Prolog

959 Words
Orang-orang di berbagai belahan dunia menyebutnya shaman. Orang-orang Indonesia di perkotaan yang sudah modern lebih sering menyebutnya sebagai ‘orang pintar’ atau agar lebih terdengar keren mereka biasa disebut dengan paranormal. Dan orang Jawa lebih mengenalnya sebagai dukun. Tapi bagi seorang bocah berusia lima tahun di depannya, pria tua yang mempunyai janggut putih panjang hingga hampir mencapai d**a itu adalah orang gila. Pria itu mungkin sudah berusia lebih dari 50 tahun. Ia memakai pakaian adat Jawa lengkap dengan blangkon, surjan dan jarik dan sedang duduk bersila di depan sebuah kendi yang berisi sesaji dan dupa. Matanya terpejam, sedangkan tubuhnya duduk dengan kaku dan tegak seolah sedang bersemedi mencari wangsit. Devan berdecih. Seragam warna biru putih pertanda jika ia masih merupakan siswa taman kanak-kanak masih melekat di tubuhnya. Tas merah bergambar robot yang kedua talinya putus akibat perkelahiannya dengan Mario pulang sekolah tadi ia jinjing. Sedangkan sepatu yang tadi pagi berwarna putih bersih kini sudah berubah warna sama sekali. Mama pasti akan mengomel saat menjemput nanti. Baru saja Devan akan beranjak dari sana —yang ngomomg-ngomong, tempat dukun itu bersemedi sangatlah tidak wajar, yaitu di sebuah trotoar pinggir jalan raya dekat dengan sekolah Devan— dukun itu mulai membuka suara, membuat Devan menoleh dan menatapnya. “Kamu percaya dengan hal-hal mengenai sihir?” Pria itu menatap tepat pada mata Devan. Devan hanya berkedip datar, sebenarnya sama sekali tidak tertarik. Namun, secuil rasa penasaran dalam hati dengan apa yang ingin pria tua gila itu katakan selanjutnya membuat ia bertahan. “Maksudnya sihir seperti Ibu peri yang tiba-tiba mengubah Cinderella jadi cantik?” entah kenapa mulut Devan jadi menyuarakan pikirannya. Dukun tua itu tersenyum tipis, lalu mengangguk kecil. “Kamu percaya?” tanyanya lagi pada Devan. “Nggak. Hanya orang-orang bodoh dan anak-anak perempuan cengeng yang suka dan percaya sama cerita-cerita semacam itu. Lagipula Pak Tua, cerita itu hanyalah sebuah dongeng. Kalau ada sihir di dunia ini, aku pasti sudah jadi teman Harry Potter,” jawab Devan. Pria itu mengerjabkan mata, sejenak tampak berpikir. Lalu berkata, “tapi waktu kamu lahir Harry Potter sudah menikah dengan Jenny Wishley. Alih-alih jadi temannya, kenal anaknya saja sudah untung!” Devan menggelengkan kepala, berdecak karena yakin pria dukun di depannya adalah orang gila. Devan menatapnya prihatin seolah mengingatkan pada diri sendiri agar rajin belajar supaya ia kelak di masa depan tidak menjadi seperti itu. Oke. Habis ini minta Mama langsung ke les bahasa Inggris! Batinnya dalam hati. Interaksi keduanya terhenti saat sebuah sedan berwarna hitam berhenti tak jauh dari sana. Devan tersenyum lalu segera berlari menghampiri sebelum pintu mobil bahkan terbuka. “Devan, anak kesayangan Mama! Aduh, kamu pasti nunggu lama, ya? Maaf karena tadi Mama harus antar berkas dulu ke kantor Papa kamu.” Mama langsung menyambut dan memeluk Devan saat pintu mobil dibukakan oleh Pak Supir. Devan pun membalas pelukan Mama. “Nggak papa, Ma,” jawab Devan. Ia melepas pelukan Mama. “Mama! Mama nggak lupa ‘kan sama janji Mama untuk membeli kue ulang tahun buat Bi Yana?” lanjutnya bertanya. Merasa nama istrinya disebut, Pak Supir menatap mereka. Sedangkan Mama langsung membekap mulut Devan. “Aduh, kamu ini. Kan mau ngasih kejutan? Kenapa malah bilang di depan Pak Rudi?” bisik Mama gemas. Devan membulatkan mata, sadar akan kesalahannya dan meringis. “Ups, sorry, lupa.” Mama menghela napas, mengacak lembut rambut Devan. Wanita yang saat ini memakai gaun hitam selutut itu menoleh pada Rudi lalu tersenyum dan berkata, “Tolong rahasiakan ini ke istri kamu. Kami sebenarnya ingin memberikan kejutan untuk Bi Yana tanpa sepengetahuan kamu agar lebih greget. Eh, anak ini malah sudah keceplosan.” Rudi mengangguk tersenyum. Sudah sepuluh tahun lamanya ia dan Yana bekerja di rumah keluarga Sanjaya dan mereka selalu baik padanya dan istrinya. Dengan gerakan tangan seolah mengunci mulut dari kiri kanan, Rudi mengakhirinya dengan isyarat oke-rahasia-aman-di-mulut-saya. “Yaudah, ayo, Ma! Ayo berangkat! Kita cari kue yang paaaaaaling besar!” ajak Devan antusias. Tangan kecilnya menarik-narik Mama untuk segera masuk ke dalam mobil. Mama mengangguk. Setelah Devan masuk ke dalam, tak sengaja mata Mama menangkap seorang pria tua berjanggut putih menatapnya. Mama tau bahwa sekilas tadi Devan bercakap-cakap dengan pria yang ia sebut dengan dukun itu. Mama menyuruh Rudi menunggu sejenak. Ia ingin menghampiri kakek tersebut. “Kakek, terimakasih tadi sudah menemani anak saya,” ucap Mama membuka suara. Dukun itu mengangguk. “Oh, bukan masalah. Sebenarnya saya merasa tertarik dengan putra Anda!” Terjadi keheningan beberapa saat. Mama mengernyitkan dahi setengah menatap curiga pada pria tua itu. Jangan-jangan ia adalah komplotan dari... “Jangan khawatir, saya bukan salah satu komplotan dari sindikat penculik anak.” Mama terkejut karena pria itu berkata seolah bisa membaca pikirannya. Mama pun tersenyum tidak enak. Pria itu menoleh untuk menatap Devan yang saat ini sedang duduk di dalam mobil bercakap-cakap dengan Rudi. Ekspresinya tampak sangat bahagia seolah ia tidak memiliki beban apapun. “Anak kamu memiliki sesuatu yang spesial. Ia akan tumbuh dengan penuh luka tetapi suatu saat ia akan memiliki kisah unik dan menarik untuk sekedar diceritakan. Ia ada dan menjadi satu dari seratus miliyar penduduk bumi yang dipilih oleh takdir.” Mama diam tak mengerti. “Apakah kamu percaya pada sihir?” Kini dukun tersebut menoleh pada Mama. Manatap mata Mama dalam-dalam hingga bulu kuduk Mama terasa berdiri. Merinding. “Itu...Saya... “ Tanpa menunggu lanjutan ucapan dari Mama, dukun itu sudah menyela dengan menghela napas dalam. Kini ia berkata dengan mata yang sedikit menerawang. “Mungkin kita bisa menghitung dengan jari berapa banyak orang-orang yang percaya dengan sihir. Kehidupan yang terus berjalan tanpa henti telah mengubah pandangan dan pola pikir manusia,” jeda sejenak. Lalu ia kembali menatap Mama dan menampilkan sebuah senyum misterius. “Jika ada satu hal terakhir yang kamu inginkan dalam hidup, apakah itu?” Mama tercenung sejenak memikirkan pertanyaan Si Kakek. Jika ada satu hal terakhir.... Hal terakhir... Mata Mama bergerak, menatap satu-satunya anak yang ia sayang dan cinta. Dan ia tersenyum melihat Devan yang masih betah bercerita pada Rudi. Mulut kecilnya terus berceloteh tiada henti. Pipinya terlihat sangat menggemaskan membuat ia ingin sekali mencubitnya, meski ia tau Devan sangat tidak suka dicubit di bagian pipi. Dan jawaban dari pertanyaan si Dukun pun sudah jelas ada dalam hati Mama. Agar Devan terus hidup dan tumbuh menjadi pria penyayang yang penuh cinta. Seperti saat ini. Jangan pernah berubah, Devan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD