Bab 7

1053 Words
Khadija mengembalikan ponsel milik Khalima, meskipun mereka sudah berteman baik namun perkenalan mereka baru seumur jagung. Dia memutuskan untuk pulang ke kampungnya yang sebetulnya hanya butuh waktu satu jam ditempuh dengan kendaraan roda dua. “Ima, aku minggu depan mau pulang saja, ini ponselnya simpen saja, ya kali walaupun udah putus mau minta nyambung lagi.” Khadija mengembalikan ponsel yang tadi di pakainya untuk menghubungi Ahmed. “Ya udah kalo ga mau, eh aku ikut dong Dija, pulang ke rumah kamu please!" Khalima tiba-tiba menghadap dan dengan muka memelas dia melipat tangan di dadanya. “Rumah aku jelek Ima, lagian aku juga cuma menginap semalam, emang kamu mau ikut naik-naik bus sama angkot terus harus nyari ojek lagi, ribet,” ujar Khadija keberatan Namun bukan Khalima namanya kalau kemauannya bisa ditolak gitu aja. “Hmm gini deh, nanti aku bawa sepeda motor Kak Rasyid, dia kalau weekend kan libur kuliahnya dan suka sepedaan sama temannya, kan biar hemat ongkos juga, iya ga?” Khalima tersenyum ketika memberikan penawaran kepada sahabatnya itu. “Nanti kalo Kak Rasyid mau ada acara ngedadak gimana? Lagian kamu mau ngapain sih?” ucap Khadija. “Udah, ih bawel, kalo kata aku mau ikut, ya ikut, ga usah banyak tanya tinggal nemplok doang, aku jago bawa motornya lho, makanya motor aku disita sama ayah,” ujarnya sambil nyengir kuda. Seminggu berlalu dengan cepat, hari itu Khalima sudah bersiap dengan setelan casualnya, dia mengenakan celana jeans ketat, dengan kaos berlengan tiga perempat dibalut jaket jeans dengan model kekinian, rambutnya yang terkuncir tertutup helm full face. Sementara Khadija memakai jilbab instan agar tidak rusak tertiup angin, dia memakai celana bahan yang longgar dan tunik. Khalima meminjamkannya helm milik Rasyid untuk teman barunya tersebut. Mereka sudah berangkat setelah subuh, memburu udara jalanan yang masih segar sebelum debu-debu polusi bermunculan. Matahari mulai tersenyum ketika mereka tiba di rumah sederhana milik keluarga Khadija. Seperti biasa, tidak ada penyambutan istimewa dari keluarga kecuali lonjakan girang dari Melati yang bergelayut manja di tangan kakaknya. Khadija menyimpan tas berisi pakaian ganti ke kamar, setelah sejenak beristirahat, dia mengajak Khalima menemui sahabat terbaiknya. Khalima sudah bak tukang ojek yang siap sedia mengantar teman barunya tersebut. “Bu, aku sama Ima ke rumah Arsya dulu." Khadija berpamitan. “Oh baik, hati-hati, ibu dengar Arsya mau bertunangan hari ini,” ucap ibunya yang tengah menyuapi Melati menghabiskan sarapan yang tidak kelar dari tadi. “Apa tunangan? Kenapa dia tidak mengabariku?” Wajah Khadija tampak terkesiap, mendengar kabar jika sahabat baiknya bertunangan hari ini. “Ya kan kamu belum punya ponsel,” ucap ibunya datar. “Oh iya Bu, ini gaji aku bulan ini, maaf ngasih sedikit, aku masih harus menyisihkan buat keperluan lain soalnya.” Khadija memberikan satu amplop kepada ibunya sekalian pamit ke rumah sahabatnya. Khalima mengekorinya dari belakang. “Aku berangkat dulu Bu, assalamualaikum,” ucap Khadija. “Wa’alaikumsalam,” jawab ibunya sambil memasukan amplop dari anaknya ke dalam laci lemari. Mereka berboncengan naik motor menuju rumah Arsya, dalam perajalan berseliweran pertanyaan mengenai kabar pertunangan Arsya. Mungkin benar kata ibunya, jika Arsya tidak mengabarinya karena memang tidak ada alat komunikasi yang dia miliki. Khadija tidak sabar sudah ingin sampai di rumah sahabatnya tersebut, memberinya kejutan di hari spesialnya. Motor honda wing yang dikendarai Khalima sudah tiba di halaman rumah Arsya. Dia memarkirnya di tepi jalan biar cepat kalau mau keluar. Terlihat beberapa motor terparkir di sana, sepertinya pertunangannya hanya di laksanakan sederhana melihat tidak banyak yang hadir dalam acara tersebut. “Assalamu’alaikum.” Khadija mengucap salam dari teras depan, di dalam terdengar suara obrolan dan sesekali tawa pecah. Suaranya sampai keluar karena memang pintu terbuka setengah. “Assalamu’alaikum!” Khadija mengulang salamnya dengan suara yang lebih keras. “Wa’alaikumsalam!” Terdengar suara seseorang dari dalam, keluarlah seorang wanita yang sudah berumur, tetapi dia bukan Ibunya Arsya. “Arsyanya ada Tante?” Khadija bertanya, sementara Khalima sudah duduk pada kursi bambu panjang yang ada di teras. “Temennya ya, hayu masuk acaranya sudah dimulai." Wanita itu menyangka jika dia salah satu tamu undangan Arsya. Khadija memberi kode kepada Khalima untuk masuk ke dalam mengikuti wanita itu. Dalam benak Khadija sudah ingin memberondong pertanyaan kenapa Arsya mendadak bertunangan. “Semoga pertunangan ini menjadi awal yang baik untuk ke depannya, dan bisa lancar sampai akad nikah, silahkan Nak Ahmed pakaikan cincinnya.” Suara Pak Abdullah, pamannya Ahmed berhenti sambil melirik ke arah Bu Wanda yang duduk membelakanginya untuk memberikan kotak cincinnya kepada Ahmed. “Nak Arsya tangannya.” Pak Abdullah meminta Arsya yang terlihat begitu manis mengenakan setelan kebaya berwarna tosca duduk di sofa yang berseberangan. Terlihat dari belakang, pemuda itu mengambil cincin dan memakaikannya di jemari lentik Arsya. Khadija yang baru masuk masih tertegun mengumpulkan kesadaran. Hatinya mencelos, serasa terhempas dari ketinggian ribuan kaki dan langsung terjun ke dasar jurang yang curam. Dia tidak bisa melihat wajah Ahmed, namun dia membenarkan jika lelaki yang duduk membelakanginya itu ialah orang yang sama yang berjanji akan berjuang untuknya. “Nak, ayo duduk.” Suara wanita yang mengajaknya masuk tadi membuat perhatian Arsya beralih padanya. “Khadija ....” Mata Arsya terbuka lebar melihat seseorang dengan mata berkaca-kaca sedang berdiri menatapnya. Sontak semua melirik kearahnya termasuk lelaki yang baru saja memakaikan cincin kepada jemari Arsya. “Kha...." Terlihat wajah Ahmed begitu terkesiap, dia memejamkan mata dan mengacak rambutnya frustasi. Sementra Arsya langsung berdiri dan menghampiri gadis yang sedang mencoba menguatkan hatinya itu. “Selamat ya Sya.” Khadija memeluk Arsya dengan perasaan tak karuan, yang jelas saat itu dia sedang berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan air matanya. “Maafin aku Kha, aku bisa jelasin nanti.” Arsya terlihat merasa bersalah menatap gadis yang terlihat terpukul itu. “Ga ada yang perlu di jelasin, Sya, semoga lancar sampai hari pernikahan nanti, aku ga bisa lama, harus segera pulang, assalamualaikum." Khadija segera melepaskan tangan Arsya yang memegang pergelangan tangannya. Dia berjalan menjauh dibuntuti oleh Khalima yang tidak terlalu faham akan sikap teman barunya itu. “Wa’alaikumsalam.” Beberapa orang turut menjawab salam yang diberikan Khadija. Gadis itu bergegas meninggalkan rumah sahabatnya dengan hati yang terluka. Tidak ada tanda-tanda seseorang menyusulnya, lelaki yang telah memasangkan cincin itu berkali-kali menghela nafas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal dan beban yang terlihat begitu berat yang belum bisa dia ceritakan. Sementara Bu Wanda menatap putranya dengan tatapan penuh kemenangan, dia hanya memicing melihat punggung gadis itu yang kini sudah menghilang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD