Bab 6

1108 Words
“Saya Khalima, kakaknya Nayya,” gadis seksi itu mengulurkan tangan mengajak berkenalan dengan senyum yang mengembang. “Khadija.” Jawab Khadija sambil menyambut uluran tangan Khalima. “Kamu anak baru ya disini?” Khalima bertanya sambil berjongkok hendak menggendong Nayya. “Iya, baru hari ini sampe,” ujar Khadija sambil tersenyum. “Nayya nda mau,” suara cempreng nya memekik sambil menepis lengan Khalima yang merengkuhnya. “Nayya mau dicini, mau dengal Kakak nyanyi,” ujarnya lagi. “Kakak bukan nyanyi sayang, tapi mengaji,” Khadija turut berjongkok sambil mengulas senyum pada gadis kecil itu. Dia hanya melongo tidak mengerti apa yang dikatakannya. “Maaf ya Dija,” seringai Khalima menahan malu. Khadija mempersilakan mereka masuk, Nayya dengan senang melompat kedalam langsung naik keatas tempat tidur berguling-guling. “Nayya,” Khalima menangkap lengan mungil Nayya dan menariknya paksa dari tempat tidur, dia terus menggendong gadis kecil itu. “Maaf ya Dija, Nayya memang kayak gini, aku bawa pulang dulu ya, biar kamu istirahat, Bye,” Khalima melambaikan tangan sementara lengan sebelahnya menggendong Nayya. Gadis itu langsung mengurungkan niatnya untuk main di kontrakan Khadija mengingat adiknya akan membuat kekacauan disana. Khadija menatap punggung mereka yang berjalan cepat menuju ke rumah utama. Setelah itu kemudian dia merebahkan diri diatas busa empuk yang baru dibelikan Ahmed untuknya. Sambil terlentang pikirannya mencoba menghitung berapa utang yang harus ia lunasi pada lelaki itu ketika gajian nanti. “Busa kasur ini kira-kira berapa ya harganya? Oh iya, kan ada nota yang tadi aku diam-diam minta sama si tukang yang nganterin.” Khadija bangkit dan mecari-cari kertas kecil yang dia sembunyikan dari Ahmed tadi. “Single bed Rp. 500.000, lemari plastik Rp. 400.000,rak piring Rp. 80.000,Kompor satu tungku Rp. 150.000,dispenser air Rp. 125.000, galon Rp. 50.000, tabung gas 3 kg Rp. 160.000, kipas angin Rp. 250.000,karpet Rp. 100.000, setrikaan Rp. 120.000,jadi... Rp. 1.935.000,“ gumamnya membacakan rangkaian angka yang tertera pada nota tersebut. Dia meneruskan hitung-hitungan dengan pendapatannya yang hanya di angka upah minimum kabupaten, dikurangi biaya kontrakan, dikurangi biaya makan, dikurangi nominal yang harus dikirimkan ke kampung, dikurangi biaya tabungan masa depan. Kepalanya berdenyut hebat, akhirnya dia terlelap dengan kepala bersandar pada kasur busa sementara badannya tergeletak di keramik tanpa alas. Dia terlelap dengan nota masih ditangan, otak nya begitu lelah memikirkan hutang pertamanya yang sebetulnya sang empunya tidak memintanya untuk membayar. *** Cahaya matahari menyelinap lewat jendela ketika dia sudah rapi dengan mengenakan kemeja dan celana bahan, kerudung segi empat berwarna peach menambah manis wajah polosnya. Hari itu merupakan hari pertamanya kerja. Dia hendak menuju kontrakan teman sekelasnya biar bisa berangkat bareng ke tempat jemputan yang belum diketahuinya. “Udah mulai kerja?” suara seseorang mengagetkannya dan membuatnya menoleh. “Iya,” Khadija mengangguk, sambil menatap gadis yang masih mengenakan kaos yang terlihat sudah basah dengan keringat. Handuk kecil melingkar di lehernya, sebuah botol minum dia letakkan di meja teras rumahnya. “Ya udah hati-hati,” Khalima tersenyum sambil melambaikan tangannya. Khadija mengangguk sambil meneruskan langkahnya untuk menjemput rizki halal dengan keringatnya. Gadis itu menyusuri pinggiran jalan raya, beruntung sebelum dia berbelok pada g**g kontrakan teman sekelasnya, gadis itu sudah berada di pinggir jalan. “Hai Dija,” Arina menyapa dengan wajah sumringah. “Hai,” ujar Khadija, sambil mengikuti langkah sahabatnya. Mereka berputar balik menuju titik jemputan yang akan membawanya pergi menjemput rizki. “Mulai besok, kamu langsung saja pergi ke tempat jemputan, kalau ke tempatku dulu malah muter dan jadi lebih jauh,” ujar Arina. “Iya Rin, soalnya aku belum tau tempatnya.” Khadija menyeringai karena memang dia sangat tidak familiar dengan tempat baru itu, meskipun Arina sudah menjelaskannya berkali-kali. Matahari mulai meninggi ketika kedua gadis itu sudah melaju bersama bus jemputan membelah keramaian jalanan. Khadija duduk ditepi jendela, matanya menikmati pemandangan yang tidak biasa. Deretan perumahan yang berhimpit-himpitan, hotel-hotel yang tinggi menjulang, jejeran ruko dan kios yang sudah mulai buka. Deretan angkringan kuliner pagi yang beragam memperkenalkan suasana baru untuknya. Mulai hari itu, rutinitasnya hanya seperti putaran jarum jam. Bergerak, memutar namun selalu melakukan hal yang sama setiap harinya. Tidak terasa sudah hampir satu bulan dia berstatus sebagai karyawan kontrak pabrik. Hari yang ditunggu-tunggu kini tiba yaitu saatnya gajian. Dengan wajah sumringah dia menerima slip gaji pertamanya dengan p********n setengah, karena sebagiannya masuk kedalam gantungan gaji untuk bulan depan. Nominal yang didapatkan belum besar namun niatnya untuk mencicil utang sudah bulat. Dia harus segera menghubungi Ahmed, beruntung sejak hari itu Khalima sudah menjadi salah satu teman dekatnya sehingga dengan tak segan dia meminjam ponsel Khalima untuk menghubungi lelaki yang sebulan lalu mengantarkannya. “Assalamu’alaikum” terdengar suara salam dari seberang sana setelah dia selesai memijit nomor yang dulu Ahmed berikan padanya. Namun suara itu bukan suara yang dia harapkan. “Wa’alaikumsalam, maaf benar ini dengan nomornya Kak Ahmed?” Khadija memastikan. “Iya, ini siapa ya?” suara wanita yang terasa familiar menanyakan identitasnya. “Siapa Sya,” terdengar samar suara seorang lelaki memanggil wanita itu. “Ga tau, belum jawab” wanita itu kembali menjelaskan. “Ini Khadija, apakah bisa bicara,” belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sambungan ponsel itu terputus. Khadija berulang kali menghubunginya namun selalu tidak bisa. “Kenapa?” Khalima bertanya sembari memperhatikan raut wajah teman barunya yang terlihat murung. “Keputus,” ujarnya sambil mengembalikan ponsel milik Khalima. “Simpan saja dulu, kalau mau pakai, pakai aja, aku masih punya dua,” Khalima mengeluarkan dua ponsel lain dari dalam tas kecilnya. “Beneran gak apa-apa, kamu kenapa beli ponsel sebanyak itu?” Khadija mengkerutkan dahinya. “Ini untuk channel utama, yang ini buat TTM an, kalau yang itu aku udah putus, kalau ada yang nelpon bilang saja kamu udah beli ponselnya dari aku,” Khalima menyeringai. “Maksudnya?” gadis polos itu belum menangkap sepenuhnya apa yang dimaksud teman barunya. “Udahlah, otak polos kamu ga bakal nyampe,” Khalima tergelak menertawakan kepolosan gadis itu. Setelah termenung beberapa saat Khadija memicingkan mata kearah Khalima yang kini tengah memainkan ponselnya. “Jangan bilang kamu punya banyak pacar Ima,” ujar Khadija. “Tenang, pacar aku cuma satu, yang lain backup aja,” ujar Khalima sambil tertawa namun jemarinya tetap fokus pada ponsel yang dibilangnya tadi channel utama. Khadija menggeleng-gelengkan kepala, tidak habis pikir dengan pola pemikiran gadis yang ternyata masih sebaya dengannya. Khalima, ternyata usianya sama, baru menginjak 18 tahun. Dia juga baru lulus sekolah menangah, namun dia menolak untuk kuliah seperti Rasyid kakaknya. Diapun tidak mau mencari pekerjaan seperti kebanyakan anak lulusan sekolah menengah di kota industri itu. Hari-harinya hanya digunakan untuk bermain dan bersenang-senang. Dia sangat berbeda dengan Rasyid yang disiplin dan pekerja keras, gadis itu tumbuh cenderung liar semenjak perceraian terjadi diantara kedua orangtuanya dan kini harus serumah dengan ibu tirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD