07 - Mencintai dan Bahagia?

1739 Words
Netha menatap pada gaun pengantin yang dikenakan olehnya. Pagi ini calon ibu mertuanya dalam ke rumah Reivant dengan berteriak penuh kegirangan bersama dengan orang-orang butik. Xenna akan menyuruh Netha untuk memakai gaun pengantin. “Wah! Sangat pas sekali padamu sayang. Dan tidak ada yang perlu diperbaiki lagi,” ucap Xenna bertepuk tangan. Memang gaun ini agak terlambat siapnya dari waktu yang diperkirakan oleh Xenna pada orang butik. Netha hanya tersenyum saja mendengar apa yang dikatakan oleh Xenna. Dia tidak mau mengatakan apa pun. Hatinya sungguh sakit sekali, melihat dirinya yang memakain gaun pengantin tapi bukan pernikahan yang sebagaiman mestinya yang dia jalankan setelah ini. Dia tidak berharga dan tidak dicintai oleh Reivant. Dia hanya gadis yang diculik dan dikurung di dalam rumah sebesar ini. Netha tak tergiur dengan uang atau harta yang dikatakan oleh Reivant. Dia ingin kebebasan. Dan ingin menikah dengan orang yang mencintai dirinya. Xenna yang menatap Netha diam saja dan tidak ada tersenyum, mengerutkan keningnya. Kenapa calon menantunya ini seperti orang yang memiliki beban hidup yang amat berat sekali? Padahal dua hari lagi Netha dan Reivant akan menikah. “Sayang, kamu kenapa? Kamu nggak suka dengan gaun pengantinnya?” tanya Xenna. Netha menatap pada calon mertuanya dan menggeleng. Dia sangat suka dengan gaun pengantin ini. Gaun yang amat mahal dan modelnya simple sekali. Siapa yang tidak menyukainya? Tetapi, Netha tidak bisa bahagia dengan pernikahan ini. “Netha suka kok Ma. Tapi, Netha cuman gugup aja. Kan sebentar lagi Netha dan Reivant akan menikah,” dusta Netha. Seandainya dia bisa berkata jujur pada wanita paruh baya ini. Pasti dirinya akan terbebas dari pernikahan terkutuk ini sekarang. Namun, Reivant selalu mengawasi dirinya. Melihat pengawal dan pelayan yang menatap ke arahnya. Pasti itu suruhan Reivant. Xenna tertawa kecil mendengar penuturan calon menantunya ini. Memang sangat gugup sekali kalau akan menikah. Dulu dirinya juga sangat gugup akan menikah dengan ayahnya Reivant. Tetapi, setelah menikah. Dirinya sangat bahagia. Dicintai dan diratukan oleh ayahnya Reivant. “Kamu gugupnya menjelang janji suci sayang. Nanti kalau sudah menikah, kamu nggak akan gugup lagi. Kamu tahu? Dulu Mama juga sama kayak kamu. Gugup. Tapi, setelah menikah malahan Mama sangat bahagia sekali. Ayahnya Reivant itu sangat mencintai Mama, dan mau yang terbaik untuk Mama,” tutur Xenna melebarkan senyumannya, bercerita pada Netha bagaimana dirinya dan ayah Reivant. Netha yang mendengar itu merasa iri. Dia ingin seperti itu juga. Namun apalah daya dia tidak bisa seperti Xenna. Yang mana kebaahgiaan mengelilingi dirinya. Netha hanya seorang gadis yang tidak berdaya dan selalu mendapatkan ancaman dari Reivant. Juga pelecehan. Netha yang mengingat pelecehan yang dilakukan oleh Reivant kemarin pada dirinya. Membuat dirinya ingin mencuci mulutnya kembali. Dan memuntahkan semua isi perutnya. Netha menutup mulutnya, dan segera melepaskan gaun pengantin itu dari badannya. Netha berjalan menuju kamar mandi dan memuntahkan cairan isi putih. Dia tidak memakan apa pun tadi pagi. Setiap kali ingat kejadian itu. Dirinya tak bisa makan dan terus saja menangis. Xenna yang melihat Netha mual. Menaikkan sebelah alisnya. “Kau hamil?” tanya Xenna mendengkus. Netha yang mendengar pertanyaan dari calon ibu mertuanya menggeleng. Dia tidak hamil. Bagaimana mungkin Xenna mengatakan dirinya hamil? “Tidak. Aku hanya tidak makan tadi pagi. Dan magh-ku kambuh,” jawab Netha. Xenna melunakkan mimic wajahnya dan setelah itu berganti dengan tatapan khawatir. Dia tidak tahu, kenapa Netha tidak makan. Apakah karena gugup juga? Hei! Pernikahan itu tidak terlalu berat. Dan Netha tidak perlu memikirkannya secara berlebihan. Reivant—putranya akan menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab pada Netha. Dia tidak akan menyakiti Netha. Malahan akan membahagiakan Netha dan mencintai Netha. “Sayang, kamu kenapa tidak makan? Ayo! Kita makan sekarang! Ini sudah jam satu siang!” ucap Xenna membawa Netha keluar dari dalam kamar mandi. Dan berjalan menuju ruang makan. Xenna menyuruh pelayan untuk menyiapkan banyak makanan di sini. Dia ingin makan bersama dengan menantunya. Pelayan itu mulai menyusun makanan, Netha yang melihat berbagai macam makanan langsung menelan salivanya. Dan menggeleng pelan. Dia tidak mau makan. Kalau dia tidak makan, dia akan sakit dan setelah itu dirinya mati. Dan tidak jadi menikah dengan Reivant. “Sayang, ayo, makan. Ini Mama sudah mengambilkan nasi dan lauknya. Kamu makan yang banyak. Tidak usah memikirkan tentang pernikahan. Kamu memang gugup. Tapi, Reivant akan menjadi suami yang baik untuk kamu. Dia akan mencintai kamu dan membuat kamu bahagia tentunya.” Netha yang mendengar itu tersenyum miris. Bahagia dan mencintai dirinya. Sebuah kemustahilan. Dan bagaimana bisa Reivant melakukan itu. Sedangkan pria itu terus menyiksa dirinya tanpa ampun. Membuat Netha menangis. Dan ingin kabur dari sini. “Makan sayang! Jangan Cuma dilihatin aja. Reivant masih ada keperluan di luar. Dan dia akan pulang sebentar lagi. Reivant bilang sama Mama, kalau kamu tidak memiliki keluarga. Kamu sebatang kara. Mama sungguh tidak menyangka itu. Dan Mama akan menjadi ibu yang baik untuk kamu,” ucap Xenna tulus. Netha menggenggam sendoknya kuat. Dia bukan sebatang kara. Dia memiliki keluarga. Karena Reivant, membuat dia jauh dari keluarganya. Pria itu mengurungnya di sini dan menikahinya hanya untuk mendapatkan sebuah keturunan. Dasar pria munafik dan licik! Mati saja dia! “Kenapa sayang? Masakannya tidak enak? Kamu mau yang lain?” tanya Xenna. Netha menggeleng. Dia memakan secara perlahan makanan itu. Dan berusaha menahan dirinya untuk tidak memuntahkan makanan itu. Mengingat bagaimana menjijikkannya milik Reivant masuk ke dalam mulutnya. Dan suara desahan pria itu selalu terdengar di kupingnya. “Nah, habiskan sayang. Mama tadi juga bawa kue untuk kamu. Ini Mama beli di toko kue langganan Mama. Kuenya sangat enak,” ucap Xenna berdiri dan mengambil kue yang dibeli olehnya tadi. Xenna meletakkan piring yang berisi kue di depan Netha. Netha hanya meliriknya sekilas. Kalau dirinya dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin kue itu sudah habis sekarang dimakan oleh dirinya. Dia yang sangat menyukai manisan. Mampu menghabiskan kue dalam waktu sekejap. “Kamu nggak mau kuenya? Kamu nggak suka yang manis-manis?” tanya Xenna. Netha menggeleng. “Netha suka kok Ma. Netha akan makan setelah nasi dalam piring Netha habis,” ucap Netha segera menghabiskan nasinya. Netha meneguk air sebanyak mungkin dan merasa lega, karena telah menghabiskan nasi dalam piringnya. Sekarang Netha memakan satu potong kue itu. Rasanya memang sangat enak sekali. Suasana hati Netha tidak mendukung untuk memakan makanan ini. Sehingga dirinya tidak terlalu suka dengan kue ini sekarang. Setelah memakannya satu potong. Netha tidak memakannya lagi. Mata Netha melihat pada Reivant yang berjalan mendekati dirinya. Degup jantung penuh ketakutan Netha membuat dirinya mengepalkan tangannya di bawah meja. Dia ingin menangis dan berteriak. Kalau dia ingin pergi menjauh dari Reivant. “Sayang, kamu sudah makan ternyata. Tadi pelayan mengatakan kamu tidak mau makan. Kamu gugup kita akan menikah dua hari lagi?” tanya Reivant dengan nada penuh perhatiannya. Tidak lupa Reivant memberikan sebuah kecupan di bibir Netha, agar ibunya tidak curiga dengan hubungannya bersama Netha tidak sebaik itu. Xenna yang melihat putranya sangat perhatian pada Netha melebarkan senyumnya. Dia tahu, kalau putranya sangat mencintai Netha. Melihat perhatian yang dilakukan oleh Reivant pada Netha. Netha itu gadis beruntung mendapatkan Reivant. Dan Reivant juga pria yang beruntung mendapatkan Netha. Xenna sangat menyukai calon menantunya ini. Kelihatan mengemaskan dan tentunya sangat baik. “Kalian membuat Mama iri saja. Mama jadinya mau nyusul Papa. Papa kalian itu belum pulang juga. Kemarin katanya mau pulang. Tapi, tak jadi. Karena ada pekerjaan mendesak lagi,” ucap Xenna cemberut. Reivant yang melihat ibunya cemberut. Tersenyum geli. Reivant memeluk ibunya lembut. “Mama jangan cemberut. Kan jadinya Reivant tak bisa membedakan yang mana calon istri Reivant kalau gini,” kata Reivant bercanda. Xenna memukul tangan putranya. “Kamu ini bisa aja! Mama mau pulang dulu. Gaun pengantinnya sudah pas di badan Netha. Dan kamu bilang sama Netha, jangan terlalu gugup sama pernikahan kalian. Setelah menikah dia tak akan menderita malah bahagia,” ucap Xenna berdiri dari tempat duduknya. Reivant mengangguk. “Iya, Ma. Nanti Reivant kasih tahu sama Netha kalau dia akan bahagia setelah menikah dengan Reivant, dia perlu gugup,” ucap Reivant melirik pada Netha dengan tatapan sinisnya. Netha menelan salivanya. Dia perlahan melebarkan senyumannya, dan melihat pada calon ibu mertuanya. Dia tahu, kalau Reivant menyuruhnya untuk tersenyum dan tidak lagi diam seperti ini. Xenna yang melihat Netha tersenyum segera berjalan mendekati Netha. “Nah! Begini sayang. Kamu tersenyum, dan jangan banyak pikiran. Mama tidak mau kamu banyak pikiran. Kamu dan Reivant itu akan menikah. Kalau kamu banyak pikiran dan terus gugup, nanti kamu sakit. Dan acara pernikahan kalian tidak akan khidmat,” ucap Xenna. Netha mengangguk. Untuk apa acara pernikahannya dengan Reivant khidmat? Kalau pernikahan itu tidak menepati janji dengan Tuhan. Reivant memainkan sebuah pernikahan. Dia hanya ingin anak dan melakukan hubungan badan dengan Netha sampai bosan. “Iya, Ma. Netha akan berusaha untuk tak gugup dan memikirkannya. Mama hati-hati, kalau sampai di rumah jangan lupa kabari Reivant,” ucap Netha mencium pipi ibu mertuanya. Xenna mengangguk. “Iya, sayang. Mama akan mengabari Reivant nantinya. Kamu sehat-sehat terus. Dan rajin makan! Ini kamu tadi cuman makan dikit aja. Dan makan kuenya!” ucap Xenna diangguki oleh Netha. Xenna berjalan keluar dari dalam rumah. Reivant yang melihat kepergian ibunya sudah tidak terlihat lagi, langsung menarik tangan Netha kasar dan mencengkam pipi gadis itu. “Kau tidak bicara macam-macam pada ibuku tadi, ‘kan?” tanya Reivant. Mana tahu gadis sialan ini berkata macam-macam. Membuat rencananya menjadi gagal. Mengingat Netha sudah mencoba kabur dan selalu gagal. Dia tidak akan segan memberi Netha hukuman lagi, kalau dia berani macam-macam. Netha menggeleng. “Aku tidak mengatakan hal macam-macam. Kau bisa menanyakan pada pengawal dan pelayan di sini. Kalau aku hanya diam saja dan tidak mengatakan hal yang tidak diinginkan,” ucap Netha. Reivant mengangguk, dan percaya pada Netha. Dia melepaskan cengkamannya pada Netha. Dan berjalan menjauhi Netha. Netha yang melihat Reivant pergi langsung menangis, dan merasakan sesak didadanya. Dia tidak sanggup membayangkan, pernikahan macam apa nantinya. Dan kenapa Reivant tidak membunuhnya saja sekalian? “Nona…” Netha melihat pada pelayan yang memanggilnya lirih. Netha menghapus air matanya kasar dan tersenyum pada pelayan. Mengatakan lewat tatapannya, kalau dia tidak apa-apa. Dia baik-baik saja. Netha berjalan menuju kamarnya. Lebih tepatnya kamar Reivant. Netha tahu, kalau pria itu ada di sana sekarang. Tetapi dirinya ingin membaringkan tubuhnya dan melupakan kelelahannya hari ini. Netha membuka pintu kamar, dan bersyukur ternyata Reivant tidak ada dalam kamar. Netha berjalan menuju ranjang dan membaringkan tubuhnya di atas ranjang, dan menyelimuti dirinya. Netha menangis dan terus menghapus air matanya. Tuhan… Netha tahu kalau Tuhan itu tidak jahat. Tapi, apakah dia boleh mengatakan takdirnya sangat buruk sekali? Dan Tuhan tak menyayangi dirinya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD