“Jul, sebelum kamu teriak-teriak dan bikin Mama panik, bisa gak jelasin dulu sama Mama sebenarnya apa yang terjadi? Julio ini siapa? Kenapa kamu tiba-tiba bilang dia diculik? Apa hubungannya Julio sama Pak Jonathan?”
Julie menurunkan kakinya ke lantai, meninggalkan tempat tidurnya. Gadis itu mondar-mandir, belum juga ia menjawab pertanyaan Bu Margaretha. Makanya Bu Margaretha ikut mondar-mandir, ikut panik untuk hal yang tak ia mengerti.
“Jul!” panggil Bu Margaretha seraya memegang pundak gadis yang sedang menyingkap gorden jendela kamarnya. “Bisa jelasin dulu gak sama Mama? Kamu tuh bikin Mama bingung.”
Julie berbalik setelah ia mengamati bangunan sebelah, tepatnya di kamar Julio. “Ma, Julio pasti diculik Om Jonathan gara-gara Julie.”
“Emangnya Julio sama Pak Jonathan ini apa hubungannya, Jul?”
“Gini loh, Ma.” Julie meraih tangan Bu Margaretha. “Om Jonathan kan ngejar-ngejar Julie, terus Julie nolak dan bilang lebih milih nikah sama cowok miskin asal masih muda. Karena Om Jonathan marah, dia nantangin Julie buat nikah sama salah satu penghuni kos Julie yang notabenenya masih pada muda walau memang masih gak punya apa-apa.”
“Terus, apa hubungannya sama Julio? Julio itu yang datang ke rumah, ‘kan?”
“Iya, Ma. Julio itu salah satu penghuni kos Julie. Dia tinggal di kamar 21. Tuh ….” Julie menyingkap gorden lagi, ia menunjuk ke bangunan sebelah. “… kamarnya pas yang di sebelah. Julio tinggal di situ, Ma.”
“Tunggu … tunggu ….” Bu Margaretha sepertinya sudah mulai paham dengan arah pembicaraan Julie.
“Mama memikirkan hal yang sama dengan Julie pikirin, ‘kan?”
“Pak Jonathan tahu kamu deket sama Julio, terus karena dia gak mau kamu beneran dinikahin Julio, makanya dia menculik Julio? Gitu?”
“Iya, Ma,” jawab Julie dengan panik. “Om Jonathan licik banget, ‘kan? Padahal dia sendiri yang bilang kalo Julie bisa nikah sama salah satu penghuni kos Julie, dia bakalan mundur dengan lapang d**a. Tapi, buktinya?”
“Dia menculik Julio biar tidak ada yang nikahin kamu, Jul. Biar dia tetep nikahin kamu.”
“Nah, ‘kan … Julie takut banget, Ma. Orang itu beneran sakit jiwa deh. Kata salah satu penghuni kos di sini, Ma. Om Jonathan itu sering nanya-nanyain Julio ke anak-anak di sini. Dan setelah Julio gak pernah balik ke sini, Om Jonathan juga gak muncul juga. Makin ketahuan , ‘kan, Ma?”
Napas Bu Margaretha juga ikut memburu. Sama paniknya dengan Julie. Walau ia tak mengenal siapa itu Julio. Namun, berdasarkan cerita Julie, Julio pasti dalam bahaya. Bu Margaretha jadi teringat film-film yang pernah ia tonton. Seorang mafia kejam yang tanpa segan membunuh pria lain yang bisa menghalangi jalan cintanya dengan gadis pujaannya.
“Ma, kita lapor polisi, yuk. Kasian Julio, Ma.” Julie menggoyangkan lengan Bu Margaretha.
“Tapi, kita gak ada bukti, Jul. Kalo kita datang ke kantor polisi dan mengatakan bahwa Pak Jonathan yang menculiknya sementara gak ada bukti apa-apa. Ya palingan laporan kita gak ditanggepin, atau justru malah lebih buruk, kita dituntut balik karena tuduhan pencemaran nama baik.”
“Tapi, siapa lagi yang nyulik Julio selain Om Jonathan, Ma? Ma, kasian Julio. Dia gak tau apa-apa. Malah dia yang harus jadi korban. Padahal Julio mau nikahin Julie aja belum tentu.”
“Inget gak kata kakakmu? Sophie bilang dia gak nuntut Pak Jonathan ke polisi karena gak ada gunanya. Orang sekaya dia itu bisa membeli hukum, Jul. Malah kita yang setengah-setengah kaya gini yang bakalan jadi korban kalau bertindak gegabah.”
Julie mendesah kecewa. Lantas haruskah ia diam saja? Tanpa melakukan apa-apa. Padahal keselamatan Julio dalam bahaya. Pria itu bahkan bisa saja dipukuli, disiksa, atau bahkan sampai dibunuh.
Ah, tidak. Julie langsung memukuli kepalanya yang telah memikirkan hal seburuk itu. Jangan sampai. Pokoknya amit-amit kalau sampai terjadi hal buruk pada Julio.
“Ma, masa Julie gak ngelakuin apa-apa?”
“Terus kamu mau ngapain, Jul? Mau datengin Pak Jonathan? Sama aja dengan menyerahkan diri.”
“Julie juga gak berani datengin Pak Jonathan, Ma.” Julie meringis akan nyalinya yang bahkan sudah ciut saat menyebutkan nama pria menakutkan itu. Jangankan untuk menemui, baru memikirkan untuk datang saja, Julie sudah gemetaran. “Ma, Julie khawatir sama Julio.”
“Jul, kamu seberapa deket sih emangnya sama Julio? Sampai-sampai Pak Jonathan menculik Julio.”
Seberapa dekat?
Kok Julie bingung cara menjawabnya. Sedekat apa? Kalau dipikir-pikir sebenarnya tidak dekat-dekat amat. Mungkin Julie yang terlalu baper dan menganggap jika mereka dekat, padahal aslinya tidak.
Mereka hanya pernah berbelanja bersama di mini market. Hanya sekali, itu pun kebetulan saja bertemunya. Kemudian diberi tumpangan untuk duduk di jok belakang motor pria itu. Diajak liat bintang bareng dan naik motoran untuk mencari makanan. Bisakah itu dianggap kedekatan? Padahal baru sampai diajak. Iya, hanya diajak. Karena setelah diajak, justru dibatalkan sepihak oleh Julio.
“Kalian pacaran?” tanya Bu Margaretha.
“Gak,” jawab Julie dengan lesu.
“Calon pacar?”
“Gak juga.”
Bisakah disebut calon pacar jika Julie mengajak berpcaran duluan tapi kemudian diabaikan.
“Julio pernah ungkapin perasaannya?”
“Gak.”
“Terus?”
“Justru Julie yang ngajak pacaran, Ma. Tapi, gak ditanggepin.”
Mak jleb. Bu Margaretha menelan ludah. Sebenarnya mau tertawa, tapi kasihan melihat anak gadisnya.
“Ma, kita telpon Papa, yah. Minta bantuannya Papa buat nyariin Julio.”
“Jul, gimana kalo Julio gak diculik?”
“Terus Julio ke mana kalo gak diculik, Ma? Udah tiga hari ini dia gak balik ke kosan.”
“Banyak alasan dia gak pulang ke tempat kos, Jul. Pulang kampung, nginep di rumah temennya, lagi kerja di luar kota, lagi liburan, dan banyak alasan lain. Kayaknya kamu yang terlalu parno sama Pak Jonathan, jadi semuanya dihubung-hubungin ke Pak Jonathan.”
“Ma, tapi kata anak-anak di sini, Om Jonathan tuh suka nanya-nanyain soal Julio. Apaan coba maksudnya dia nanya-nanya?”
“Mau berteman, mungkin?”
“Masa iya, Ma. Om Jonathan tuh udah setua itu. Beda circle sama Julio yang masih muda.”
“Ya … mungkin penasaran aja, pengen lebih deket. Sama-sama tinggal di sini, ya wajar kan kalo misalnya mau kenal lebih dekat.”
Benar juga sebenarnya. Tapi, Julie terlanjur berpikiran buruk.
“Ma, kalo beneran diculik gimana? Terus Julie gak ngelakuin apa-apa buat nolongin Julio? Padahal ini masalah antara Om Jonathan sama Julie.”
“Sekarang Mama tanya deh, kamu maunya gimana? Mau lapor polisi, mau bilang anak kos kamu diculik sama Pak Jonathan? Anggaplah polisinya percaya dan melakukan penyelidikan. Bagaimana kalau ternyata Julio justru ditemukan sedang bersenang-senang bersama teman-temannya? Tidak dalam keadaan diculik.”
“Ya, baguslah kalo Julio gak diculik.”
“Bagus apanya? Kita bakalan dituntut karena sudah menuduh Pak Jonathan. Kamu mau bikin masalah lagi sama Pak Jonathan? Yang sebelum-sebelumnya aja masih belum kelar masalah kamu. Gak usah berpikiran aneh-aneh, sana tidur!” Bu Margaretha menunjuk tempat tidur, menyuruh putri bungsunya itu segera tidur.
“Gak bisa, Ma. Julie mana bisa tidur tanpa ada kepastian Julio diculik atau gak. Julie harus ngelakuin sesuatu.”
“Mau ngapain?” Bu Margaretha menangkap lengan Julie. Gadis itu sepertinya akan keluar dari kamarnya. “Mau ke mana?” tanya Bu Margaretha dengan tegas. “Jangan ngelakuin hal aneh, Jul. Ini udah malem, loh.”
“Julie bakalan ngecek kamarnya Julio. Julie harus mencari petunjuk, Ma.”
Jiwa detektif gadis itu menggelora. Ia bak dihadapkan pada sebuah misteri, walau tanpa ada petunjuk apa pun. Ia harus tetap mencari. Entah apa pun itu, kalau ia tekun mencari pasti akan ada petunjuk tentang keberadaan Julio.
“Mau ngapain di kamarnya Julio? Meskipun kamu pemilik gedungnya, tapi sejak Julio membayar sewa, kamu gak bisa masuk seenaknya ke sana. Tempat itu sudah menjadi privasi dari penyewa kos kamu.”
“Ini tuh masalah genting, Ma. Ini tuh tentang keselamatan salah satu penghuni kos Julie.”
Gadis itu membuka laci penyimpanan kunci cadangan dari semua kamar kosnya. Ia mengubek-ubek ke dalam box penyimpanan sebelum akhirnya ia tarik kunci dengan gantungan bundar bertuliskan angka 21.
“Jul, gak sopan masuk kamar laki-laki. Apalagi kalian gak punya hubungan apa-apa.”
Julie terpaku saat mendengar kalimat mamanya. ‘Gak punya hubungan apa-apa’, kok kedengarannya sangat menyedihkan karena Julie berharap akan ada hubungan antara ia dan Julio.
Untuk sesaat Julie masih terdiam, namun setelah berpikir untuk beberap detik, ia tetap memutuskan untuk membuka pintu kamarnya dan bergegas turun. Tak peduli jika Bu Margaretha berteriak memanggil namanya.
“Jul, jangan aneh-aneh, deh. Jul … Julie!”
Percuma saja, gadis itu sudah menyeberang ke gedung kos-kosan. Sudah terburu-buru naik tangga hingga ke lantai tiga. Mengabaikan penghuni-penghuni kos lainnya yang menyapanya. Ia hanya fokus pada tujuannya, ke kamar Julio.
Gadis itu menarik napas panjang setelah ia berdiri di depan kamar Julio. Penghuni kos lain yang tinggal di lantai yang sama terlihat melihat ke arah Julie.
“Julio gak ada, Ibunda Ratu.” Seorang penghuni kos memberi info. “Beberapa hari ini dia gak muncul, palingan lagi seneng-seneng sama tante-tantenya.”
Julie berbalik ke sumber suara. Cowok penghuni kamar 26 itu pun menghampiri Julie.
“Julio belum bayar sewa?” tanya cowok berambut gondrong itu, rambutnya ia ikat ke belakang. “Tunggu aja, kalo tante-tantenya udah ngasih uang buat Julio, pasti langsung dilunasin.”
“Tante-tante?” ulang Julie.
“Iya.” Cowok itu tertawa, atau lebih tepatnya menertawakan. “Julio kan simpenannya tante-tante sexy yang berduit. Dia sering dijemput dan diantar tante-tante. Mobilnya beda-beda dan selalu mobil mewah. Kalo lagi gak pulang ke kosan, pasti dia lagi kerja. Yaa … lagi memuaskan tante-tantenya. Julio lagi bekerja keras,” ujarnya sambil tertawa.
Tante-tante?
Memuaskan?
Bekerja keras?
Simpanan tante-tante?
Julie menelan ludahnya. Inikah pekerjaan Julio? Inikah yang pria itu maksud lagi nyoba-nyoba kerja? Dengan bekerja sebagai pria pemuas wanita-wanita kaya.
Jadi, saat Julie mengajak pria itu berpacaran, lantas ajakannya diabaikan adalah karena hal ini? Karena Julio hanya menyukai wanita-wanita kaya yang bisa memberinya uang.
Ah, bukankah Julio langsung pergi malam itu? Saat ia dapat telepon setelah Julie mengajaknya berpacaran. Julio pergi begitu saja.
Mungkinkah tante-tantenya yang menelepon malam itu? Meminta Julio untuk datang pada mereka, untuk memuaskan mereka.
Julie kok merasa sedih? Merasa kecewa. Sialnya, sangat. Sedih dan kecewanya amat banyak.
Gadis itu berbalik memunggungi pintu kamar Julio. Ia tak jadi masuk, kunci kamar pria itu ia genggam erat-erat. Gigi-giginya pun menggertak agar ia tak meledak dalam tangisan. Sumpah, kenapa sakit sekali rasanya? Padahal ia bukan siapa-siapanya Julio.
“Jul? Julie?” panggil Bu Margaretha saat anak gadisnya kembali naik dan langsung masuk kamar. “Kamu gak jadi ngecek kamar Julio?”
Bu Margaretha melihat dari balkon kamar Julie, gadis itu hanya berdiri di depan kamar Julio. Ia tak masuk dan malah kembali dalam keadaan tertunduk dan mata yang memerah. Seolah akan menangis.
“Jul?”
“Julie mau tidur, Ma.”
Sadar jika sesuatu pasti telah membuat Julie bersedih, Bu Margaretha tak bertanya lebih lanjut. Ia menyelimuti gadis itu, mengelus rambutnya, dan menghadiahkan sebuah kecupan di puncak kepalanya.
“Tidur yang nyenyak, Jul.”