Mereka masuk ke dalam lift bersama beberapa karyawan rumah sakit dan keluarga pasien. Jonathan tetap mengawasi Julie dengan memastikan gadis itu tetap dekat dengannya. Naik ke lantai pertama, pintu lift terbuka, tiga orang masuk. Membuat orang-orang yang berada di depan harus bergerak mundur agar terdapat ruang untuk yang lain.
Julie menggunakan kesempatan itu untuk mengambil jarak lebih jauh dari Jonathan. Ia bergeser hingga mentok di sisi sebelah kanan sementara Jonathan ada di ujung sebelah kiri. Mata pria itu langsung mengode agar Julie mendekat, sayangnya Julie tetap bertahan di posisinya.
“Kemarilah,” panggil Jonathan.
Tangan pria itu terulur untuk menarik Julie. Sayangnya, dengan banyak orang di tempat yang sama tak berhasil membuat Jonathan menjangkau Julie. Bahkan ia dipelototi oleh wanita yang berdiri di sampingnya, mengira jika Jonathan sedang mencoba menyentuhnya.
“Bapak ini sedang melakukan apa sih?” ketus wanita itu. “Dalam keadaan banyak orang saja Bapak ini memegang-megang orang sembarangan. Apalagi kalau lagi sepi. Cih, dasar b******n!”
“Bener, Bu. Om itu dari tadi narik-narik saya.” Julie langsung menyudutkan Jonathan. Ia mencoba mencari pertolongan. “Saya jadi takut.”
Mendengar ucapan Julie, beberapa pria di dalam lift langsung melayangkan tatapan penuh intimidasi pada Jonathan. Sial, ini bukan hari keberuntungannya.
“Tolongin saya, Pak, Bu.” Julie memohon dengan amat memelas. Ia tunjukkan raut wajah yang teramat sedih. Memohon agar orang-orang bersimpati padanya dan membantunya lepas dari Jonathan. “Saya takut banget sama Om itu.”
“Dasar b******n! Kepada gadis lemah seperti itu kau berbuat sesuka hati.”
“Eh, tidak. Saya tidak melakukan apa-apa kepadanya. Dia … dia itu ….”
“Tidak melakukan apa-apa bagaimana? Bukannya tangan Bapak tadi mau menarik gadis itu?”
“Adek ini tujuannya ke mana? Biar kami anterin, biar gak diganggu sama Bapak itu.” Seseorang menawari Julie.
“Tolong antar saya ke lantai 4, Pak.” Julie menyebutkan lantai di mana ruangan Sophie berada. Ia berharap kakaknya itu sudah ada di rumah sakit sehingga bisa membantunya.
Pintu lift terbuka saat mereka tiba di lantai 4. Seorang pria dan wanita—sepertinya pasangan suami istri—mengantar Julie ke tujuannya. Sementara Jonathan juga diseret keluar oleh beberapa pria yang kemudian dibawa turun ke lobby untuk diserahkan kepada petugas keamanan.
Julie diantar hingga ke depan ruangan Sophie yang bekerja di divisi HRD rumah sakit.
“Julie?” Sophie yang kebetulan baru tiba di rumah sakit mendapati adiknya masih berpiyama dan dalam keadaan acak-acakan. “Kok di sini?”
“Diculik Om Jonathan sialan itu,” adu Julie. “Julie ditolongin sama Bapak dan Ibu ini untuk dianterin ke sini. Soalnya dari tadi Om Jonathan narik-narik Julie di lift.”
“Iya, Mbak. Kami mengantar Dek Julie ke sini soalnya tadi ada Bapak-Bapak m***m yang terus menarik-nariknya di lift. Kata Dek Julie, ada kakaknya yang bekerja di sini. Makanya kami mengantar ke sini.”
“Terima kasih, Pak, Bu,” ujar Sophie dengan sopan. Kepalanya ia tundukkan sebagai bentuk penghargaan dan rasa terima kasih. “Sekali lagi terima kasih sudah membantu adik saya, Pak, Bu.”
“Iya, Mbak. Sama-sama. Kalau gitu kami permisi.”
“Iya, Pak, Bu, sekali lagi terima kasih.”
“Terima kasih Pak, Bu, udah bantuin Julie,” ujar Julie sambil tersenyum pada pasangan suami istri yang sudah mengantarnya.
“Apa yang terjadi?” selidik Sophie dengan mata terfokus pada tampilan Julie.
“Julie dibawa paksa dari kos-kosan, mau dibawa periksa kesuburan. Katanya apa Julie bisa melahirkan anak buat dia atau gak. Gila, ‘kan? Julie bahkan baru bangun, gak dikasih waktu ganti baju, cuci muka, bahkan Julie diseret ke sana ke mari tanpa alas kaki,” keluhnya.
“Kenapa gak nolak?”
“Julie nolak, sejak di kosan. Tapi, Julie langsung diangkut kayak karung beras dan dimasukin ke dalam mobil.”
“Kenapa gak minta tolong sama anak-anak kosanmu.”
“Julie minta tolong, tapi gak ada yang nolongin. Soalnya Om Jonathan sialan itu udah nyebarin desas-desus kalo Julie ini calon istrinya. Makanya gak ada yang nolongin Julie. Semuanya malah ciyee-ciyeein Julie waktu dibopong kayak karung beras dan dimasukin paksa ke dalam mobil.”
“SIALAN!” Sophie mengepalkan tangan dengan emosi. “Di mana berengesek itu?”
“Mungkin masih di lobby, tadi sama bapak-bapak di lift katanya mau dibawa ke petugas keamanan.”
“Tunggu di sini sebentar.”
Sophie kemudian menghilang dari pandangan Julie karena masuk ke dalam ruangannya. Kurang dari dua menit berikutnya, ia kembali ke hadapan Julie dengan membawa sandal serta jaket untuk Julie. Tapi, ia tak memberikannya kepada Julie. Ia justru memasukkan sandal dan jaket itu ke dalam paper bag.
Wanita berusia 28 tahun itu pun menarik Julie agar mengikutinya. Membiarkan Julie tetap dalam keadaan nyeker ke mana-mana. Ia bawa Julie ke lift, diterka Julie bahwa ia akan dibawa pulang.
Walau bisa dibilang sering bertengkar dengan Julie, maklum namanya bersaudara. Tapi, ketika mengetahui jika adiknya mau disuruh periksa kesuburan dan dibawa paksa ke rumah sakit membuat Sophie tak terima.
“Dasar bodoh, kenapa kau harus terlibat dengan orang seperti itu,” omel Sophie. Walaupun mengomel, tangannya tetap bergerak menyisir rambut Julie dengan jari-jarinya. Sedikit merapikan tampilan Julie yang terlalu berantakan. Wajar saja, gadis itu dibawa paksa saat ia baru bangun.
Pintu lift terbuka, membawa mereka ke lobby. Sophie menarik Julie agar mengikutinya. Wanita itu menghampiri salah seorang petugas keamanan yang berjaga.
“Pak, saya dengar ada seseorang pria tua yang melecehkan seorang gadis di lift.”
“Benar, Bu Sophie,” jawab petugas keamanan berseragam itu. “Tim kami membawanya ke ruang keamanan.”
“Oke, terima kasih.”
Sophie berlalu dari hadapan pria itu, ia tetap menarik Julie agar tak jauh darinya. Wanita itu melangkah dengan cepat, membuat Julie merasa terseret-seret oleh kakaknya. Tapi, masih tak melayangkan protes apa pun hingga Sophie mengetuk pintu ruang keamanan dan muncullah Jonathan di dalam sana. Tengah duduk berhadapan dengan kepala petugas keamanan.
“Oh, itu pria yang melecehkanmu?” tunjuk Sophie pada Jonathan. Mata wanita itu tajam, seolah tengah merajang seluruh tubuh Jonathan. Ia tatap pria itu mulai dari kepala hingga ke kakinya sebelum terdengar decihannya. “Cih!”
“Saya tidak melecehkannya.” Jonathan membela diri.
“Tidak melecehkan?” ulang Sophie, lantas ia tertawa setelahnya. Ia membawa Julie masuk ke dalam ruangan itu dan petugas keamanan segera menutup pintu ruangan tersebut. “Lantas apa namanya saat Anda membawanya secara paksa dari tempat kos ke rumah sakit? Membawanya bahkan tanpa alas kaki.” Sophie menunjuk kaki Julie. “Membawanya bahkan dengan pakaian tidur seperti ini. Apalagi dengan tujuan untuk melakukan tes kesuburan.” Sophie terbahak. “Tes kesuburan dilakukan atas dasar kesediaan pihak yang mau dites, bukannya menarik paksanya ke rumah sakit seperti binatang. Dasar pria b******n tak tahu diri.”
Jonathan bangkit berdiri. “Ini tidak seperti yang Anda tuduhkan. Kami sudah sepakat. Iya, ‘kan?”
“Sepakat apanya?” Julie langsung menyela. “Sejak kapan Julie sepakat buat dites kesuburan? Julie bahkan tidak punya keinginan untuk melahirkan anak Om.”
“Dengar sendiri? Dan sebenarnya, apa Anda tahu bagaimana prosedur tes kesuburan dilakukan? Akan ada alat yang dimasukkan ke dalam organ kewanitaan orang yang dites. Apa menurut Bapak Jonathan yang terhormat hal itu manusiawi untuk dilakukan kepada adik saya yang masih gadis? Hanya untuk membuktikan bahwa dia subur dan mampu mengandung.”
Kata-kata Sophie menusuk, sama dengan telunjuknya yang tak berhenti menodong Jonathan hingga pria itu bergerak mundur karena merasa terintimidasi.
“Dibandingkan adik saya, kenapa bukan Anda yang memeriksakan kesuburan Anda? Di usia Anda yang sekian, apa kira-kira masih subur? Masih mampu menghasilkan anak? Bukan cuma itu, Anda puluhan tahun telah berkeluarga sebelum istri pertama Anda meninggal, kenapa dalam sekian puluh tahun Anda tidak memiliki anak? Tidakkah Anda pernah mempertanyakan, jangan-jangan Anda yang tidak subur?”
Jonathan menelan air lirnya dengan susah payah. Dua gadis dari keluarga Hermawan benar-benar sudah mempermalukannya. Julie pernah menginjak-injak harga dirinya dengan mengatakan bahwa ia hanya seorang pria tua yang tak lagi pantas bersanding dengan seorang gadis muda. Hingga gadis itu mengatakan bahwa ia lebih rela menikah dengan cowok miskin selama masih muda.
Dan hari ini, kata-kata Sophie benar-benar menghancurkan harga dirinya. Di depan para petugas keamanan yang notabenenya hanya pegawai biasa, ia dikatai perlu mempertanyakan kesuburannya. Harga dirinya sebagai seorang pria benar-benar diremukkan. Ia bersumpah, ia akan membuat dua gadis itu membayar penghinaan ini.
“Maaf, Bu Sophie ….” Kepala petugas keamanan menyela. “Untuk masalah ini, apa mau dibawa ke kantor polisi atau bagaimana?”
“Tidak akan ada gunanya ke kantor polisi. Orang seperti dia …,” tunjuknya pada Jonathan. “… pasti akan menggunakan uangnya untuk bebas dari jeratan hukum.”
“Berarti kami anggap jika Bu Sophie berdamai dengan Pak Jonathan.”
“Kata siapa kami bersedia berdamai dengannya?” sanggah Sophie dengan cepat. “Dia harus membuat surat perjanjian kalau tidak akan mengganggu Julie lagi. Kalau masih tetap melakukannya, kami tidak akan ke kantor polisi. Tapi, akan mengungkap hal ini ke media. Setidaknya kasus seperti ini pasti akan merusak reputasi Bapak Jonathan yang terhormat.”
“Pak Jonathan dengar sendiri, bukan?” tanya petugas keamanan pada Jonathan.
“Iya, saya akan menandatangani surat perjanjiannya.”
Julie sedikit bernapas lega saat ia membawa pulang surat perjanjian yang telah ditandatangani oleh Jonathan.
“Tinggallah dulu di rumah, jangan balik ke tempat kosmu dulu. Kakak bakalan nganterin kamu pulang. Jangan sampai orang gila itu masih terobsesi padamu.”
“Oke.” Julie menurut, ia ikuti Sophie yang berjalan menuju lift. “Oh ya, itu sandal yang dibawa gak ada niatan mau dikasih ke aku? Dari tadi aku jalan nyeker. Dingin tau. Mana diliatin orang.”
Sophie melihat paper bag yang ia bawa. Sampai kelupaan.
“Pakailah.” Sophie memberikan paper bag itu pada Julie. Langsung saja Julie mengeluarkan isinya, memakai sandal dan jaket.
“Berarti Julie gak bakalan dinikahin sama orang itu lagi, ‘kan?” tanya Julie, mencoba memastikan bahwa ia sudah benar-benar aman dari kejaran Jonathan.
“Semoga,” balas Sophie. Ia tak bisa menjawab dengan pasti. Tapi, sepertinya pria itu bukanlah tipe pria yang bisa menyerah begitu saja. Anggaplah Julie beruntung hari ini, dan untuk besok-besok, ah … Sophie enggan memikirkan sesuatu yang buruk. “Yang pasti jangan ke mana-mana sendirian, apalagi kalau malam-malam.”
“Oke.”
Jonathan menyerah hari ini. Menyerah di depan petugas keamanan, tanpa melibatkan pengacara atau pun orang-orang kepercayaannya. Bahkan tanpa melibatkan uang yang ia miliki. Ia biarkan dua gadis dari keluarga Hermawan itu merasa menang setelah mempermalukannya di depan umum.
Pria itu, sambil menyeringai, ia suruh sopirnya mengikuti mobil yang dikemudikan Sophie.
“Mari kita liat, siapa yang akan tetap tertawa di akhir. Mari kita liat siapa yang akan tetap menunjukkan keangukannya di akhir. Satu hal, kupastikan kalian akan membayar mahal hal ini. Kalian … berdua, kalau perlu seluruh keluargamu.”