BAB 3

1318 Words
"The more often you interact with someone. Then you will easily dissolve with it." ***** Hukum alam jika seorang perempuan dan laki-laki dipertemukan untuk bersatu. Hukum manuisa jika kedua insan itu tidak boleh menyatu. Hukum Elang, tidak ada yang mempan melawan kemauannya. Kotak makanan yang beberapa menit dia rebut dari anak cupu sekolahan, tak lepas dari genggamannya. Ari, Bagus tanpa Dhika memperhatikan gerak-gerik Elang. Kepalanya terus diputar kekanan- kekiri. Kotak bekal itu sudah memanggil beberapa kali untuk cepat dimakan. Sayangnya Elang tidak mengetahui kode-kode yang di berikan ketiga sahabatnya itu. "Tau Lang, sumpah lo suka nggak jelas belakangan ini. Tau, ada masalah sama bokap?" "Diem lo Gus! Gue lagi nunggu Delia," Ari yang tadinya ingin memberikan pendapatnya, mengurungkan niatnya dalam-dalam. "Delia, siapa Delia? Cewek yang lo ajak pulang bareng tapi nolak itu?" tebak Bagus. "Bagian nolaknya nggak usah diperjelas kali Gus," Elang mendengus sebal. "Tau aja lo lupa," kata Bagus lagi yang membuat Elang berhenti megawasi gerbang dalam sekolah. "Gus, gue heran ya sama lo. Setiap awal mau bicara, lo selalu pakai kata 'tau'. Orang yang lo ajak bicara belum tentu tau Gus." "Tapi kalian tau apa yang gue omongin kan. Tau gue sih gitu." Sejurus kemudian, pukulan maut mendarat di kepala Ari. "Ari tidak bersalah kawan, kenapa Ari dipukuli begini?" "Ar lo diem atau gue tendang!" geram Elang yang suaranya naik beberapa okaf karena kedua temannya tidak mau berhenti bicara seperti ibu-ibu kompleks. "Mampus lo Ar!" timpal Bagus dan Ari semakin meringsut ke bawah, bersandar di balkon depan kelas. Segerombol cewek lewat di depan mereka. Seketika ada yang tebar pesona, menyibakkan rambutnya bak model kelas bawah. Juga memperlihatkan lipstik tebal merah yang sangat menggoda, tapi Elang tidak akan tergoda. "Heh tuh mata mau gue colok pake sisir?" Jane datang dari arah berlawanan, gerombolan itu langsung terpecah bagaikan ada yang membelah. "Mampus kalian dicolok mak lampir!"Dhika mengumpat dan selanjutnya diam karena sadar Jane lah sebenarnya yang perlu diusir dari sini. Elang masih menatap gerbang, Edel tidak kunjung muncul. "Elang, nih gue bawain lo sarapan." Jane menyerahkan kotak bekalnya yang berwarna pink. "Buat kita aja," celetuk Bagus. "Iya kita belum sarapan nih. Elang udah punya bekal sendiri, tuh ditangannya." Jane melihat tangan Elang, ternyata benar. "Itu bekal siapa? Berani banget sih tu orang ngasih bekal ke lo!" Elang risih,dia turun tanpa memedulikan Jane yang tidak waras itu. "Apa gue bilang," kata Bagus mengompori. "Emang lo bilang apa Gus?" Ari bertanya polos. "Lo diem aja g****k. Gue tuh bersiasat." Bagus menghimpit kepala Ari di ketiaknya. Sedangkan Dhika, dia mengambil bekal Jane yang dianggurkan dipinggiran balkon. Pemiliknya sudah kabur entah ke mana. "Lumayan dapet rezeki gratis. Kalian berantem aja sampai subuh, gue mau makan." "Dhika kutil lo!" "Dasar t*i badak!" ***** Pagi ini Edel merasa sangat lemas. Kakinya bahkan tak kuat menopang badannya lagi. Kemarin dia juga tidak melakukan apa-apa, hanya tiduran di kamar dan mengisi Diary yang sempat vakum belakangan ini. Edel berjalan tertatih-tatih menuju meja makan. Baju seragam sudah melekat di tubuhnya. Tetapi Edel ragu antara mau masuk sekolah atau tidak. Jangan-jangan kalau masuk, dia sakit di sekolahan. Kalau tidak masuk, tidak ada yang mengantar surat ijinnya. Kelihatannya Edel harus memilih opsi petama. Dia bisa istirahat di UKS nanti. "Sayang, tumben kamu belum berangkat?" Mamanya sibuk mengoleskan selai melon ke dalam roti tawar kesukaan Edel. "Ehm ... lagi kepingin berangkat siang aja Ma." Kata yang sama, Edel sudah hapal. "Kamu tidak boleh begitu nak. Disiplin itu sangat penting." Papa Edel memang selalu menuntut kedisiplinan dari kedua anaknya. Berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang telah dirasakannya. "Iya pa, Edel juga mau berangkat sekarang." Kepala Edel menoleh ke arah Revan. "Kak antar Edel ya," pintanya. "Kak Revan ada janji sama Yuna. Maaf dek, tapi ini masalah pernikahan kakak." Edel hanya bisa mengambil napas banyak-banyak agar dia bisa kuat dengan semua perubahan keluarganya ini. "Yaudah Edel berangkat sama Naya aja. Ma, Pa, kak Revan, Edel berangkat." Roti yang disiapkan mamanya tak tersentuh oleh Edel. Napsu makannya menghilang begitu saja. Tidak mungkin juga dia berangkat menggunakan motor sendiri karena Edel benar-benar merasa pusing. Edel mencari kontak Naya, kemudiaan dia meneleponnya. "Halo Nay, bisa jemput gue di rumah? Iya gue lagi nggak enak badan sekarang." Edel mengembalikan handphone nya ke saku rok. Menunggu Naya di depan rumah tidak terlalu membosankan daripada harus naik bis dan berdesakan dengan penumpang lain. ***** Tidak sampai setengah jam Naya sudah sampai dengan kecepatan seperti topan. Kaca mobil terbuka dan menampilkan sosok Naya dengan kacamata mainan nangkring indah di kedua matanya. Sungguh lucu, kacamatanya. "Buruan Del masuk," ajak Naya, tapi kemudian dia memfokuskan perhatiannya lagi. "Ya ampun muka lo pucet gitu! Mending nggak usah sekolah dulu, lo di rumah aja istirahat." "Lebih masuk gue sekolah daripada di rumah," keukeuh Edel. Naya hanya mengendikkan bahunya. Susah mencairkan es di dalam seorang Edel. Edel selalu terlihat kuat dari luar, tapi sebenarnya dia rapuh. Hanya saja sisi rapuhnya tidak akan pernah terlihat. "Del, bukan maksud gue tanya gini mau gali informasi dari lo ya. Gue bingung, kenapa sampai saat ini lo belum pernah cerita ke gue, Katrin, Cellyn soal cowok yang lo suka? Gue tau pasti lo juga pernah ngerasain yang namanya first love kan, nah gue pingin tau siapa sih yang berhasil rebut hati lo?" Naya bertanya dengan hati-hati. Mengingat Edel mudah sensi dan orangnya nggak suka basa-basi. "Mungkin waktu yang akan menjawab pertanyaan lo," jawab Edel lemas. Mereka berdua tidak melanjutkan obrolan ini. Angin yang berhembus dari luar mobil sedikit menyejukkan pikiran Edel. Setelah dirasa, ternyata cukup siang juga dia berangkat. Kendaraan yang padat merayap serta polusi dari knalpot kendaraan bercampur menjadi satu. Membuat Edel harus menutup paksa kaca mobil karena bau yang terus menyeruak berdesakan masuk ke rongga hidungnya. ***** Sejak 15 menit yang lalu, Elang telah berdiri di koridor kelas 11 yang letaknya diatas kelas 10. Padahal perkiraan Elang Edel akan sampai lebih awal, dia kira kan anak rajin seperti Edel pasti berangkat subuh. Tapi Elang salah. Elang sudah mewanti-wanti ketiga temannya. Jika saja Edel datang, Elang bisa cepat-cepat memberikan bekal yang dirampasnya itu kepada Edel. Meskipun bukan buatannya sendiri, tapi Elang bangga bisa membuat Edel senang. Tidak lama setelah Elang mengerahkan big boss untuk memantau gerbang, Edel datang. Tapi tunggu, ada perbedaan pada wajahnya. Edel terlihat pucat, matanya juga sayu tidak seperti biasanya yang selalu memberikan tatapan tajamnya untuk Elang. Elang segera turun ke bawah menyambut Edel. "Delia, gue bawain bekal buat lo. Terima ya, soalnya gue udah susah-susah minta ini bekal," sambut Elang. "Edel lagi sakit, mending lo bawa dia ke UKS dari pada pingsan di sini," sahut Naya cepat. "Nay, ngapain bilang ke dia." Edel menyikut lengan Naya. Edel tidak mau ditemani Elang berduaan di UKS. Lebih baik tetap di kelas dan tiduran di sana daripada harus bersama Elang. Bisa-bisa makin parah pusing di kepalanya. "Nggak usah sungkan sama gue. Gue mau kok nemenin. Tapi gue ada urusan bentar, tungguin ya." Elang berlari lagi menuju koridor kelasnya dan mengatakan sesuatu yang tidak mungkin terdengar oleh Edel. Setelahnya, Elang kembali, dia membantu Naya mengantarkan Edel ke UKS. Saat mereka tiba di UKS, keadaan ruangan masih sepi. Petugas juga belum ada yang jaga. Terpaksa Elang harus susah payah berusaha semampunya menyiapkan peralatan sendiri karena Naya sudah pergi. "Susah banget sih!" Padahal cuma membersihkan tempat tidur, mengibaskan selimut dan selesai. Tapi seakan-akan Elang melakukan pekerjaan yang tidak bisa dikerjakan orang lain. Suaranya mengkoar-koar memenuhi UKS. "Kalau lo nggak bisa nggak usah maksa. Gue nggak mau lo darah tinggi gara-gara bersihin selimut itu." Bagaimana lagi Edel harus menghadapi Elang? Cowok yang sangat dramatis menurut Edel. Bahkan se-dramatis itu sampai mengalahkan akting Edel waktu drama. "Bisa kok, ini juga karena keinginan gue sendiri." "Terserah lo kak." Edel berbaring memunggungi Elang. Tidak menunggu waktu lama, Edel tidur. Elang mengambil selembar kertas yang tergeletak di atas meja. Melipatnya dan digunakan untuk mengipasi Edel. Keringat yang meluncur dari dahi Edel dia sapu menggunakan tangan. Meskipun Elang cowok, tapi tangannya halus tidak ada cacat sedikitpun. Dilihatnya, Edel sudah tertidur pulas. Mungkin benar-benar lelah. Edel lebih manis jika tidur. Tidak segalak dan seganas biasanya. Malah lebih mirip seorang gadis polos sarat kelucuannya. "Belum pernah ada satupun cewek yang berhasil membuat gue ngerasa kalau ini beneran diri gue sendiri Del. Tapi lo, adik kelas yang nggak tertarik sama sekali dengan pesona gue. Satu-satunya orang yang dimana lo beri perintah, gue pasti lakuin. Cepet sembuh ya Delia." Elang mengecup sekilas kening Edel dan keluar dari UKS. Semoga saja Edel tidak sadar perbuatan Elang tadi. Kalau Edel ingat, habislah Elang. Pulang tinggal nama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD