orfeo mau nyari phlox

2005 Words
• • • O. Satu orang di dunia ini yang paling aku sayang adalah Phlox. Dan satu orang di dunia ini yang paling aku benci adalah Feal. Keduanya adalah sahabatku sejak kecil, namun ya, sahabatnya cuma sekadar status yang gak berarti apa-apa, gak berarti pastinya sebuah perasaan yang tertanam dalam hati. Aku menginginkan Phlox lebih dari semata-mata sahabat. Aku menginginkan Feal mati dan mati saja kalau perlu. Si manusia tanpa ekspresi itu. Tak pernah senang dan tak pernah tak suka setiap berada di dekat kami. Boleh dikata, ya memang susah ditebak. Susah diprediksi, susah diganggu, susah dibikin jengkel, susah diapa-apain pokoknya. Seperti tidak mempunyai kelemahan dan sialnya sejujurnya aku sangat iri dengan kekerenannya itu. No, no. Aku punya kelebihan sendiri. Aku bisa menjadi keren dengan caraku sendiri. Saat pertama berjumpa dengan Phlox atas ajakan ayah ke sebuah rumah mewah yang terlampau besar, di situ aku seperti telah bertemu dengan seorang tuan putri yang tak sembarang orang bisa melihat rupa langsungnya. Tuan Putri lemah yang bisa hidup hanya dengan dilindungi sang pangeran. Masalahnya di sini ada dua pangeran. Kenapa pula ayahnya harus mengirim dua orang kalau hanya dengan aku saja, Phlox bisa merasa aman. Apalagi laki-laki macam Feal, mana bisa diandalkan. Dugaanku benar tentang Phlox yang seorang perempuan lemah. Terlewat lemah, sampai tak pernah tersenyum sekali pun. Tertawa, menunjukkan raut senang, aneh, kenapa dia seolah tak bisa merasakan itu di dalam wajahnya? Menonton acara komedi paling lucu pernah. Menonton film romantis paling membuat baper pernah. Melihat cowok ganteng yang bisa membuat teriak pernah. Kenapa hormon perempuannya seolah sulit bekerja? Tidak jauh dengan Feal, Phlox juga sama susah dimengertinya. Bukannya aku pernah mencoba untuk mengerti Feal, amit-amit. Maksudku mereka berdua seperti lain dari yang lain. Susah diajak bercanda meski aku emang gak suka bercanda. Pertemanan kami bertiga pun terasa hambar meski aku tetap menikmatinya karena ada Phlox di antara kami. Dan ya, berhubungan dengan mereka selama bertahun-tahun merupakan pencapaian terbesarku selama 17 tahun menghirup atmoster dunia. Kita lihat, semua yang tak masuk akal ini akan bertahan sampai berapa lama. "Bolos lagi?" Andrew menelponku saat aku gak mau nerima telpon dari siapa-siapa. Tadi terpencet. Tapi sebelum aku matiin lagi tombolnya, dia ngomong lagi. "Sebentar, jangan dulu matikan, hei. Itu, Phlox katanya menghilang." Mataku melotot, bangun dari rebahan. "Tahu dari mana?" "Makanya cepat kau ke sini. Cari tahu sendiri. Aku malas menjelaskan." Kalau dipikir-pikir lagi, aku emang udah tiga hari meliburkan diri dari sekolah. Gak ada alasan apa-apa, karena ya males aja. Tapi, what? Phlox ngilang? Maksudnya apaan. Ngilang atau sakit atau demam atau izin atau gak sekolah, sih. Kok bahasanya ngilang. Tidak bisa dibiarkan. Aku tidak bisa diam lama-lama di sini. Pas nengok ke jam, di situ nunjukkin pukul sembilan pagi, sekolah lagi hening-heningnya karena jam pelajaran sedang berlangsung. Oke. Aku ganti baju pake seragam sekolah, tanpa tas, cuma bawa ponsel, dan langsung meluncur ke sekolah. Aku tau jalan masuk lain menuju dalam sekolah selain gerbang utama, yang ngarah ke kantin. Bukannya aku sering masuk sana, ya cuma tau aja. Gak pernah sekali pun juga buat nyoba masuk. Kecuali hari ini yang mau gak mau aku harus lakuin. Abis berhasil nyampe di kantin tanpa ketauan oleh guru, aku duduk di salah satu meja kosong, kebanyakan mejanya emang kosong. Nunggu lama di situ sampe bel istirahat bunyi, hingga perlahan murid-murid mulai menuhin kantin, dan terlihatlah Feal jalan ngelewatin mejaku. Aku langsung berdiri menghadangnya. "Phlox ke mana?" Wajahku yang udah dingin, tambah dingin lagi, nahan emosi sekuat tenaga. Si Feal malah nanya yang gak guna. "Orfeo udah masuk?" Aku ngangkat kerahnya. "Buruan bilang." "Aku tidak tahu." Suasana kantin sempet riuh sekejap, sampe aku nyuruh Feal duduk buat di depanku. Dia nurut dengan gampangnya. Aku nanya sekali lagi, "Phlox ke mana." "Aku pun sudah memikirkan ini selama tiga hari." "Dan kau hanya diam saja." "Memang apa yang bisa aku lakukan?" Ini orang bikin emosi. "Tidak beritahu saya?" Jawaban diamnya membuatku berpikir telah sia-sia mempunyai kawan yang seperti ini dan memang pantas untuk dimusuhi. Asem. "Sebelum menghilang, apa yang kalian lakukan?" "Pelukan." BRAK! Untung meja kami kosong, jadi gak ada barang kaca yang pecah. "Maksud—" "Phlox teriak karena ada hewan kecil yang terbang di kamarnya malem-malem, jadi aku peluk Phlox." Wajahnya yang datar sambil bilang begitu terlihat dua kali lebih menyebalkan. Aku membalas, menahan frustrasi, "Cuma hewan kecil. Kenapa sampai kau peluk segala?" "Refleks." What the— "Aku ingin Phlox tetap aman, jadi—" "Oke, stop." Agaknya percuma saja mengintrogasi orang datar yang tak peka ini. Aku tau Feal tidak mempunyai ekspresi sekaligus sulit memahami ekspresi orang lain. Definisi tidak berguna. Cih, sia-sia saja aku jauh-jauh ke sini hanya untuk mendengar kabar tak sedap yang baru saja dia lakukan ke Phlox. Apaan sampai memeluknya segala. Aku saja tak pernah. Apa dia diam-diam juga menginginkan perempuan itu? Sebelum aku sempat mengeluarkan diri dari kantin, Andrew keburu menemukan aku, aku kesulitan kabur. "Diam dulu di sini." Dia memintaku menemaninya makan bakso kuah, sembari menceritakan hal baru yang dia alami belakangan. "Kau tau cewek yang namanya Bintan?" Tahu. Tapi aku memutuskan untuk menggeleng. "Dia seksi banget, tahu!" "Hah?" "Maksudku, seksi secara kepribadian." Ingin aku memukul jantungnya. "Tau gak," memajukan posisi untuk berbisik, "dia suka marah-marah gak jelas." Apanya yang seksi? "Wajahnya yang lagi ngambek itu, lho, jadi pengen aku nikahin." Aku langsung pergi saat itu juga. . Definisi 'menghilang' di sini adalah benar-benar menghilang dari muka bumi ini. Saat aku mampir ke rumah mewah Phlox untuk mengecek keadaan sehabis dari sekolah dan masih memakai seragam yang dipakai serampangan, pelayan rumah Phlox berkata kalau perempuan itu tak ada di mana pun. Maksudnya, di seluruh rumah yang sangat luas itu pun, yang mungkin Phlox bisa bersembunyi, dengan puluhan pelayan serta suruhan tambahan, tetap tidak ada yang berhasil menemukan Phlox. Kabur? Kondisi kamarnya yang terakhir tidak menunjukkan itu. Jendelanya masih terkunci rapat, pakaian-pakaiannya masih lengkap, dompet, ponsel, dan sama sekali gak ada alasan untuknya tiba-tiba melarikan diri dari rumah. Sumpah, membingungkan. Keluarga yang kaya raya ini sampai menyewa polisi dan detektif, serta menyebar selebaran orang hilang hingga ke luar negeri. Jangan aneh soal tindakan berlebihan itu. Itu tidak berlebihan sama sekali menurutku. Selain karena duit mereka yang sepertinya tidak akan habis-habis, Phlox adalah anak tunggal di istana ini. Tentu apa pun akan dilakukan untuk mencari sang tuan putri yang selalu sedih itu. Aku mengamati keseluruhan isi kamar Phlox yang luas tak terkira sekaligus sekarang terasa hampa tanpa penghuni. Mendadak, aku gak bisa nyembunyiin raut sedih dari dalam hati, meski orang-orang yang melintas mungkin akan berpikir aku terlihat tidak peduli. Ah, kalau begini keadaannya, seharusnya aku gak menghilang belakangan. Bukannya menghilang, aku cuma membolos. "Saya sempat mendengar Nona Phlox berteriak malam-malam keras sekali sampai membuat saya terbangun. Tapi saya lihat, dia kemudian sudah bersama dengan Tuan Feal di dalam kamar itu. Saya pikir semuanya sudah aman," wajah si pelayan wanita berubah sendu lebih dalam. "Saya terus mengawasi mereka dari luar. Tuan Feal lalu keluar kembali ke kamarnya. Saya sempat lihat, Nona Phlox masih ada di sana. Jadi saya pikir ini bukan kesalahan Tuan Feal. Dan paginya, tempat tidur Nona Phlox kosong dan dia tidak ada di mana-mana." Hee, kenapa aku tetap merasa Feal salah di sini? Katanya sih, Feal sudah memberi keterangan lebih lanjut. Dia berkata jujur, dan dilihat dari segi manapun, tidak terlihat aroma kejahatan yang mengudara di sekitar cowok itu. Feal tidak bersalah. Tapi, tapi .... "Bisa suruh Feal ke sini?" Aku berjalan menuju sofa besar kamar, duduk di sana dengan muka ditekuk. Si Pelayan mengangguk, meminta izin keluar, dan tinggallah aku seorang diri di sini. Aku masih harus mendengarkan penjelasan Feal lebih rinci. Dia tampak tidak mengatakan semuanya. Masa cuma pelukan dan teriakan Phlox karena ada hewan kecil? Pasti ada sesuatu yang terjadi lagi. Feal datang tidak lama kemudian (meninggalkan jam pelajaran kelas). Kami terlibat percakapan serius. "Ceritain yang bener," ucapku langsung. "Gak mungkin kalian cuma ...," oke, lewat bagian ini, "Phlox. Dia kenapa?" "Teriak karena melihat hewan kecil." "Hewan apa?" "Terbang." "Kau gak liat lebih jelas?" Dia menggeleng. Lalu aku menyuruhnya untuk menceritakan semuanya dari awal, dari sejak dia masuk rumah Phlox untuk menginap. Selesai dia mengatakan hal yang harus dikatakan, aku merasa emosi tiba-tiba, sekaligus sesak yang tak tertahankan. Phlox ada rasa ke Feal? Serius? Dengan gamblang pula, cewek itu sampe ngode? Hatiku remuk sekejap, gak bisa mikir apa-apa selain yang barusan diceritain tuh manusia tanpa emosi. Bahkan tentang siasat yang sudah agak terpikir di otakku mendadak hilang. Aku tidak bisa fokus nyari Phlox. Aku ... oh, s**t! "Keluar." Sang tuan putri telah memilih, siapa di antara kedua pangeran itu yang ingin dia bersamai. Semua rasa sukaku ke Phlox terasa sia-sia jika yang dia lihat cuma Feal. Apa gara-gara aku yang sering membolos? Tapi kan, aku gak mau keliatan suka banget sama satu-satunya perempuan di antara kami itu. Kalau dia merasa gak nyaman gimana? Aku mau merasakan ini secara rahasia hingga tiba waktunya aku untuk menyatakan. Aku menundukkan kepala, menyangga kening dengan tangan. "Phlox, aku suka kamu. Tolong, jadikan aku pangeranmu." Aku ketiduran di atas sofa sampai malam tiba. Malam yang benar-benar malam karena tak terdengar suara barang sekecil apa pun di ruangan luas itu, dan luarnya. Sudah diterangi lampu dan gordennya tertutup pula. Apa mereka mengurungku di sini? Oh, tak apa-tak apa. Aku akan menemukan Phlox sampai dia sendiri yang berlari menujuku. Kututup wajah dengan sebelah tangan, menghela napas sebanyak mungkin. Phlox, ke mana sih kamu? "Oh, untung kau bangun." Detik jam dinding terdengar jelas, diikuti oleh suara langkah kaki yang mendekat. Aku tak bisa berbalik untuk mengecek kebenaran. Bukan karena takut, tubuhku memang tidak bisa bergerak. Kemudian, sesuatu mendarat di bahuku seolah menepuk. "Tak perlu takut. Aku tak akan menyakitimu." Ini benar terjadi? Suara perempuan? Perempuan dewasa, jelas bukan cewek yang sedang kucari. Aku bergeming, berusaha meredam sesuatu yang tak boleh kutunjukkan padanya. "Kau tak akan berbalik?" Seharusnya aku tak boleh cemas karena nada suaranya terdengar ringan. Dia menyembunyikan napas, "Padahal dari luar, kau terlihat keren." Segera aku membalik badan dengan tampang kaget yang tidak bisa disembunyikan lagi. Dalam suasana kamar yang sepi namun terang ini, antara takut dan tidak usah takut seperti menyatu. Dan di sanalah aku melihat seseorang yang tak kukenali. Keningku mengkerut. Perempuan itu, aku gak bisa bilang dia kayak manusia walau tubuhnya emang kayak manusia. Pakaiannya yang serba berwarna putih (baju tanpa lengan, celana pendek yang mengembung di bawahnya), dan apa-apaan dengan tongkat itu? Dia datang dari mana. Ini pasti mimpi. Dia lalu tersenyum melihat ekspresiku. "Luar biasa. Bahkan ketika terkejut saja, wajahmu tak berubah, ya." "Maksudmu?" Senyumnya melebar. "Senang, bisa bertemu denganmu." Apa, sih. "Geffie," silakan terus berceloteh. "Namaku. Kupikir akan baik jika kita memulainya dengan perkenalan." "Siapa kau?" Dia tergelak. "Geffie. Seseorang yang ditugaskan untuk menjemputmu." "Tolong katakan dengan singkat dan menyeluruh." "Aku perlu tahu namamu." Dan aku tak mungkin menyebut namaku. Tapi kemudian, aku teringat soal Phlox. "Di mana Phlox?" Giliran dia yang terkejut. "Oh, namanya Phlox—" Aku maju ke arahnya. "Kau yang menyembunyikan dia?" suaraku tajam, harusnya cukup untuk mengintimidasinya. Aku sempat berpikir makhluk itu adalah sebangsa dewi atau malaikat yang mendadak turun karena aku sedang kesusahan. Aku memang tak percaya soal keajaiban. Tapi jika sudah menyangkut Phlox, aku harus mengenyahkan prinsipku sementara. Kalau dengan begini aku bisa menemukan petunjuk, maka aku akan melakukan apa pun. Geffie tergagap sesaat, aku semakin mencurigainya. "Di mana dia." "Wah, kau marah tapi mukamu tetap dingin, ya. Berhenti, berhenti. Aku takut, nih." Langkahnya mundur, mengurangi kharismanya sebagai manusia rupawan yang seharusnya tampil berani. "Soal itu, aku juga tidak tahu. Maka dari itu aku mengajakmu." "Ke mana?" Senyumannya yang selanjutnya seolah memberi arti yang selama ini ingin dia sampaikan untukku. "Aku memang harus membawamu ke sana. Tapi dengan kepribadianmu yang begini, yah, bisa sih. Namun kau harus tahu resikonya." Aku mempercepat balasan, "Sudah saya bilang, katakan semuanya." Lebih lebar lagi, senyumnya lebih lebar lagi. "Ada. Dunia lain selain dunia tempat kau menghirup oksigen ini ... ada dunia lain lagi yang mungkin selama kau berkedip, kau tak sekali pun pernah membayangkannya. Dunia Peri kau menyebutnya. Hanya saja ...," tangan-tangannya dia mainkan di belakang badan. "Kau tak bisa lagi jadi manusia seutuhnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD