bintan sakit karena joo

2006 Words
• • • B. Kabar tentang menghilangnya Phlox benar-benar mengguncang sekolah. Aku sangat kenal dengan cewek itu, bahkan aku merasa peduli padanya ketika sosoknya lenyap dari bumi, namun peduli yang 'kenapa orang-orang begitu mengkhawatirkannya ketika raga yang selalu sedih itu tak nampak di mana pun.' Sudah tahu kan posisiku sekarang gimana? Aku peduli pada Phlox, namun dalam sisi yang berbeda. Aku sekelas dengannya selama tiga tahun. Dia tidak mempunyai teman selain kedua ksatria kerennya yang sering menemaninya ke mana pun. Orfeo dan Feal. Mereka berdua sebenarnya sama-sama tidak warasnya dengan cewek itu. Tapi plislah, sebagai seseorang yang selalu ingin tampil paling atas, tak suka dengan kehadiran si perempuan lemah yang hanya mengandalkan keberuntungan, aku, iri, padanya. Temanku banyak, tapi tak cukup merasa puas. Ada sebagian cowok dalam gengku, tapi yang kuperhatikan malah Orfeo dan Feal terus. Karena keirianku yang merajalela terhadap Phlox, aku jadi menganggap kalau kedua cowok itu keren. Lebih keren dari cowok-cowok di sekitarku. Dan sialnya, mereka berdua terlalu loyal untuk bisa kusisipkan ide pengkhianatan. Aku pernah mendekati keduanya, bicara ringan mengapa begitu setia pada si lemah. Dan sebuah jawaban yang gak pernah kuharapkan yang terdengar. Orfeo bilang, "Saya mencintainya." Feal bilang, "Aku akan menemaninya sampai kapan pun." Seperti telah terkena mantra yang membuatmu jatuh hati. Phlox ada kemungkinan pergi ke penyihir untuk melakukan guna-guna. Seorang cewek kesepian pasti melakukan itu kan agar ada lawan jenis yang tertarik padanya? Atau jangan-jangan sebagai konsekuensi dari mantra sakti itu, Phlox jadi selalu merasa sedih? Oh, ini begitu masuk akal untuk kuutarakan ke orang-orang. "Dia pasti melarikan diri dari dunia karena terlalu stres," aku tertawa setelahnya di tengah melipat tangan di d**a, "lebih baik tidak usah kembali ke sini saja." "Kerjaanmu hanya mengurusi dia saja, ya? Haha, sungguh berbakat sekali." Eh, aku tidak tahu Joo masuk ke percakapan ini. "Apa urusanmu denganku!" Aku maju ke arahnya, menatapnya nyalang dari dekat. "Kau pecundang jika terus menghina perempuan." "Jadi maksudmu tak apa kalau kau menghina ke sesama perempuan?" Matanya balas menatapku percaya diri. Dia sedang menyindirku tentang Phlox. Aku semakin memajukan tubuh hingga ujung hidung kami kini bersentuhan. "Jangan. Ganggu. Aku." "Beringas sekali ya kau." Dia memundurkan wajahnya dan tiba-tiba mengangkat daguku. "Aku bukan seorang pemain cewek. Tapi kalau kau, kurasa tidak masalah." Jantungku berdebar akibat amarah yang memuncak sekaligus disebabkan oleh sesuatu yang bikin aku tidak ingin lepas darinya. Kedua tanganku terkepal di bawah, Joo mempertahankan senyum seramnya yang sejujurnya itu membuatku terpikat sampai memberi efek candu. Aku tak suka jika dia mengusik kesenanganku, tapi di lain hal, sama seperti aku peduli pada Phlox untuk arti yang berbeda, aku merasa Joo juga merasakan hal ini. Peduli padaku sebagai kesenangan pribadinya alih-alih berupa perasaan istimewa laki-laki ke perempuan. Aku menahan gejolak sesak saat melihatnya melepaskan diri, lantas mengalihkan pandangan ke arah pintu, ke titik di mana belahan jiwanya biasa menunggu. Iya, belahan jiwa. Mereka tidak pacaran, tapi semua orang tahu mereka sangat dekat. Joo dengan seorang cewek lemah lembut dari kelas lain, itu yang Joo suka. Dia bahkan memamerkan senyuman terbaiknya khusus pada manusia itu saja. Oh, Joo emang selalu tersenyum, lagi-lagi namun dalam arti yang lain, bukan sesuatu yang menyebarkan aura positif. But, i still like him. And I'm not ashamed to show it to him. Beberapa orang menilaiku menarik, cewek langka yang susah ditakluki cowok. Biasanya tipe-tipe sejenis itu akan melirik cowok lain yang menurutnya itu hebat dan keren. Di sini aku melirik Joo di saat aku tahu dia terang-terangan menyukai cewek lain. Sakit? Jelas. Tapi berusaha tak kupedulikan. Aku tetap bersikap sebagaimana mestinya pada seseorang yang kusuka, seseorang yang membuatmu merasa beruntung telah terlahir ke dunia. Dunia yang tak selamanya terlihat masuk akal. Untuk hal luar biasa seperti fenomena alam sih masih termasuk dalam nalar. Namun apa yang kau pikirkan jika makhluk-makhluk aneh fantasi yang biasa kau dengar dari dongeng-dongeng terdahulu, ternyata bisa saja dia menjumpaimu di salah satu malam sunyi. Saat kau terperangkap dalam tidur, menjelajah semesta mimpi, suatu figur khayal diam-diam menyelinap masuk ke kamar nyamanmu. Kau mungkin merasa itu masih dalam lingkup mimpi indah yang kau sendiri bahkan tak mau bangun sangking menakjubkannya. Betul, menakjubkan. Terasa seperti berada di sebuah cerita sebelum tidur yang biasa ibumu bacakan. Percaya atau tidak, aku pernah bertemu dengan mereka. Sosok peri kecil bercahaya terang yang mengusik tidurku di salah satu malam yang dingin. . Aku bukan seseorang yang mendambakan keajaiban atau hal aneh semacamnya yang biasa dimiliki anak-anak di bawah usia 10 tahun. Aku terlalu realistis dalam menyikapi hidup, berpikir bahwa tak mungkin ada ilusi spektakuler yang bisa membuatmu berdecak kagum. Ilusi. Bahkan untuk sesuatu yang tak pasti itu, aku jelas menyangkalnya. Mimpi. Aku tak percaya mimpi yang pernah terjadi dalam sela tidur, dapat berubah sewaktu-waktu menjadi kenyataan. Mana ada orang yang percaya, terlebih aku. Pribadiku yang tempramental sangat mendukung prinsip itu. Tak peduli akan sesuatu yang tak nyata. Namun sosok yang tak nyata itu malah dengan sengaja menubruk pemahamanku. Belum lama, sekitar bulan lalu, aku terbangun di tengah tidur panjang dan masuk ke tengah malam yang senyap tanpa penerangan. Yang menyala di kamar ini hanya lampu tidur yang terletak di sebelah kasur, memberi cahaya oranye di tengah gelapnya suasana. Aku masih dalam keadaan setengah sadar saat kusadari, ada cahaya lain yang terlihat berkilau di depan jendela. Mataku langsung terbuka lebar, mematung tiba-tiba. Aku yang jarang takut akan sesuatu ini sampai memegangi pinggiran kasur untuk menyeimbangkan tubuh, bergerak sejauh mungkin dari tempatnya berada. Hanya cahaya kecil, tapi tak sekecil kunang-kunang yang mungkin akan membuatku tenang. Ini ... seperti sosok terbang alih-alih hewan menggemaskan yang biasa terbang lain. Saat sekujur tubuhku mulai merinding, sosok itu dengan cepatnya melintas menujuku. Aku spontan berteriak, menutup mata, sementara seberkas hangat seketika melingkupi wajahku. Napasku terengah, sulit mengendalikan diri di ketakutan yang pertama ini. Dan kemudian, sebuah suara terdengar di dalam kepalaku. "Jangan panik. Peri tidak akan menyakitimu." Apa? Pe-Peri? Perlahan, aku mencuri lihat melewati jariku yang terbuka sedikit. Dan ada banyak cahaya yang memenuhi penglihatanku. Bukan banyak, ini seperti memancar sangat luas seperti bintang yang bersinar terang jika dilihat dalam jarak yang dekat. Mataku sampai terasa panas. "Oh, maaf. Peri membuatnya terlalu tinggi." Berhenti di ujung kalimat, hawanya kemudian berubah bersahabat. Silaunya tak terasa menyakitkan lagi, dan kini, aku melepas kedua tangan lantas menatap keseluruhannya. Benar-benar sesosok peri. Tubuhnya kecil seukuran tangan orang dewasa, memantulkan cahaya putih di sekelilingnya, wajahnya elok, senyumnya menenangkan, dan seketika aku merasa terlindungi. Hatiku melunak, badanku merileks, dan untuk suatu alasan abstrak, aku rasa aku ingin menangis. "Kenapa kau memandang Peri begitu?" Hah? "Kau marah karena Peri muncul di sini tiba-tiba?" "Kau menakutiku!" Tanpa sadar aku malah berteriak padanya. Meski aku memang merasa takut, tapi rupa aslinya yang telah kupandang itu sebenarnya sudah menghancurkan kegelisahanku tadi. Tapi kenapa ini. "Peri akan mengabulkan satu permintaanmu." Apa? "Kau bercanda." "Sebutkan satu permintaan untuk Peri kabulkan." Ada apa ini? Aku tak percaya ini mimpi dan aku pun lantas tak langsung percaya dengan kehadirannya yang mendadak ini. Terus apa yang harus kulakukan? "Peri akan pergi jika kau menyebut satu permintaan." Aku memandangnya bengis, ingin kuhancurkan tubuh mungilnya itu dengan hantaman satu tangan. Bahkan lihat, tinjuku akan segera beraksi. "Ada laki-laki yang kau sukai?" Bahuku menurun. "Peri bisa mengabulkan satu permintaan." Kenapa menyinggung soal cowok yang kusukai. Dia mau menyogokku dengan itu? Tidak akan mempan! Ini adalah sebuah kebohongan. "Ucapkan saja tentang satu permintaan." Emosiku tak bisa teredam. Aku terlanjur tersinggung dengan sahutan soknya yang sok bisa melakukan segalanya. Memangnya apa yang bisa peri lakukan! "Aku ingin Joo melirikku, tapi aku tahu itu tidak mungkin!" "Peri sudah mengabulkan." "Kau bicara apa." "Peri pergi. Terimakasih sudah membantu Peri." Satu kedipan mata, sosoknya lenyap, cahayanya lenyap, dan yang kupukul hanya udara kosong tak berpenghuni. Napasku masih memburu namun dalam konteks yang berbeda. Mendadak aku pun menyesal kenapa tadi aku malah ketakutan dan bukannya melawan seperti sekarang. Pasti ucapannya itu bohong! Kemunculannya saja sudah membingungkan, ditambah dengan mengabulkan permintaan, mana mungkin aku percaya! Tapi besoknya, hal itu pun terjadi. Langsung, tanpa peringatan. Bahkan sebelum aku sempat menyiapkan diri. Di kelas, aku menyadari Joo lebih sering memperhatikanku diam-diam. Wajahnya yang seolah merencanakan siasat jahat padaku, ketika aku membalas dengan menoleh, dia dengan terang-terangan malah semakin melebarkan senyum. Aku deg-degan dibuatnya, tidak mau berpikir kalau dia akan menyakitiku alih-alih tertarik. Dan kejadian-kejadian selanjutnya, tidak jarang Joo mengusikku dengan caranya. Aku semakin dibuat terpikat, terjerumus, terhipnotis, terbuai, oleh pancarannya yang hanya aku yang dapat menyadarinya. Aku belum menyiapkan diri saat kukira, dia mulai tertarik padaku. Tapi dia masih bersama dengan si belahan jiwa. Membuatku sakit. Rasa sakit baru yang kulampiaskan dengan lebih banyak mengeluarkan emosi kepada sekitar. Lebih menghabiskan tenaga, lebih membuat hatiku lelah. Tapi aku tak bisa menghentikannya. Itulah healing dari rasa sesak karena Joo. Sepertinya Peri itu memang dapat mengabulkan permintaan. Tapi tolong, kenapa ini jadi bertambah buruk. Aku tak mau merasakan sakit karena melihatnya melihatku, sedang dia masih melihat yang lain. Apa ada perempuan yang ingin hati laki-lakinya terbagi dua? Kalau begini, lebih baik tak usah kau perhatikan aku, Joo! Aku sakit karenamu. DASAR PERI JAHAT! Aku sering ingin menangis di kala aku sedang sendirian. Tapi cuma ingin. Meski hatiku sudah hancur berkeping-keping, tak ada air mata yang keluar dari ujung sana. Malah emosi yang semakin membara. Pernah aku membayangkan akan membunuh salah satu dari mereka. Pernah. Sampai hatiku meledak-ledak saat menahan hasrat terbesar itu. Aku menutup telinga dan berteriak-teriak guna menyampaikan rasa sakit. Kau tahu, ini sama sekali tidak mengenakkan. Aku ingin bertukar hidup dengan siapa saja yang bisa menangis untuk mengeluarkan kesedihan. Aku tak suka sedihku tersembunyi. Aku ingin memberitahu pada dunia tentang rasa sakitku. Tapi tak bisa. Alhasil aku hanya bisa menangis dalam hati. Joo. I hate you, but I love you. . "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Joo. Dia punya gebetan, tapi dia tetap mendekatimu." Sebetulnya aku sedang murung sekarang, tak ada tenaga untuk sekedar menyanggah. Namun mulutku tiba-tiba berkata, "Benar, kan? Tidak ada yang senang diperlakukan begitu!" Aku mohon berhentilah berceloteh, atau mengajakku bicara. Aku ingin mengistirahatkan pikiran. "Yah, dia yang salah. Bilangnya ingin mempermainkanmu. Dasar laki-laki—" "Bintan." Aku terlonjak, hampir terjatuh dari kursi kantin kalau tidak berpegangan. Mengatur napas sesaat, sebelum melihat siapa yang datang. "Ngapain kau ke sini." Itu Feal. Mengejutkanku. "Bintan tahu Phlox ke mana?" Alisnya datar, matanya tanpa gairah, ucapannya tak berirama. Aku mengerutkan kening dalam, hendak ingin memarahinya karena telah membuatku terkejut. "Mana aku tahu!" "Tapi Phlox katanya dekat dengan Bintan." "Dekat karena sering mengganggu iya!" "Kenapa mengganggu Phlox?" Aku terdiam. Karena aku iri terhadapnya. "Bintan tahu Phlox ke mana?" "Enggak!" Aku pergi dari tempat itu, frustrasi akan segalanya. Masih memikirkan perihal Joo, kenapa seseorang mengusikku soal Phlox juga? Hei, aku hanya butuh ketenangan. Aku tak mau keadaanku bertambah buruk karena keduanya terus menyalurkan perasaan negatif kepadaku. Phlox yang membuatku iri, dan Joo yang membuatku serakah. Aku bisa. Aku bisa merebut Joo dari ceweknya dan bersamaku selamanya. Sangat bisa. Tapi aku tak mau memakai cara begitu. Aku berjalan pelan di koridor, menundukkan kepala, saat kemudian, seseorang menyusul langkahku. "Bintan pasti tahu Phlox di mana." Feal menangkap lenganku. "Beritahu aku. Aku harus menemukan Phlox setelah Orfeo ikut-ikutan menghilang." Hah? Pangerannya yang lain ikut menghilang? Baguslah. "Jangan menuduhku yang tidak-tidak!" Aku menghempaskan tangannya dari lenganku. Tapi dia kembali melakukannya, menggenggam pergelangan tanganku. "Katakan apa saja padaku, kumohon." Aku memandangi wajahnya, masih dengan alis tertekuk dalam. "Kau mencintai Phlox?" "Aku peduli." "Mencintai?" Dia terdiam. Oh, begini ternyata yang cewek itu rasakan. Maksudku, Feal hanya berada di dekatku, tapi aku langsung merasa aman dibuatnya. Dia memang termasuk orang asing, aku pandai meneliti gelagat orang, dan yang kuketahui darinya, tidak ada emosi apa pun yang menyelimutinya. Meski cowok itu bilang peduli, rautnya sama sekali tak menyorotkan kekhawatiran. Hanya menatap lurus dan bicara lurus. Orang baik. Tak mungkin dia memikirkan hal jahat. Oh, ternyata begini salah satu pelindungmu. Baiklah, aku semakin merasa iri. Aku membuang napas ke atas, kepikiran sesuatu. "Aku pernah bertemu dengan sesosok peri pengabul permintaan. Aku kira ini ada hubungannya dengan itu." Setidaknya aku bisa melupakan Joo untuk sementara. Melupakan rasa suka sialan ini yang malah membuatku menjadi manusia pengharap. Bintan seharusnya bukan seorang yang seperti itu. Sebagai gantinya .... Aku akan mendekati Feal. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD