LINE
LINE
LINE
Suara notif pesan masuk dari sebuah ponsel dengan logo apel separuh terus berbunyi tanpa henti. Devan baru keluar dari kamar mandi saat itu. Sebuah handuk berwarna putih menggantung di pinggulnya dan satu lagi di lehernya.
Devan berjalan ke almari sembari mengusap rambutnya yang basah dan acak-acakan dengan handuk yang berada di leher. Mengambil salah satu kaos berwarna putih dari dalam almari, dalam hitungan detik kaus itu telah melekat di tubuh Devan.
LINE
LINE
LINE
Suara notif pesan masuk itu semakin terdengar sering dan intens. Devan masih mengabaikannya. Hal seperti itu memang sudah biasa bagi Devan. Setiap malam handphone nya akan selalu ramai oleh pesan masuk. Dan tanpa ia lihat dari siapa pesan itu, Devan tau jika pesan-pesan masuk tersebut adalah dari para penggemarnya.
Jadi beginilah nasib orang tampan. Tanpa perlu repot-repot mencari, akan banyak cewek-cewek yang berdatangan. Saking banyaknya yang menawarkan diri sampai-sampai bisa memilih tipe seperti apa yang diinginkan. Mau gendut tapi friendly, tinggi kurus semampai, mau yang memiliki tubuh yang bagus, manja-manaja minta ditabok, atau jenis-jenis cewek berpipi tembam dengan mata bulat seperti kucing semua ada. Mereka semua seolah berlomba untuk menarik perhatian Devan melalui sebuah chat.
Devan sama sekali tidak terganggu dengan hal tersebut karena baginya, hal itu cukup menyenangkan. Setidaknya bunyi pesan-pesan masuk tersebut bisa membuat perasaan Devan lebih baik. Maklum saja, di rumah besar yang memiliki tiga lantai tersebut, ia hanya menempatinya seorang diri dan seringkali membuat ia merasa sepi. Maka dari itu, Devan tidak pernah sekalipun mengatur handphone nya dalam mode senyap.
Devan segera memakai celana selutut. Setelah itu, ia melemparkan handuk setengah basah yang telah ia pakai tadi ke dalam keranjang berwarna hijau di sudut kamar.
Berjalan menuju nakas untuk mengambil ponsel yang terus berbunyi, Devan membuka salah satu aplikasi chat berwarna hijau di sana.
Cowok itu men-scroll ponselnya ke bawah perlahan-lahan, melihat pesan masuk yang dipenuhi nama-nama perempuan. Tragisnya, sebagian besar sama sekali tidak ia kenal dan sebagian lagi adalah nama-nama para mantan yang ia tidak ingat wajah mereka seperti apa dan bagaimana mereka bertemu atau menjalin hubungan.
Desi, Alya, Teri, Putri, Icha, Acha, Ocha, Cacha, Mila, Anggi, Dewi, Krystal, Luna, Maya, Syahnas, Agnes, Monica, Nabila, Raisa, Jesika, Ayu, Nagita, Slavina, Wenda, Yuna, Yuri, IU ...
Devan terus men-scroll ponselnya tanpa berniat sama sekali melihat isi-isi pesan tersebut, Hingga akhirnya, ada sebuah nama yang menarik perhatian Devan.
Sisca Nia Ramadhani
Devan mangangkat sebelah alis, lalu membuka chat tersebut.
Sisca Nia Ramadhani : Malem, Devan.
Dengan gerakan cepat, Devan pun mengetikkan sebuah pesan balasan dari Sisca yang sudah tiga puluh menit terkirim di ponselnya itu.
Devan : Malem juga.
Tak menunggu waktu lama, pesan dari Devan sudah dibalas.
Sisca Nia Ramadhani : lagi apa?
Devan : nggak ngapa-ngapain. Btw, lo Sisca ketua cheers itu kan?
Sisca Nia Ramadhani : iya >_kok lo tau?
Devan : tau dong. Lo kan cewek paling cantik di sekolah
Sisca Nia Ramadhani : jadi malu >,
Devan tersenyum miring membaca balasan chat dari Sisca. Semua cewek sama saja baginya. Gampangan. Dan berhubung Devan baru putus dari Rani kemarin, tidak ada salahnya bukan jika mengajak Sisca ke party tim basket malam ini? Dari pada ia datang sendirian? Hell! Tidak ada dalam kamus seorang Devan, dia jomblo lebih dari tiga hari.
Devan : jalan yuk?
Sisca Nia Ramadhani : lo ngajak gue jalan? Serius?
Devan : nggak mau yaudah.
Sisca Nia Ramadhani : ih mau kok! Sekarang?
Devan : iya, cantik :)
Devan : alamat rumahmu mana?
Sisca Nia Ramadhani : Jalan Jatuh Bangun blok C nomer 10.
Devan : OTW.
Devan melempar ponselnya ke atas kasur. Ia kembali berjalan menuju almari untuk mengambil sebuah jaket dan celana jeans panjang hitam. Tak butuh waktu lama untuk memakai kedua benda itu.
Setelah merapikan rambut dan menyemprotkan parfum ke tubuh, Devan meraih kunci mobil dan juga ponselnya di kasur. Hampir saja Devan berbalik menuju pintu keluar saat ia teringat sesuatu.
Devan berjalan menuju meja belajar yang terletak di sudut kamar. Tidak ada buku apapun di sana kecuali hanya sebuah lampu belajar, sebuah karikatur mobil kayu dan globe (bola dunia berbentuk bola kecil) dan sebuah laptop merah beserta headphone putih di atasnya. Devan membuka laci meja belajar dan tersenyum tipis saat matanya menangkap benda itu. Sebuah tali hitam berbandul sayap.
Sudah lama sejak ia menyimpan kalung tersebut. Terakhir ia pakai adalah saat ia lulus SMP. Hampir saja Devan kehilangan satu-satunya benda yang paling berharga baginya. Saat itu, benda tersebut masih berbentuk kalung dengan rantai emas putih. Namun karena perkelahiannya dengan Mario, rantai kalung tersebut putus.
Devan ingat betapa kalapnya ia saat kalung tersebut putus karena tidak sengaja tertarik dari lehernya oleh Mario. Hampir saja Devan membunuh Mario dengan menceburkannya ke kolam renang mengingat Mario tidak bisa berenang.
Setelah kejadian itu, Devan pun mengganti rantainya dengan sebuah tali berwarna hitam. Dengan wajah yang sudah babak belur akibat perkelahiannya dengan Mario, Devan juga mengingat betapa sedihnya ia melihat kalung tersebut tidak utuh lagi. Ia duduk sendirian di kamarnya sembari menangis. Tetapi tidak ada seorang pun yang datang hanya demi untuk sekedar memberikan ketenangan padanya.
Bahkan Dewa, sang ayah...
Devan menggelengkan kepala, berusaha mengusir masa lalu sedihnya itu. Kalung tersebut adalah satu-satunya peninggalan Mama yang Devan miliki. Satu-satunya milik Mama yang bisa ia simpan dan sembunyikan dari Dewa, Papanya. Karena satu tahun setelah kepergian Mama, Dewa menjual seluruh barang milik Mama tanpa satupun yang tersisa. Devan sudah memohon-mohon pada Dewa untuk tidak menjualnya tetapi Dewa tetap keras kepala, sama sekali tidak menghiraukan tangisan permohonan Devan saat itu.
Devan menghela napas. Mengelus bandul berbentuk sayap itu dengan sayang.
"Aku rindu Mama," ucapnya lirih.
Devan menutup kembali laci meja belajar dan berjalan ke depan kaca. Setelah hampir satu tahun hanya menyimpannya karena takut akan kehilangan benda tersebut, hari ini Devan memakainya lagi. Ada rasa senang tersendiri melihat kalung tersebut berada di lehernya, seolah Mama ada kembali menemaninya.
Fokus menatap bandul sayap melalui pantulan kaca, Devan tersenyum tipis. Lalu segera keluar kamar.
***
Devan menuruni tangga rumah dengan setengah berlari. Ketika telah sampai di lantai satu, Bi Yana, pembantu rumah tangga di rumah Devan, menyapa ramah.
"Den Devan mau makan sekarang? Tuan juga sudah pulang. Baru saja."
Wanita yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun dengan rambut yang sudah banyak beruban dan disanggul ke belakang tersebut tersenyum pada Devan. Matanya masih memancarkan kehangatan yang sama seperti saat Devan masih kecil dan Mama masih hidup. Dulu, selain Devan, Bi Yana juga adalah salah satu orang yang perasaannya juga hancur. Suaminya, Rudi, meninggal bersama Nyonya pemilik rumah dalam kecelakaan lalu lintas setelah menjemput Devan dari sekolah. Hanya Devanlah yang saat itu selamat setelah mengalami koma selama satu minggu.
Devan tidak pernah melihat Bi Yana berubah. Bi Yana tetaplah Bi Yana baik saat Pak Rudi masih hidup ataupun sudah meninggal. Ia mengurus Devan dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Devan kecil yang saat itu mulai berubah menjadi pemberontak sampai saat ini, Bi Yana tetap ada di rumah tersebut.
Ia pernah bertanya pada Bi Yana saat keesokan pagi setelah semalaman menangis karena kalung Mama, Bi Yana datang ke kamar dan mengomeli Devan tiada henti karena mukanya babak belur. Wanita itu mengobati Devan hati-hati.
"Bi Yana kenapa masih betah bekerja di sini?" tanya Devan saat itu.
Bi Yana menghentikan kegiatannya yang sedang mengolesi pipi Devan dengan sebuah krim. Wanita itu menurunkan tangan dan menatap Devan dalam.
"Bukankah jika Bibi tetap bekerja di sini, Bibi akan terus mengingat kejadian buruk di masa lalu?" tanya Devan lagi.
Alih-alih langsung menjawab, wanita yang kulit di sekitar matanya sudah mulai keriput akibat usia tersebut menjulurkan tangan kanannya, mengelus rambut Devan lembut. Mata Bi Yana memancarkan kesedihan yang dalam, namun tak satupun kata keluar dari bibir Bi Yana.
"Kalau Devan... berapa kalipun Devan berusaha melupakan Mama, Devan tetap nggak bisa. Rasanya tetap masih sakit di sini." Devan menyentuh dadanya sendiri, mengungkapkan apa yang ia rasakan pada Bi Yana. Berharap dengan begitu ia bisa sedikit saja mengurangi rasa sesaknya.
"Karena kamu." Jawaban Bi Yana menarik perhatian Devan. Mereka berdua bertatapan lama. Dua orang yang sama-sama pernah kehilangan orang yang paling mereka cintai di hari yang sama.
"Kamulah satu-satunya alasan kenapa Bibi masih bertahan. Karena Den Devan sudah seperti anak Bibi sendiri. Bibi sayang sama Den Devan, sama seperti suami Bibi sayang sama Den Devan dan Papa Den Devan. Sama seperti BIbi yang juga menyayangi Nyonya dan Tuan. Bagi Bibi dan suami Bibi, kalian bukanlah sekedar majikan kami, tapi juga keluarga yang saling menjaga satu sama lain."
"Den, Bibi tau semuanya berat bagi Den Devan... Tapi waktu akan terus berlalu. Sedikit demi sedikit pasti luka itu akan sembuh. Hanya jangan saling menutup diri dan cobalah untuk mengikhlaskan. Lagipula kematian itu akan datang pada setiap orang cepat atau lambat, dan Bibi percaya Tuhan memanggil suami Bibi terlebih dahulu sebab Tuhan menyayangi Beliau lebih dari Bibi. Makanya Tuhan ingin Pak Rudi ada di samping-Nya saat ini," lanjut Bi Yana.
"Tapi Devan lebih sayang Mama dari pada Tuhan."
'Tapi Devan lebih sayang Mama dari pada Tuhan,' kalimat tersebut terngiang kembali di pikiran Devan yang melayang pada masa lalu. Dan ia tidak yakin jika lukanya bisa sembuh hanya dengan cara mengikhlaskan seperti kata Bi Yana. Bertahun-tahun lamanya Devan mencoba melakukannya, hasilnya tetap sama. Rasa sakit akibat kehilangan itu masih ada, yang berarti apapun ucapan Bi Yana saat itu hanyalah omong kosong orang dewasa.
"Mau Bibi siapkan makan malam sekarang?" tanya Bi Yana lagi, memecah pikiran Devan.
Tepat saat itu pula, ekor mata Devan menangkap sosok seorang pria dengan pakaian jas yang masih lengkap tengah menutup sebuah pintu ruang kerja. Devan mendesah pelan, sedikit kesal karena ingat akan hari-hari di mana Dewa selalu menganggapnya tidak pernah ada.
'Kerja, kerja, kerjaaa terus,' batin Devan.
"Nggak usah, Bi. Devan makan di luar. Ada janji ketemu sama teman-teman," jawab Devan kemudian.
Setelah berkata seperti itu, Devan langsung melenggang pergi keluar rumah. Mengabaikan panggilan Bi Yana yang entah mau mengomel apa.
Setelah mencapai mobilnya, Devan segera masuk dan menyalakan mesinnya. Tak lama kemudian mobil merah tersebut telah melesat ke jalan raya.
Devan menghela napas, mengingat-ingat kembali alasan mengapa ia tidak menyukai rumah. Terlebih lagi saat Dewa pulang ke sana.
Dewa jarang pulang. Hanya sekali atau dua kali dalam satu minggu. Yang Devan tau, Dewa adalah seorang pria yang gila kerja dan tidak pernah mempedulikannya. Bahkan jika pria itu pulang, menyapa Devan saja tidak pernah. Dewa selalu memilih untuk langsung masuk ke dalam ruang kerja tanpa mau repot-repot menyediakan waktu barang lima menit hanya untuk sekedar berkata hai dan bertnaya kabar pada Devan.
Kadang Devan bertanya-tanya, apakah Papa memang lupa jika ia masih memiliki seorang putra? Apakah Papa bahkan sudah tau jika sekarang ia sudah kelas dua SMA mengingat terakhir kali mereka berbincang dan bertegur sapa adalah saat Devan berusia lima tahun. Devan ingat Papa mulai berhenti bicara dan menolak untuk melihat wajahnya setelah kejadian di mana Devan merengek pada Papa untuk tidak menjual barang-barang Mama.
Benar, jika diingat-ingat, itulah terakhir kali mereka berbicara. Setelah itu, meskipun sekeras apapun Devan berusaha berbicara dan mendekati Dewa, pria itu selalu menolak. Ia mementingkan rapat-rapat perusahaan dan pekerjaannya daripada menemani Devan bermain. Ia memilih untuk bermain golf bersama rekan-rekan bisnisnya daripada mengajak Devan wisata saat libur sekolah tiba.
Padahal Devan sudah menulis banyak sekali surat untuk Papa dan meletakkannya di meja nakas kamar Papa. Karena ia tau Papa sering pulang larut malam saat Devan sudah tertidur pulas. Karena tidak mungkin bisa menyampaikan secara langsung maka Devan selalu menulis surat tersebut dan berharap keesokan paginya Dewa mau menyapanya.
Tetapi Dewa tidak pernah berubah. Ia tetap dingin dan menganggap Devan tidak ada. Setiap pagi yang dinanti oleh Devan setelah ia menulis surat untuk Dewa setiap malam sama sekali tidak seperti yang Devan inginkan. Surat-surat tersebut sama sekali tidak menyentuh perasaan Papa. Membuat Devan menyerah dan berhenti menulis surat.
Mungkin Dewa benar-benar sudah lupa jika ia memiliki anak. Mungkin Devan akan selamanya tidak peduli pada kehidupannya. Bahkan jika tiba-tiba ia menghilang, Devan yakin jika Dewa tidak akan repot-repot mencari dan bahkan justru malah lega karena tidak perlu membiayai hidup anak tidak berguna sepertinya. Maklum saja, Devan sama sekali tidak segan untuk membuang-buang uangnya.
"Menyedihkan," lirih Devan. Tak bisa dipungkiri, jauh di dalam hatinya ia merasa sangat sedih. Salahkah jika ia mengharapkan sedikit saja perhatian dari Dewa? Ia bahkan merasa sudah menjadi orang asing dan tidak mengenal Dewa sama sekali.
Menghela napas panjang, Devan menginjak pedal gas mesinnya semakin dalam, membuat mobilnya melaju lebih cepat dan membalap beberapa kendaraan dengan lincah. Ia harus segera menemui Siska atau siapapun itu. Mungkin dengan adanya cewek itu dan pesta nanti, ia bisa bersenang-senang dan membuat moodnya lebih baik.