Sudah hampir satu minggu Angga melewati hari – harinya dikota pasundan, kota yang katanya lahir ketika tuhan sedang tersenyum, baru satu minggu dia tinggal di kota Bandung namun hatinya sudah meronta – ronta ingin segera pulang kekampung halamannya. Angga merasa ada sesuatu yang hilang pada dirinya saat dia harus tinggal di kota Bandung hanya ditemani ayah dan ibunya serta nenek, kakek dan kelurga adik kandung ibunya, meskipun ada beberapa keponakan yang selelu menemani Angga baik itu hanya untuk sekedar jalan - jalan atau belajar untuk persiapan Angga mengikuti tes nanti, mereka selalu menemani Angga seakan mereka takut Angga merasa kesepian. Padahal ada tidak adanya mereka tidak memiliki pengaruh apapun dalam kehidupan Angga, buktinya disaat mereka berusaha menemani Angga agar tidak merasa sendirian dia tetap merasa kesepian karena sebagian hatinya tertinggal dikampung halamannya.
“A tetap bersabar ya dengan segala ketetapan yang sudah Allah tetapkan untuk kita, kita sebagai manusia hanya bisa berpasrah dan tawakal kepada - Nya”
Pernyataan ibunya berhasil membuat dahi Angga berkerut bingung, aneh rasanya mamanya tiba – tiba datang dan menghampirinya sambil mengatakan kalimat yang memang tidak masuk diakal menurut Angga. Mama Angga mengelus bagian kepala belakang Angga, tatapan matanya terlihat sayu seakan dari tatapan itu mamanya sedang berusaha menyampaikan sesuatu yang tidak dapat disampaikannya melalui lisan. Namun, Angga tidak pandai bermain kepekaan dia selalu terbiasa bercengkrama dengan lisan bukan dengan isyarat apapun.
“Maksud mama apa ? Aa gak ngerti”
Diam tidak ada jawaban apapun keluar dari mulut mamanya, hanya saja mata perempuan itu tiba – tiba berair membuat Angga menjadi bingung sendiri denngan apa yang sebenarnya terjadi, namun jika keadaan sudah seperti ini Angga tidak dapat memaksa lagi mamanya untuk berkata, dia tidak akan tega memaksanya berbicara dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan penuh kelembutan Angga bangkit dari posisi duduknya dia membawa tubuh mamanya kedalam dekapannya, tugas Angga saat ini hanyalah diam dan membuat mamanya menjadi lebih tenang. Biarlah nanti dia akan mencari tahu sendiri apa sebenarnya terjadi hingga mamanya bisa terlihat serapuh ini.
“Mama harap jangan pernah kamu salahkan takdir atas segala sesuatu yang terjadi pada kehidupan kita, kamu harus yakin jika Allah pasti memiliki rencana lain yang lebih indah disaat dia menimpakan sebuah musibah kepada hamba – hambanya”
Dalam isak tangisnya yang masih terdengar, mama Angga masih berucap berusaha menasihati putra sulungnya yang kini tanpa terasa sudah beranjak dewasa, bahkan kini tinggi Angga sudah melebihi tinggi mamanya, jika dulu mamanya yang akan menimang Angga, berusaha menenangkan Angga agar tidak terus menerus menangis maka kini sebaliknya seperti yang sedang Angga lakukan pada mamanya, merengkuh tubuh mamanya dan berusaha menenangkan tangis mamanya dengan cara mendekapnya berharap dari dekapannya dapat menyalurkan sebuah ketenangan.
“Apa semua ini ada sangkut pautnya dengan dengan diterima atau tidak diterimanya disekolah? Jika iya mama tenang saja Aa sudah siap lahir batin menerima hasilnya, setidaknya apapun hasilnya nanti yang penting Aa sudah beerjuang semaksimal mungkin, lagi pula masih banyak sekolah yang mau menerima Aa”
Mendengar jawaban dari putranya, mama Lina hanya terdiam. Dia tidak ragu dengan kemampuan yang dimiliki putranya, sekalipun dia malas dan sulit untuk diajak belajar tapi dia tahu Angga mempunyai otak yang cukup cerdas, jadi mama Lina yakin tujuh puluh persen Angga akan diterima sekalipun Angga tidak diterima Angga pasti bisa masuk sekolah lain yang juga memiliki kualitas yang tidak kalah bagus. Namun, yang sejak tadi membayang – bayanginya adalah berita yang tanpa sengaja dia lihat tadi sebelum menghampiri Angga.
Tangis mama Lina yang pada awalnya sudah mereda kembali menagis lagi, hal itu tentu membuat Angga merasa bingung sekaligus merasa khawatir atas apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya, jika Angga mengira mamanya menagis karena bertengkar dengan ayahnya itu sangat tidak mungkin karena yang Angga tahu ayahnya sangat tidak bisa melihat istrinya tercinta ini menangis apalagi membuatnya menangis.
Gulungan ombak – ombak yang biasanya menjadi salah satu panorama pelengkap keindahan suasana pantai, hempasan air dari gulungan ombak yang selalu memberikan sensasi tersendiri saat menerpa bagian kaki tiba – tiba berubah menjadi terlihat mengerikan saat gulungan – gulungan ombak yang berlarian dari tengah laut menuju ke daratan itu seakan ingin memakan segala sesuatu yang ada didaratan. Suara gemuruh yang terdengar sangat mengerikan gulungan besar air laut yang bagaikan sebuah badai seakan berlari dari laut kemudian menghempas dengan begitu dasyat melahap rentetan – rentetan perumahan masyarakat, teriakan dan jeritan penuh ketakutan orang – orang menjadi saksi berapa mengerikannya tsunami yang baru saja terjadi.
Bayang – bayang cuplikan video singkat yang tanpa sengaja mama Lina lihat disiaran berita salah satu stasiun televisi kembali membayangi pikirannya, tangisnya semakin menjadi saat kembali mengetahui begitu banyaknya korban akibat bencana tsunami tersebut. Mama Lina yakin jika Angga mengetahuinya pasti dia akan sangat sedih, namun mama Lina tidak mampu memberitahukan semuanya kepada Angga, dia yakin fokus putranya yang sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti tes akan pecah saat mengetahui semuanya. Mama Lina meengurai pelukannya dia menatap Angga tepat dibagian matanya, tangannya bergerap menangkup kedua belah pipi Angga.
“Mama kenapa hanya diam saja ? kenapa mama terlihat sedih ?”
Tidak ada jawaban, perempuan itu hanya menggelengkan kepalanya kemudian menarik lembut kepala Angga agar lebih sejajar dengannya, dia mengecup dahi Angga, mama Lina tidak tahu kapan terakhir dia melakukan aktivitas seperti ini dengan Angga, jika saat Angga masih kecil itu sudah menjadi sebuah kebiasaan tapi saat Angga sudah dewasa hal itu menjadi sesuatu yang sangat jarang. Ada seberkas perasaan bersalah dihati mama Lina saat dia tidak memberitahukan semuanya kepada Angga, namun memang itulahyang terbaik bagi Angga untuk sekarang.
”loh kenapa ini malah terlihat sedih begini, ayodong nanti Angga terlambat masuk ruang tesnya”
Tiba – tiba suara berat itu muncul memecah suasana yang terasa asing bagi Angga, laki – laki paruh baya itu mendekat kearah Angga dan mama Lina. Laki – laki itu merengkuh pinggang istrinya dengan mesra selalu saja seperti itu, kadang saat melihat kemesraan kedua orang tuanya Angga selalu ingin cepat – cepat menikah namun dia masih belum mampu, mau diberi makan apa nanti istrinya, kadang Angga juga selalu kesal sendiri kenapa dia selalu terjebak dalam keadaan seperti sekarang saat dimana kedua orang tuanya bermesraan.
“Ayo – ayo jangan bermesraan didepan Aa, Aa sudah cukup paham dan memiliki rasa penasaran tinggi untuk ingin mencoba dan merasakan berada di posisi Bapak sekarang, ayo kita berangkat sekarang sebelum Aa terlambat karena kalian”
Angga berlalu pergi meninggalkan kedua orang tuanya membuat kedua orang tuanya terkekeh sambil menggeleng – gelengkan kepala karena melihat tingkah Angga.
Angga dan kedua orang tuanya pamit kepada kakek, nenek dan kelurga adik ibunya karena setelah Angga selesai melaksanakan tes mereka akan langsung pulang kekampung halaman. Perjalanan yang harus mereka tempuh menuju tempat tes Angga hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari setengah jam. Saat tiba ditempat yang mereka tuju, waktu masih menunjukan pukul 07 : 00 sedangkan tes akan dilaksanakan pada jam 08 : 00. Masih ada waktu satu jam yang bisa Angga gunakan untuk berjalan – jalan sambil mencari hadiah yang bisa dia berikan kepada Risa nanti.
Angga memilih untuk masuk kedalam salah satu toko yang ada disebrang gedung sekolah yang akan menjadi tempatnya melakukan tes, disana adalah toko tempat penjualan berbagai bentuk aksesoris dan masih banyak hal lainnya lagi. Saat sedang memilih – milih mata Angga tanpa sengaja melihat tesbe berwarna hitam dengan ukiran Muhammad dan Allah berwarna putih, tiba – tiba Angga terbayang wajah Risa yang saat gadis itu menerima hadiah tasbe darinya nanti. Akhirnya tanpa berpikir untuk yang kedua kalinya Angga membeli tasbe dan akan memberikannya pada Risa saat nanti dia sudah tiba dikampung halamannya.
Setelah itu, Angga langsung pergi kelokasi gedung tempat dilangsungkannya tes, dan saat waktu sudah menunjukan jam 08 : 00 Angga lngsung masuk kedalam ruang tesnya, laki – laki itu berusaha fokus mengerjakan setiap soal – soal yang terdapat dalam soal, jujur saja alasan utama yang membuat Angga sangat bersemangat mengerjakan soal adalah pertemuannya denan Risa setelah tes ini selesai, maka Angga pikir ketika dia bisa menyelesaikan soal – soal dengan cepat dan tepat dia tidak hanya akan cepat bertemu Risa saja tapi dia juga akan mendapatkan hasil memuaskan dengan hasil dia lolos tes dan hal itu pastinya akan membuat Risa merasa bangga kepadanya.
***
Angga dan kedua orang tuanya sudah berada dibus yang akan membawa mereka samapai dikampung halaman, tidak akan lama lagi bus yang mereka tumpangi akan berhenti diterminal dan setelah itu Angga hanya perlu naik angkot sebentar dan setelah itu dia bisa bertemu dengan orang yang satu minggu terakhir sudah dia rindukan. Rindu memang kata rindu itu cukup menggambarkan bagaimana perasaannya saat dia tidak bisa bertemu dengan Risda, gadis kecil yang kini sudah menjelma menjadi remaja cantik jelita dan berhasil mencuri hatinya.
Tadi setelah selesai tes Angga dan kedua orang tuanya langsung pulang menggunakan bus, perjalanan mereka dari kota Bandung tepatnya Sumedang hanya memakan waktu sekitar empat jam, remaja laki – laki itu terlihat sudah tidak sabar ingin tiba dikampung halamannya, dia tidak sabar ingin melihat binar bahagia yang terpancar dari wajah Risa saat gadis itu melihat hadiah yang nanti Angga berikan kepadanya.
Saat bus yang ditumpangi Angga dan kedua orang tuanya berhenti diterminal Angga dengan semangat langsung turun dari bus dan mencari angkutan umum yang menuju ke kampung Jati Maju, senyuman tidak pernah lepas menghiasi wajah Angga berbeda dengan kedua orang tuanya yang tampak terlihat gurat kesedihan diwajah mereka.
“Apa korban Tsunami kemarin semua terselamatkan ?”
Tanpa sengaja Angga mendengar obrolan beberapa supir angkot yang sedang membicarakan masalah Tsunami, dahi Angga berkerut bingung dia baru tahu jika salah satu daerah di Indonesia lagi - lagi tertimpa musibah tsunami, Angga yakin beritanya pasti sudah menyebar luas baik itu di media berita Koran ataupun elektronik, tapi apakah iya setidak update dia selama satu minggu terakhir hingga tidak mengetahui kabar negaranya sendiri.
“Memang dimana ada tsunami mah ?”
Angga bertanya dengan wajah bingungnya, laki – laki itu masih terlihat biasa – biasa saja, matanya menatap kearah ayah dan ibunya secara bergantian mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang sudah ajukan. Sementara ayah dan ibu Angga saat mendengar pertanyaan yang diajukan oleh putra sulung mereka saling menatap, sungguh mereka tidak kuasa mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Aa yang tegar dan sabar ya, kampung kita kampung Jati Mayu yang terkena tsunami”
Untuk sesaat Angga diam mematung ditempatnya, dia seakan gagal mencerna kalimat yang terucap dari lisan mamanya, baru setelah beberapa menit dia menarap ayah dan ibunya secara bergantian mencoba mencari tahu kebenarannya dan yang paling membuatnya sedih tidak ada gurat kebohongan yang tergambar disana.
“Kenapa bapak dan mama baru memberi tahuku sekarang, lalu bagaimana Rifqo, nini, aki dan juga kelurga Risa sekarang”
“Maaf a mama dan bapak tidak bermaksud membohongi kamu kami hanya tidak mau membuat fokus kamu runtuh, kita yakin saja mereka baik – baik saja dan kita akan langsung melihat mereka sekarang”
***
Saat Angga sudah sampai dikampung Jati Maju tubuhnya benar – benar tidak dapat berkutik sedikitpun saat dia melihat pemandangan dihadapannya, rumah – rumah tempat pemukiman warga kini sudah tidak ada, semuanya sudah rata dengan tanah, saat melihat ini semua rasanya Angga ingin sekali menjerit dan berteriak, sekarang Angga tidak tahu apa yang harus dia lakukan, dia tidak tahu dimana keberadaan kelurganya sekarang. Bolehkah Angga menangis sekarang ? bolehkah dia memperlihatkan kehancurannya sekarang?.
Angga jatuh terduduk diatas pasih putih saat kedua belah lutut dan kakinya terasa lemas hingga tidak mampu menyangga tubuhnya, kepalanya tertunduk dalam, rasanya Angga menyesal sudah pergi ke kota, bukan karena dia tidak bersyukur karena dihindarkan dari bencana besar tsunami, hanya saja dia merasa berdosa karena dia tidak ada untuk memberikan pertolongan kepada mereka.
Dalam tundukan kepalanya setetes air mata Angga jatuh membasahi kedua belah pipinya, mama dan bapak Angga yang sejak tadi hanya diam dan memperhatikan perlahan mulai mendekat, mama Lina membawa Angga kedalam dekapannya dan Angga juga bisa merasakan jika dalam waktu bersamaan ada bapaknya menepuk bahu Angga sebagai pertanda dukungan untuk mereka yang belum ditemukan.
“Risa ma, Risa dimana ?”
Mama Lina hanya menggelengkan kepala pertanda dia tidak banyak mengetahui keadaan Risa. Setelah berkata demikian Angga langsung berlari meninggalkan bapak dan mamanya dengan tujuan yang tidak tahu akan kemana, hatinya berteriak ketika kenyataan pahit yang harus dia hadapi benar – benar terasa menyakitkan. Sampai akhirnya langkah kaki Angga terhenti disebuah lapangan besar yang kini sudah ada tenda – tenda disana
“Akhirnya Ga kamu pulang juga, adik dan aki kamu dirawar dirumah sakit”
Namun, tidak ada jawban keluar dari mulut Angga, Angga masih berdiri mematung dengan tatapan matanya terlihat kosong.
“Rumah sakit”
Tanpa banyak bertanya lebih dalam lagi, Angga langsung berlalu begitu saja meninggalkan Rama yang baru saja memberi kabar mengenai keberadaan keluarganya. Hatinya sudah terlalu khawatir untuk hanya sekedar menunggu dan menaiki angkutan umum. Mulutnya sudah terlalu kelu untuk sekedar bertanya.
Saat Angga sudah tiba dirumah sakit, dia segera mencari keberadaan aki dan adiknya, namun belum sempat dia berjalan kearah loket pendaftaran, Angga sudah lebih dulu bertemu dengan nininya, perempuan berusia senja itu langsung memeluk Angga dengan penuh kasih, menumpahkan rasa rindu yang memang sudah bersemayam dihatinya.
“Bagaimana kabar mu, Angga ?”
Nini menangkup pipi Angga dan menatap Angga yang kini sudah kembali banjir air mata.
“Maaf sayang nini melarang kedua orang tuamu untuk mengatakan semua yang terjadi disini sebelum kamu selesai tes”
“jadu nini yang melarag mamah dan bapak”
“Rifqo dan aki bagaimana keadaan mereka sekarang”
“Ayo kita lihat mereka sekarang, pasti mereka senang melihat kamu sudah pulang”
Angga menganggukkan kepalanya kemudian berjalan beriringan menuju ke ruang perawatan tempat dimana Aki dan juga Rifqo dirawat.