwa usianya tidak lebih dari dua puluh lima. Kulitnya putih mulus. Bentuk dadanya yang padat. Pinggangnya pun memiliki lekukan bak biola. Baik di penthouse maupun di Skype, perempuan itu selalu dapat meningkatkan gairah seksual Aksa. Entah berapa lama mereka saling memuaskan diri di tempat yang berbeda. Aksa yang sedang memuaskan dirinya sendiri, kaget mendengar suara dehaman dari pintu kamarnya. Segera dimatikannya laptop. Terlambat. Eden sudah lama berdiri di situ, memperhatikan suaminya yang bermain gila di kamarnya. Bodoh sekali kau Aksa, maki Aksa pada dirinya sendiri. Mengapa sampai lupa mengunci pintu? Apa yang dipikirkan istrimu saat ini? Tapi apa peduliku dia mau mikir apa! "You're home," sambut Aksa seakan tidak terjadi apa-apa. Dia masih telanjang bulat di hadapan Eden. Betapa sakit hatinya Aksa melihat istrinya tidak tergugah sama sekali melihatnya tanpa sehelai benang pun. "And you're disgusting," kata Eden datar. "Apa kamu tidak malu dengan kelakuanmu sendiri? Berapa usia perempuan itu? Apakah hati nuranimu memang sudah tidak ada sampai kamu merusak moral bangsa seperti itu?" "Wow wow wow," potong Aksa tak terima. "What's happening? Kamu ngomongin soal moral?" Tertawa Aksa di depan istrinya. Tawanya pun sangat kencang sampai membuat Eden semakin marah padanya. "Eden. Apa bedanya denganmu? Kamu membiarkan laki-laki lain menyentuhmu. Kamu punya niatan untuk menghancurkan bisnis sepupuku. And, one more thing, aku tidak tahu apa lagi kejahatanmu di luar sana, tapi aku yakin masih banyak!" "Kulakukan semua itu untukmu," jawab Eden keras. "Carilah tempat berselingkuh yang lebih baik. Apa kamu tidak tahu betapa mudahnya orang merekam hal-hal seperti itu? Kalau kamu tidak peduli dengan moral, setidaknya lakukan kebaikan untuk reputasimu." "Tidak sepertimu, Ratih bisa dipercaya, Sayang." "Kamu membandingkan aku dengan simpananmu?" "Ya." "Aku tahu kamu b******k, tapi aku tidak tahu kamu begitu g****k," tandas Eden lalu meninggalkan kamar suaminya. Dari dalam kamarnya Aksa berteriak, "Tidak heran kamu begitu kasar, Eden! Kita berdua tahu mengapa kamu bisa dibesarkan di panti asuhan!" Langkah Eden terhenti. Mereka berdua memang tahu mengapa Eden dibesarkan di panti asuhan. Sebelum mereka menikah, Eden mengatakan semua hal tentang dirinya pada Aksa dan keluarganya. Saat itu ayah Aksa yang masih hidup sempat menunjukkan keraguan untuk memberikan restu. Tapi karena Aksa begitu keukeuh ingin mempersunting Eden, maka mau tak mau ayah Aksa setuju. Namun tanpa diketahui semua orang, ayah Aksa diam-diam menemui Eden dan membuat kesepakatan dengannya. "Saya dan keluarga saya mengambil risiko dengan menerimamu sebagai keluarga," kata ayah Aksa. "Sebaliknya, kamu harus melakukan sesuatu untuk saya." "Apa itu, Pak?" tanya Eden. Ayah Aksa menyodorkan sebuah map berisi kontrak. "Semuanya ada di situ. Setelah kamu menandatangani perjanjian itu, kamu bisa menghubungi ibu Aksa untuk merencanakan pernikahan." Kontrak itu masih disimpan Eden rapat-rapat di dalam brankasnya. Selama menikah, Eden dan Aksa memiliki brankas masing-masing. Hal itu dilakukan untuk menghargai privasi masing-masing. Eden berjalan ke kamarnya. Dibukanya lemari tempatnya menyimpan brankas. Ditekannya beberapa angka di brankasnya. Ia menghela napas panjang sebelum membuka brankas itu. Map itu masih berada di sana. Di dalam map itu terdapat dokumen perjanjiannya dengan ayah Aksa. Hampir semua klausula di dalam perjanjian itu berkaitan dengan etika Eden sebagai istri Aksa. Namun ada satu klausula yang masih belum dilaksanakan Eden. Klausula yang menyatakan bahwa Eden harus bisa menjadikan Aksa sebagai komisaris di perusahaannya. "Setelah ini aku tidak akan punya utang lagi," bisik Eden pada dirinya sendiri. Setelah menatap map itu untuk waktu yang lama, dikuncinya lagi brankas itu. Eden mendekati tempat tidur dan duduk di tepinya. Ketika dia menandatangani kontrak itu, ayah Aksa bertanya, "Apakah suatu hari nanti kamu akan mencari ibumu, Eden?" "Bagi saya ibu saya sudah tidak ada," kata Eden datar. Ditandanganinya kontrak itu. "Lagipula, bukankah sebagaimana diatur dalam perjanjian ini, saya tidak boleh bertemu keluarga saya selama saya jadi istri Aksa?" "Kami melakukan ini demi kebaikanmu, Eden." Sejak kecil Eden hanya tahu dia dibesarkan oleh pengasuh-pengasuh di panti asuhan. Eden kecil menghabiskan waktunya dihina teman-temannya baik di sekolah maupun di panti asuhan. Eden tidak mengerti mengapa orang-orang di sekitarnya begitu jahat padanya. Hanya Rashid yang mendampinginya. Setiap pulang sekolah Rashid menemukannya di belakang sekolah menangis seorang diri. Dengan adanya Rashid yang selalu menghiburnya, Eden belajar untuk kuat. Namun kesedihannya semakin bertambah ketika Rashid diadopsi. Dalam hidupnya Eden tidak hanya belajar untuk kuat. Dia juga belajar untuk tidak mendapat bantuan orang lain. Dia tahu bahwa tidak akan ada yang memberinya sekali pun ia meminta. Ketua pengurus panti asuhan, hanya memeluknya setiap Eden bertanya mengenai keluarganya. Dia bertanya mengapa orang-orang di sekitarnya mengatakan bahwa dia dibuang keluarganya. Barulah ia tahu mengenai keluarganya saat dia kelas dua SMA. "Sebenarnya, Eden, ibumu menitipaknmu pada kami saat kamu bayi. Ibumu tidak bisa mengurusmu seorang diri. Sejak ayahmu mati ditembak polisi, ibumu tidak punya pegangan hidup." "Apa yang terjadi pada ayah saya, Bu?" tanya Eden pada Bu Risma, ketua pengurus panti asuhan. "Ayahmu adalah seorang narapidana, Eden...." Ayahnya adalah bandar narkoba. Dan ibunya hanyalah p*****r yang disewa untuk memuaskan ayahnya di dalam sel. Saat ayahnya sedang melarikan diri dari sel, polisi mengejarnya dan menembaknya sampai mati. Dia memang berasal dari keluarga yang tidak baik. Tapi Eden selalu berpikir bahwa dengan karir yang baik dan suami yang berasal dari keluarga yang baik-baik pula, dapat mengubah hidupnya. Ya saat ini memang tidak ada lagi yang menghinanya. Penghinaan itu hanya datang dari mulut suaminya. Orang yang paling dekat dengannya. "Apakah sekarang kamu menyesal telah menyebut suamimu g****k?" Tanpa disadarinya tahu-tahu suaminya sudah duduk di sebelahnya. "Kamu memang g****k," jawab Eden. Ia menghela napas panjang. "Sekali pun kamu ingin menyalurkan kebutuhanmu, mengapa tidak ditemui saja perempuan itu secara langsung?" "Besok dia ada ujian akhir." "Kamu betul-betul goblok." "Eden, sudahlah. Lagipula kenapa kamu main buka pintu kamarku begitu saja? Apakah kamu tidak pernah diajarkan untuk mengetuk?" "Aku dibesarkan di panti asuhan. Pengasuh di sana terlalu repot sampai lupa mengajarkan hal-hal seperti itu," jawab Eden datar. "Ya itulah kenapa aku ingin kamu punya anak. Agar kamu punya kesempatan untuk mendidik anakmu dengan cara yang lebih baik. Tapi melihat keadaan kita yang sekarang, aku ragu untuk memintamu anak lagi, Eden." "Mengapa?" "Look at you! Semakin hari kuperhatikan sikapmu semakin buruk. Aku seperti tidak mengenalmu lagi, Eden. Eden yang mencintaiku, menghujaniku dengan kasih sayang, menyayangiku layaknya aku satu-satunya pria di dunia ini, sudah tidak ada. Eden yang itu sudah mati." Mendengar penuturan suaminya Eden diam. Aksa menunggu tanggapannya. Satu menit. Lima menit. Sampai setengah jam mereka duduk bersebelahan tanpa ada suara yang keluar dari mulut masing-masing. Sampai akhirnya Aksa berdiri dan sebelum dia meninggalkan Eden, dikecupnya dahi Eden dan dibisikinya, "Good night." Lalu dia pergi. Eden melihat kepergiannya dalam bisu. Aksa yang mencintaiku, menghujaniku dengan kasih sayang, menyayangiku layaknya aku satu-satunya perempuan di dunia ini, juga sudah mati. Rohnya cinta adalah kesetiaan. Jika salah satu sudah tidak setia, maka akan sangat mudah bagi pihak yang lain untuk menghentikan cinta itu. Mematikan cinta seakan mudah untuk direncanakan ketika rasa cinta itu dipikir sudah tak ada lagi. Tapi tidak untuk Eden dan Aksa. Pernikahan ini sudah hambar dan tak layak untuk diteruskan. Permasalahannya, tak ada yang mau melepaskan diri. Seumur hidupnya Eden jarang menangis. Namun malam itu, dia meneteskan air matanya. Andai saja kamu tahu apa yang aku korbankan untuk membuatmu bahagia, Aksa, pikirnya. *I HOPE YOU LIKE THE STORY*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD