Part 3~Saingan

2016 Words
Part 3~Saingan Hari berlalu dua hari sejak Ayu merasa ada yang mengikutinya, kini perasaan itu sudah tidak ada lagi. Ia pun merasa lega dan tenang. Meskipun sebenarnya masih ada yang mengikuti Ayu di manapun dan kapanpun. Walaupun toh Ayu ada di kost, orang-orang itu tetap menjaga Ayu dari kejauhan. Dan seperti biasa, Ayu akan kembali pada aktivitasnya sehari-hari. Ke kampus untuk menuntut ilmu agar cita-citanya sebagai seorang guru tercapai. Ayu adalah gadis yang pemalu, tapi ceria. Ia tidak pernah murung di depan teman-temannya, walaupun ada masalah dalam hidupnya. Karena yang Ayu ingin tunjukkan adalah dirinya yang bahagia, bukan penuh kesedihan. "Sa, sudah siap belum?" Teriaknya memanggil Esa yang belum keluar dari kamar. Padahal Ayu sudah siap sedari tadi, entah apa yang dilakukan anak satu itu. "Bentar lagi, lagi pake jilbab!" Teriak Esa balik dari dalam kamar. Ayu yang sedang menunggu di ruang tamu pun bergeleng-geleng. Esa ini kalau melakukan sesuatu pasti lama, kegiatan apapun itu bisa selesai dalam waktu berjam-jam. "Cepetan, Sa. Aku masuk jam delapan loh." Ayu melirik jam di tangannya, pukul tujuh tujuh belas menit. Esa keluar dari kamar dengan wajah cemberut, mulutnya pun ikut komat-kamit tidak jelas. Kebiasaannya kalau kegiatannya terganggu, "iya-iya. Udah ini loh, ayo berangkat." Ia pun mendahului Ayu keluar dari kost. Ayu mengikuti dari belakang dengan senyum geli. Ada-ada saja sahabatnya ini. "Tunggu, Sa." Ayu mengunci pintu kamar. Esa berhenti dan berbalik dengan wajah yang masam. "Makanya jangan lelet!" Tawa Ayu langsung pecah, "haha. Ngomongin diri sendiri." "Ish, ayo cepetan. Nanti keburu telat!" Esa menarik tangan Ayu, takut kalau ketinggalan angkot. Karena jarak antara kost dan kampusnya lumayan jauh, kalau berjalan kaki bisa gempor nanti. Mereka pun akhirnya berjalan menuju pemberhentian angkot. Mereka kuliah kampus yang sama, tapi dengan jurusan yang berbeda. Ayu yang bercita-cita menjadi seorang guru pun mengambil fakultas pendidikan program pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Dan Esa yang ingin bekerja di kantor pun mengambil manajemen. Pagi ini mereka mendapat jam kuliah sama, jadi bisa berangkat bersama. "Aku ke kelas ku dulu, ya." Pamit Esa ketika melewati gedung kelasnya. Dan Ayu masih harus berjalan sejauh dua ratus meter lagi. "Oke, nanti aku pulang duluan, ya?" Hari ini Ayu hanya ada satu mata kuliah. "Iya, aku cuma dua mata kuliahnya." "Oke, bye." "Bye." Ayu berjalan menuju gedung fakultas pendidikan, suasana di kampus sudah muali ramai. Apalagi adik-adik tingkat yang masih merasakan euforia sebagai mahasiswa baru, mereka berangkat lebih pagi dari jadwal. Berbeda dengannya yang tiba di kelas ketika jam masuk kuliah sudah berjalan sepuluh menit, model-model mahasiswa lawas. Untung dosen killer hanya ada satu dua, kalau semuanya bisa tidak lulus nanti. "Ay, Ayu. Tunggu," panggil seseorang di belakang Ayu. Ayu yang merasa terpanggil pun berhenti dan menoleh ke belakang, ternyata di sana ada Sabda Arianto, kakak tingkatnya juga anak dari pemilik toko tempatnya bekerja. "Em, ada apa, Kak?" Heran Ayu, karena Sabda ini bukan mahasiswa fakultas pendidikan. Kenapa bisa sampai di sini? Sepagi ini lagi? Penting sekali kah? Sabda yang sudah berdiri di depan Ayu pun tersenyum manis, "em, gak papa. Kamu nanti habis kuliah sibuk gak?" "Ada, Kak. Kan aku kerja di toko keluarga kakak." Heran Ayu, apa Sabda lupa dengan hal ini. Sabda terkekeh kecil, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Malu dengan pertanyaan, "hehe. Maksud aku selain jaga toko." Sabda memamerkan senyum manisnya lagi. Ayu mengingat jadwalnya hari ini, seperti ia tidak memiliki kegiatan di luar kuliah dan bekerja. "Gak ada, Kak. Kenapa?" Sabda bersorak riang dalam hati, "em, aku mau ajak nonton sebentar. Gimana?" Ayu terdiam mendengar ajakan Sabda, gadis dengan jilbab besar ini sedang berpikir. Sedangkan Sabda menunggu dengan ketar-ketir, sebenarnya di tolak pun tidak masalah. Karena ia tahu seperti apa karakter Ayu, gadis pemalu yang Sholihah. Tapi apa salahnya mencoba, siapa tahu Ayu sedang berbaik hati padanya. Yah, tidak bisa dipungkiri kalau Sabda jatuh cinta pada pegawai di toko milik keluarganya. Sejak Ayu bekerja di sana, ia sudah mengamati Ayu. Dan perasaannya tidak bisa di elak lagi, Sabda jatuh cinta pada Ayu sejak satu tahun lalu. Ayu yang sudah mantab dengan keputusannya pun melirik sebentar ke arah Sabda, "em. Sebelumnya maaf, Kak. Aku gak bisa," tolak Ayu lirih. Takut menyakiti hati anak bosnya ini, tapi mau bagaimana lagi. Ia tidak pernah berdekatan dengan laki-laki, apalagi sampai di ajak ke suatu tempat. Itu membuatnya tidak nyaman. Sabda tersenyum kecut, meski sudah menduga jawaban dari Ayu. Penolakan secara langsung ini membuatnya sedikit kecewa, tapi ia buru-buru mengubah raut wajahnya menjadi biasa saja. "Hehe, gak papa. Tapi lain kali bisa, ya?" Ada sedikit nada paksaan dari Sabda. Ayu pun tersenyum kecil, tidak menjawab sama sekali. Karena ia tidak bisa menjanjikan apa-apa pada Sabda. Meskipun ia memiliki rasa tertarik pada Sabda, tapi kalau belum jelas seperti ini dia tidak mau. "Em, kalau gitu aku ke kelas dulu, ya Kak. Sebentar lagi masuk," pamit Ayu karena sudah merasa tidak nyaman berlama-lama dengan Sabda yang notebene nya mahasiswa tampan. Ia tidak nyaman dengan pandangan orang-orang di sekitarnya, apalagi para mahasiswi yang menatapnya sedikit aneh. "Oh, eh. Iya, silahkan. Aku juga mau masuk ke kelas." "Aku duluan, Kak. Assalamualaikum," salam Ayu meninggalkan Sabda. "Wa'alaikumussalam," Sabda pun berbalik menuju kelasnya. Fakultas kedokteran, Sabda adalah calon dokter umum. *** Jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan pagi, tapi ada satu wajah yang tidak menampilkan senyum sama sekali. Wajah tampan itu nampak menyeramkan dengan rahang mengeras dan tatapan matanya tajam. Bagi siapapun yang melihatnya pasti akan mundur teratur, takut kalau-kalau pria itu akan memuntahkan amarahnya. Siapa lagi pria itu kalau bukan, Dexton Samuel Nanendra. Pria gila yang terobsesi dengan gadis cilik bernama Ayu. Dex baru saja mendapatkan laporan dari pengawalnya yang bertugas menjaga Ayu. Kalau Ayu di dekati seorang pria, dan lagi pria itu mengajak Ayu untuk nonton bersama. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan, Ayu hanya miliknya. Bukan milik pria itu, atau orang lain! Hah, pagi-pagi seperti ini Dex sudah membuang energinya untuk marah pada orang yang tidak ada di sini. Sia-sia saja! "Indra, ke ruangan saya sekarang. Bawa jadwal saya," titah Dex pada seseorang yang ia panggil Indra, yang tak lain sekretarisnya. "Baik, Tuan." Panggilan terputus, Dex pun melanjutkan kerjanya sambil menunggu Indra datang. Tok! Tok! "Masuk." Ceklek! Sosok Indra sekertaris Dex masuk dengan membawa tablet yang berisi jadwal Dex, ia menunduk hormat. Dex sengaja memilih seorang laki-laki sebagai sekretarisnya, karena ia mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Karena banyak kasus bos dan sekretaris perempuan terlibat skandal karena seringnya berinteraksi, dan Dex tidak ingin hal itu terjadi. Meskipun ia percaya pada dirinya yang tidak akan berpaling dari gadisnya. Tapi siapa tahu dengan sekretarisnya, bukankah pesona Dex sangat memikat? Hah, dasar pria sombong! "Bacakan jadwal saya untuk hari ini." Titah Sam tanpa melihat ke arah Indra. "Hari ini anda kosong dari meeting Tuan, hanya survey di lokasi pembangunan Blok E setelah jam makan siang." Indra membacakan jadwal Dex. Dex pun berpikir sebentar, "oke. Setelah survey saya ada urusan lain, kamu handle kantor selama saya pergi." Indra menunduk hormat, "baik Tuan. Apa ada yang anda butuhkan lagi?" "Tidak, kamu bisa lanjutkan pekerjaan mu." "Baik, Tuan. Permisi," Indra keluar dari ruangan bos besarnya. Dex pun kembali pada kerjaan yang menumpuk, ia memiliki rencana setelah survey nanti. *** "Sa, tadi Kak Sabda ajak aku nonton bareng." Ujar Ayu disela pekerjaan mereka menata baju yang baru datang. "Yang bener?! Ih, bagus dong!" Esa heboh sendiri. Ayu tersenyum kecut, bagus apanya. Wong dia menolak, "aku tolak kok." "Hah! Gila, Ay. Kamu nolak ajakan Kak Sabda? Kok gak eman sih?" Cecar Esa gemas dengan sahabatnya. Ayu yang ditanyai seperti itu pun mengangkat bahu, "ya gimana. Aku gak nyaman keluar sama cowok, kamu kan tau." "Elah, kan bisa sama aku. Kamu ih, sayang tau. Kak Sabda kan termasuk most wanted di kampus, calon dokter lagi. Kan lumayan bisa dapet makan gratis plus gebetan ganteng." Esa masih menyayangkan keputusan Ayu. Meskipun ia tahu alasan Ayu menolak itu, tapi kan juga sayang kalau ditolak. Ayu berdecak, ini mah pengennya Esa aja. "Ya udah, kamu aja sana yang nonton. Aku sih ogah," balas Ayu sewot. Esa yang melihat aku jengkel pun terkikik, "gak ah. Kan kamu yang diajak. Eh, tapi bentar, kamu bukannya suka ya, sama Kak Sabda?" Nah loh, Esa baru ingat hal satu ini. Ayu tersedak ludahnya sendiri mendengar pertanyaan Esa, "sok tahu!" Ketusnya. "Heleh, ngaku aja kamu! Keliatan tau dari ekspresi wajahmu." "Mana ada? Gak ya?!" Ayu masih terus mengelak tuduhan Esa, meskipun benar adanya. Mereka berdua berakhir dengan keributan dan saling olok. Sampai Teh Wiwi datang dan menegur mereka berdua. "Heh, kalian kenapa ribut-ribut di sini? Gak malu apa? Ada yang beli itu." Ayu dan Esa yang ditegur pun langsung diam dan mengamati sekitar. Dan benar saja, para pembeli melihat ke arah mereka. Hal itu membuat Ayu dan Esa malu. "Hehe, maaf Teh. Gak diulang lagi nanti." Esa meminta maaf pada Teh Wiwi. "Iya, sudah selesai belum kerjaan kalian?" "Tinggal dikit lagi, Teh." Jawab Ayu sambil melihat ke arah tumpukan baju yang bekum di tata dan memang tinggal sedikit. " Ya udah sekarang ada yang bantuin Mbak Ning sana. Di sini satu orang aja." "Iya, Teh." Jawab mereka serentak dan langsung mulai memegang tugasnya masing-masing. Dan Esa memilih membatu Mbak Ning untuk melayani pembeli dari pada menata baju. *** "Sekarang ke mana, Tuan?" Tanya sang supir pada Tuannya yang sedang fokus pada ponselnya. "Ke A Style." Titahnya dingin. "Baik, Tuan." Sang sopir pun membawa tuannya menuju A Style. Perjalanan akan memakan waktu sekitar setengah jam kalau tidak macet. Dex sendiri sedang menghubungi owner A Company, ia ingin bertemu dengannya segera. "Sudah sampai, Tuan." Ujar sang supir pada Dex. "Hm, kamu tunggu di sini." Titah Dex. "Baik, Tuan." Dex pun turun dari mobil dengan elegannya, ia memasuki gedung yang menjadi pusat pakaian di kotanya. "Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" Tanya salah satu pelayan di sana dengan ramah. "Saya sudah membuat janji dengan pemiliknya." Ujar Dex dingin. Pelayan tersebut pun tersenyum kaku mendengar suara Dex yang dingin. "Em, mari Tuan." Ganteng, tapi dingin. Batin pelayan tersebut. "Ibu, ada yang ingin bertemu." Panggil pelayan itu menggunakan interkom di samping pintu. "Suruh masuk saja." "Baik, Bu." Pelayan itu pun kembali pada Dex, "silahkan Tuan. Bu Rosa sudah menunggu." Dex hanya mengangguk dan melewati pelayan tersebut dan menghilang di balik pintu. "Huh, untung ganteng." Gerutunya pelan. "Oh, Tuan Nanendra. Silahkan duduk." Rosa berdiri untuk mempersilahkan tamunya untuk duduk. Meskipun ia lebih tua dari Dex, tapi jabatan lah yang membuatnya seperti ini. "Hm," Dex langsung duduk di kursi tamu. Rosa tersenyum ramah, biar bagaimanapun pria ini yang membantunya sampai bisa seperti ini. "Apa ada hal penting Tuan, sampai anda langsung ke sini?" Dex berdehem sebentar sebelum menjawab pertanyaan Rosa, "saya ingin anda memecat pegawai anda yang bernama Ayu Fantika." Perempuan paruh baya itu menyerngit heran, ada masalah apa sampai Dex memintanya untuk memecat Ayu. "Maaf, Tuan. Apa pegawai saya yang bernama Ayu ada salah dengan anda?" "Itu bukan urusan anda, saya hanya ingin anda memecatnya." Ujar Dex datar. Tidak mungkin ia mengungkapkan apa alasannya. "Tapi Ayu pegawai saya yang rajin dan jujur, Tuan." Rosa masih membela Ayu, bagaimanapun bisa ia memecat pegawainya yang rajin itu. "Pecat atau saya ambil kembali apa yang sudah saya berikan!" Ancam Dex dengan nada yang lebih dingin dan tajam. Rosa pun terkejut, akhirnya ia mengangguk kaku. "Iya, Tuan." Rosa terpaksa mengiyakan, karena bagaimanapun semua modal ini ia dapat dari Dex. Belum lagi dengan bantuan-bantuan yang lainnya. "Hm, saya tunggu sampai besok." Ujar Sam yang langsung pergi tanpa kata terima kasih dan pamitan. Setelah Dex keluar, Rosa pun mengelus dadanya pelan. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat ketika berhadapan dengan Dex. Si pria dingin nan kejam. Dex sendiri sudah masuk ke dalam mobilnya, ia menyeringai sinis. Akhirnya ia bisa menajuhkan gadisnya dari pria tengik itu yang tak lain putra dari Rosa. Bagaimana Dex bisa tau? Apa gunanya Dex menyebar banyak pasang mata kalau informasi seperti ini saja tidak tahu. Bukan Sam namanya kalau tidak bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Meskipun dengan cara licik dan terkesan jahat. Tapi untuk perihal pemecatan gadisnya, Dex sudah memiliki rencana tersendiri. Dan tentunya akan menguntungkan untuknya. Dex menyeringai sinis lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD