Alvian berdiri di depan pintu kamarnya, merentangkan kedua tangan lebar-lebar sembari menguap. Rambutnya acak-acakan khas orang yang baru bangun tidur. Kaos putih tanpa lengan yang ia pakai tampak kusut. Alvian mengerjab, mencoba menghalau rasa kantuk yang masih tertinggal.
Oh, balik tidur lagi ah!
Hampir saja cowok itu berbalik dan kembali menuju kasur tercinta, hidungnya sudah mencium aroma sedap dari dapur. Hal tersebut mengakibatkan cacing-cacing di perut Alvian mulai menggeliat bangun dari tidurnya dan berteriak, "Beri aku makan! Beri aku makan!".
Alvian mengelus perutnya yang tiba-tiba mengeluarkan bunyi keroncongan, lalu berjalan menuju dapur yang tak jauh dari kamarnya. Cowok itu tersenyum lebar ketika sampai dan mendapati sebuah tatapan mesra penuh cinta dari seorang gadis paling cantik sedunia.
"Good morning, my baby lovely sweetyyy!!" sapa Alvian riang. Ia merentangkan kedua tangan lebar-lebar dan bersiap untuk memeluk gadis itu tetapi sebuah spatula berwarna hitam yang ditodongkan ke arahnya membuat gerakan Alvian terhenti. Mambuat tangan Alvian menggantung di udara sia-sia.
Sungguh terlalu!
"Nggak! Harus berapa kali Alena ngomong jangan-peluk-aku-saat-aku-sudah rapi? Nanti acak-acakan lagi!" Gadis bernama Alena itu mundur selangkah, sedikit menjauh dari Alvian. Seragam putih abu-abu yang tertutup dengan celemek merah muda bergambar Hello Kitty dan sebuah serbet kecil tampak menggantung di pundaknya.
"Lagian Kakak masih bau iler!" lanjut Alena sembari menuangkan nasi goreng ke dalam sebuah mangkuk kaca besar dari wajan. Gadis itu membawa makanan tersebut ke meja makan tak jauh dari sana.
Alvian terbengong sesaat lalu mendengus kecil. Ia menyentuh d**a kirinya sembari berekspresi sedih. "Sakit," rintihnya dramatis. "Apa hanya aku yang benci lihat kamu tumbuh besar dan dewasa?" Ia berjalan mengekor pada Alena di ruang makan.
Alena hanya mencebikkan bibir tanpa berniat menanggapi. Ia fokus menyiapkan dan menata piring-piring di meja makan bundar dengan empat kursi melingkar, cukup untuk satu keluarga.
"Nasi goreng. Ye ye ye, nasi goreng." Setelah melihat menu apa yang disiapkan oleh Alena, sembari ber yel-yel ria, Alvian pun langsung menyeret sebuah kursi ke belakang dan duduk begitu saja. Membuat Alena mendelik padanya.
"Kak Alvian! Mandi dulu sa—"
"ALENAAA!! KAUS KAKI PUNYA AKU MANA?!" Sebuah teriakan seorang cowok lain dari balik pintu kamar yang lain memotong teguran Alena pada Alvian. Gadis itu membuang napas pendek hanya untuk menghirup udara yang lebih banyak lagi.
"KAK ALDI KEBIASAAN DEH! DI LEMARI BAWAH NOMER TIGA!" balas Alena berteriak juga setengah kesal. Aldi memang punya kebiasaan buruk yaitu selalu lupa dimana letak kaus kaki. Padahal selama dua belas tahun ia duduk di bangku sekolah, letak kaus kaki tetap sama. Almari bawah nomor tiga.
Pletak!
"Aw!" Alena mengelus kepalanya karena mendapat jitakan dari seseorang. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang pria dengan kemeja kotak-kotak yang dengan lengan yang sengaja dilipat sampai siku, berdiri bersedekap menatapnya. Bau harum parfum menguar dari tubuh pria yang saat ini terlihat sangat tampan alias keren dengan tatanan rambut depan yang dibuat jabrik ke atas. Tampak hitam mengkilat karena gel yang selalu ia pakai tiap hari.
"Sorry, Kak. Kebiasaan," cengir Alena sembari mengangkat dua jarinya hingga membentuk huruf V.
Alka, anak tertua di rumah itu, tersenyum tipis lalu segera menyeret kursi untuk ia duduki. Namun niat Alka urung ketika melihat sosok Alvian sudah duduk manis di sana sambil bersenandung dengan asik dengan sendok dan garpu di masing-masing tangan yang ia ayun-ayunkan. Bagaikan seorang bocah yang kegirangan menunggu untuk segera bisa makan.
"Sweety, sweety-ku ... tumbuh dengan sehat ... meski kamu tambah dewasa tapi aku sungguh tidak menyukai ... AAWW!!"
"Sudah berapa kali aku bilang mandi dulu baru sarapan? Kamu baru bangun tidur, hm?" Alka menjewer telinga adik pertamanya tanpa ampun, membuat Alvian memekik dan mengaduh kesakitan.
"Kamu nggak malu sama adik kamu? Ia bahkan sudah rapi dan siap berangkat sekolah tapi kamu masih belum mandi?!"
"Aaw, aaw! Sakit, Kak! Gue—ah! Aku masuk jam sembilan!"
Alvian meralat ucapannya saat jeweran ditelinganya semakin kuat. Memang sudah kebiasaan yang menjadi peraturan tidak tertulis bahwa di rumah itu, di antara mereka yang bersaudara dilarang memakai bahasa gue-elo.
"Nggak ada alasan! Aku tau semalam kamu begadang nonton film po—"
"Pagi, semuanyaaa!!" Sapaan Aldi dari belakang mereka menyela omelan Alka pada Alvian. Alka mengangguk sekilas, memperhatikan penampilan Aldi sesaat, lalu menyuruhnya untuk segera duduk dengan isyarat kepala.
Aldi pun menurut, segera duduk di sisi kanan kursi Alvian. Cowok dengan seragam putih abu-abu itu menahan diri untuk tidak tertawa di atas penderitaan Alvian.
"Aaw, sakit banget!” Alvian meringis sembari mengusap-usap telinga kirinya yang baru saja dilepaskan oleh Alka. Sedangkan Alka berekspresi datar seolah tidak pernah melakukan dosa apapun. Alih-alih mengacuhkan gerutuan Alvian, ia lebih memilih untuk segera duduk agar bisa mulai sarapan. Alena yang sedari tadi hanya memperhatikan pun menyusul duduk di sisi kiri kursi Alka, bergabung dengan ketiga kakak laki-lakinya.
Mereka berempat duduk melingkar mengitari meja makan. Setelah berdoa, mereka memulai sarapan bersama seperti biasa.
"Alvian."
Alvian menoleh pada Alka yang memanggil. Ia memasukkan satu sendok nasi goreng terakhir ke dalam mulutnya.
"Ini punya kamu?" Alka meletakkan sebuah buku dengan sampul berjudul Management Bisnis di atas meja makan. Mata Alvian membulat sempurna seketika, bahkan ia pun langsung terbatuk beberapa kali karena tersedak.
"I-ini... tentu aja punya aku!" tukas Alvian, langsung mengambil buku itu dan menyembunyikannya di belakang tubuh. Ia mengerjabkan mata beberapa kali sembari memaksakan senyum lebar. Tenang Alvian! Ia nggak mungkin lihat isinya, batin ALvian, melirik gugup pada Alka.
"A-aku nyari buku ini ke mana-mana beberapa hari ini. K-kalian tau? Bahkan aku sampai pusing karena tanpa buku ini aku nggak bisa belajar dengan maksimal! Hahaha ... ternyata dibawa Kak Alka?" Alvian tertawa renyah. Ia menatap Alka, Alena dan Aldi bergantian sambil terus tertawa.
"Ckckck, akting yang buruk," decak Alena prihatin sembari menggelengkan kepala pelan. Ia sangat mengenal kebiasaan Alvian ketika berusaha menutupi kesalahan. Yaitu, dengan mencoba berbicara panjang lebar sambil tertawa seperti orang bodoh. Sangat mudah ditebak.
"Sangat buruk," tambah Aldi. Tak hanya Alena, Aldi juga tau kebiasaan Alvian. Dengan kata lain, mereka berempat saling mengenal kebiasaan satu sama lain sekecil apapun itu. Entah karena faktor mereka bersaudara kandung atau karena selama belasan tahun mereka telah tinggal bersama dan telah menggantungkan hidup satu sama lain.
Alka mendengus kecil lalu menatap Alvian serius. Membuat Alvian kesulitan menelan nasi goreng yang sudah ia kunyah menjadi lembut.
"Belajar ya? Jadi, bisa jelaskan bagian mana dari buku itu yang harus kamu pelajari dengan maksimal?" tanya Alka sengaja memasang senyum simpulnya. Tapi siapapun tau jika ia tidak bermaksud untuk beramah tamah. Tatapannya jelas mengintimidasi, menuntut jawaban dari sang pemilik buku.
Seketika itu juga, Alvian mendadak bungkam. Dia berdeham dan matanya bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri. Gugup.
"Mana, coba lihat bukunya." Alka menjulurkan tangan ke belakang tubuh Alvian, hendak meraih buku Management Bisnis yang di sembunyikan Alvian.
Alvian mendadak pucat. Ia berusaha untuk menjauhkan tubuhnya dari Alka agar buku tersebut tidak jatuh di tangan Alka lagi, tetapi ...
"Jangan, Ka-"
Terlambat! Buku bersampul Management Bisnis itu telah berpindah tangan. Alka membukanya dengan acak lalu mengangkat tinggi-tinggi buku itu hingga menampilkan isi buku tersebut.
Sebuah gambar seorang gadis dengan pose berbaring di atas ranjang. Kedua tangannya terangkat ke atas hingga menampilkan tonjolan d**a besarnya yang hanya tertutup bikini. Wajahnya terlihat menggoda. Beberapa bagian tubuhnya terekspos nyata hingga bisa menimbulkan gairah pria manapun yang melihat.
Alena yang sedari tadi hanya memperhatikan kedua kakak laki-lakinya itu, langsung terkesiap ketika melihat isi buku milik Alvian. Gaid itu mengalihkan pandangan cepat ke arah Alvian dan menatapnya dengan tajam. Membuat Alvian sang tersangka utama semakin salah tingkah.
"Aku baru tau kalau kamu mempelajari buku ini setiap malam secara maksimal," sindir Alka.
"Itu ..."
"Mm-hmm ... jangan bilang kamu sedang mempelajari semua merek bikini atau pakaian dalam wanita-wanita ini karena itu adalah bagian dari ilmu Manajemen Bisnis yang kamu pelajari di kampus. Menjual pakaian dalam wa-ni-ta."
Alvian mendesah panjang. Sia-sia saja jika ia mengelak. Ia sudah tertangkap basah.
"Maaf, Kak, khilaf...," ucapnya lirih sembari menunduk, tak berani menatap Alka.
"Khilaf?"
"Iya! Lagipula ini bukan punyaku! Oh iya, Aldi juga ikutan lihat, kok!" adu Alvian pada Alka yang membuat Aldi terperangah seketika. Remaja berusia 18 tahun yang sebentar lagi lulus itu menatap tidak percaya pada Alvian dan mengumpat dalam hati. Dasar pengkhianat!
"Kenapa jadi bawa-bawa aku? Nggak! Aku nggak pernah lihat itu! Kak Alvian jangan fitnah, deh! Aku bisa tuntut kamu atas nama pencemaran nama baik!" ucap Aldi menggebu-gebu.
"Eh, k*****t! Kamu yang pinjem terakhir kali ya!"
"Nggak! Aku udah balikin ke tempat semula di kamarmu!" bantah Aldi.
Hening sesaat. Aldi mendesis sambil memejamkan mata ketika menyadari ucapannya barusan.
Sebuah kesalahan besar! Ia telah menggali kuburannya sendiri.
"Jadi kamu juga ikut-ikutan, Aldi?" geram Alka, sedangkan Alvian sudah menyeringai puas penuh kemenangan. Kena kau!
"Maaf, Kak." Aldi menunduk menyesal. Tapi ia segera menuding Alvian setelahnya. "Kak Alvian yang mengaruhin aku! Awalnya aku nggak ingin lihat, tapi—"
"Apa?! Heh, jangan fitnah, ya! Dasar adik durhaka!" Alvian mendelik ke arah Aldi tidak terima dirinya disalahkan.
"Lagipula ya, Kak Alka-ku yang sangat aku hormati dan aku cintai, wajar aja kalau seorang cowok 'normal' lihat gambar-gambar kayak gitu. Asal Kak Alka tau, di jaman sekarang itu sudah banyak orang-orang yang bahkan ngelakuin hubungan s*x di luar nikah. Ini tahun 2020, bukan tahun sembilan puluh! Jaman di mana free s*x dibebas-"
Bugh!!
Alka memukul kepala Alvian dengan buku Management Bisnis yang berisi gambar-gambar wanita seksi itu sebelum Alvian meracau lebih jauh lagi. Alvian pun langsung mengelus kepalanya sambil mengerucutkan bibir ke depan.
"Kalian berdua akan dihukum," ucap Alka tegas, syarat bahwa tidak ada yang boleh membantah.
"Oke," desah Alvian dan Aldi serempak, membuat Alka menggeleng pelan. Kedua adik laki-lakinya ini terkadang memang masih sangat kekanak-kanakan. Kadang mereka juga sedikit susah diatur. Sangat berbeda dengan Alena. Satu-satunya anak perempuan di keluarga itu.
Sejak kedua orang tuanya meninggal karena sebuah kecelakaan lalu lintas, Alka lah yang merawat mereka bertiga. Saat itu bahkan Alka masih duduk di kelas 2 SMP. Melihat adik-adiknya yang masih kecil, Alka bahkan memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMA setelah lulus SMP. Sebagai anak tertua, tentulah ia harus bisa fokus untuk bisa merawat dan mencari nafkah demi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah mereka. Beruntung juga bahwa saat itu mereka mendapatkan uang asuransi dari perusahaan asuransi hingga adik-adiknya bisa sekolah hingga ke jenjang perkuliahan.
Alka tidak pernah menyesali keputusannya tersebut. Jika waktu bisa diputar kembali, ia akan tetap memilih jalan yang sama. Ia akan berhenti setelah lulus SMP dan bekerja melanjutkan bisnis restoran kecil milik keluarga mereka. Sungguh, hanya dengan melihat bahwa adik-adiknya tumbuh besar dan sehat seperti ini saja Alka sudah sangat bersyukur dan bahagia.
Alka menatap Alvian penuh wibawa, lalu mulai menjatuhkan hukuman yang pantas untuk cowok yang saat ini sudah duduk di bangku kuliah.
"Alvian. Bereskan semua piring kotor dan ... a-a-ah, jangan membantah! Ini hukuman kamu. Dan bersihkan rumah. Semua! Nyapu, ngepel, ngelap meja juga termasuk di dalamnya."
Alvian menghela napas panjang. Ya Tuhan, gue benci beberes rumah! Jangankan rumah! Kamar gue aja udah kayak kapal pecah kena badai tornado terus nabrak karang segede gunung!
"Dan lakukan itu selama tiga hari," tambah Alka.
Alvian membulatkan matanya lebar-lebar. Diapun langsung mengeluarkan protes tak terima. "Tiga hari?! Tapi-"
Alka menggelengkan kepala tegas tanda bahwa ia tidak akan menerima protes apapun dari Alvian. Membuat adik pertamanya itu mendesah kasar. Tubuhnya langsung merosot, bersandar lemas di kursi makan.
Alvian mengusap kasar wajahnya lalu menghentakkan kakinya seperti anak kecil. Jangankan tiga hari, sepuluh menit beres-beres rumah saja ia serasa mau mati!
Sementara itu, Alena tersenyum lebar. Biasanya semua pekerjaan rumah ia yang urus, tetapi untuk tiga hari ke depan ia akan bebas. Gadis kelas dua SMA itu mengayunkan tangan kanannya sambil berkata, "YES!"
"Aldi."
"Ya!" jawab Aldi, berharap jika hukumannya tidak seberat Alvian.
"Kamu cepat berangkat sana."
"Siap, bos!" Aldi langsung berdiri tegak sambil memberi hormat upacara bendera pada Alka. Ia menyeringai penuh kemenangan karena Alka tidak memberi hukuman sama sekali...
"Tapi nanti malam, kamu yang menyiapkan makan malam. Dan itu juga berlaku selama tiga hari. Sarapan dan makan malam."
Bahu Aldi merosot ke bawah seketika. Yah ...
Kali ini Alena sudah tertawa sambil bertepuk tangan kecil. Tiga hari ke depan adalah hari kebebasan miliknya. Yey!
***
"Alena, berangkat bareng aku, yuk!" ajak Aldi pada Alena ketika ia mengeluarkan sebuah sepeda motor dari garasi.
"Nggak mau. Aku naik bus. Sudah sana berangkat duluan!" seru Alena sambil memakai sepatu hitamnya di tangga teras rumah. Kini sebuah kacamata bulat besar telah menggantung di hidungnya, sengaja menutupi wajah asli yang tidak ingin ia tampakkan selama di sekolah.
"Kenapa sih nggak berangkat bareng aja sama Kak Aldi? Kalian kan satu sekolah?" Alka tiba-tiba duduk di samping Alena, memakai sepatunya juga. Nike berwarna putih.
Alena menjawab dengan gelengan kepala singkat. "Kakak tau alasannya," ucapnya sambil berdiri setelah sebelumnya membenarkan letak kacamatanya yang lagi-lagi sudah merosot ke bawah. "Aku berangkat dulu ya, Kak! Semangat kerjanya!" tukas Alena sembari mengepalkan tangan ke atas, memberi semangat pada satu-satunya cowok yang bekerja membanting tulang demi ketiga adiknya. Alena benar-benar bangga pada sosok Alka. Selain itu, menurut Alena, Aldi dan Alvian, Alka bukan sekedar seorang Kakak laki-laki tertua, tetapi juga sesosok ayah bagi mereka.
"Hmm. Hati-hati di jalan!" Alka tersenyum melihat Alena berjalan sambil melambaikan tangan keluar dari halaman rumah. Tampak sekali lagi Aldi menawarinya untuk berangkat bersama, akan tetapi Alena tetap kekeuh menolak. Sama seperti biasa.
Alena berjalan melewati beberapa g**g yang memang harus ia lalui untuk sampai di jalan raya. Sepuluh menit kemudian, ia sudah berada di halte bus dan beberapa menit setelahnya, sebuah bus sudah membawa Alena pergi menuju sekolah. SMA Taruna Negara.