Angga masih terpaku di tempatnya seakan merasa tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya, mata Risa yang benar nyata terbuka dan sempat dia pikir hanya halusinasi saja. Angga seakan tidak ingin melewatkan satu detikpun untuk tidak menatap mata Risa, karena dia takut jika mata itu akan tertutup lagi.
"Alhamdulillah, akhirnya teh Risa bangun, orang galau double lebay akhirnya bisa pulih sekarang" pernyataan yang mengandung unsur sindiran keras itu keluar dari mulut Rifqo, tidak ada kata apapun yang keluar dari mulut Angga.
Sebenarnya bukan hanya Angga, tapi Rifqo, bersama dengan yang lainya merasakan sebuah rasa senang, kaget dan bahagia yang menyatu menjadi satu, saat melihat Risa bisa bangun lebih cepat dari perkiraan dokter. Semantara Risa, yang masih tergolek lemah di atas ranjang pesakitan hanya melukiskan sebuah senyum kecil, saat mendengar perkataan Risa.
"Terimakasih karena kalian masih ada di sini menemani aku, mempercayai kalau aku bisa terbangun" ujar Risa, sambil menatap satu persatu orang yang ada di dekatnya.
Suara Risa masih terdengar sangat lemah, wajahnya masih terlihat sangat pucat. Mendengar suara Risa yang terdengar sangat nyata masuk kedalam gendang telinganya, Angga masih mematung, telinganya seakan sedang berusaha menyerap apakah suara yang baru dia dengar benar – benar suara Risa.
"Sa kamu bangun, apa kamu benar - benar sudah bangun?" ujar Angga, setelah bebarapa saat hanya diam dalam keterpakuannya.
Angga melangkahkan kakinya mendekat kearah ranjang Risa, matanya masih menatap Risa yang sedang menatap kearahnya juga, sedangkan Risa hanya mampu tersenyum saat dia melihat tingkah sahabat kecilnya yang terlihat sangat mengkhawatirkannya. Sebanarnya, sebelum Angga datang, dia sempat mendengar cerita tentang Angga yang terlihat kacau saah dia belum ditemukan, apalagi Rifqo, dia adalah orang yang paling semangat saat menceritakan kelakuan kakaknya saat dia diminta menemani oleh kakaknya untuk menemui Risa.
“Akhirnya orang galau bersuara” suara ejekan itu keluar dari mulut Rifqo.
Jika biasanya Angga akan membalas ejekan Rifqo, atau menatapnya tajam, berbeda dengan kali ini, karena Angga seakan tidak peduli dengan ejekan – ejakan yang dikatakan oleh adiknya. Fokus Angga seakan sudah tertuju pada pada Risa, hatinya yang merasa bahagia seakan membuatnya tuli untuk mendengar hal – hal yang bisa membuatnya kesal.
“Katakanlah sesuatu Sa, agar aku benar - benar yakin jika aku tidak hanya halusinasi melihat kamu bangun” ujar Angga, berjongkok manyamakan tinggi badannya dengan ranjang yang Risa tiduri.
Risa tersenyum mendengar perkataan Angga, karena jujur saja Risa, merasa jika Angga lebih cerewet dari biasanya. Selain itu, tingkah Angga yang terlihat linglung, tingkah Angga yang terlihat parno, dan tingkah Angga yang lebih banyak bicara membuat Risa tidak bisa berhenti tersenyum. Karena dulu Risa lebih sering melihat Angga yang datar, cuek, dan dingin. Meskipun dulu Angga juga banyak bicara, tapi dia tidak pernah merubah ekspresi datarnya, kecuali saat Risa mencubitnya, atau saat Angga melihat Risa yang kesal karena ulahnya, maka saat itulah dia bisa melihat tawa Angga.
“Bagaimana kabar kamu Muhammad Raga Angga ?” ujar Risa, menatap Angga dengan penuh kelembuatan dan sebuah senyuman yang membingkai wajahnya.
Sementara Angga, setelah mendengar perkataan Risa, bukannya menjawab, Angga justru tersenyum, matanya terlihat berkaca – kaca. Seiring senyumannya yang semakin merekah, ada air mata yang jatuh. Jika saja Risa sudah halal untuknya, mungkin Angga akan membawa Risa kedalam dekapannya, memeluknya dengan erat. Menumpahkan segala rasa takut berbaur rindunya, namun untuk sekarang semua itu tidak bisa dia lakukan karena Risa, belum halal untuknya.
“Terimakasih karena kamu selalu menjadi penguat disaat aku berada di titik lemahku, Ga” ujar Risa, sambil menatap Angga penuh ketulusan.
Angga ikut tersenyum, dia menundukan kepalanya menyembunyikan tetasan air mata yang tidak henti keluar dari matanya, sebagai ungkapan kebahagiaan yang dia rasakan. Namun, suara Rifqo yang memanggil nama Risa, membuat Angga mendongak dan melihat Risa seperti kehabisan nafas. Melihat hal itu, diruangan yang hanya tersisa Rifqo dan Angga, mereka langsung kalang – kabut. Angga langsung menekan tombol untuk memanggil dokter. Tidak ingin menjadi penghambat pemeriksaan Risa, Angga langsung keluar tidak lupa mendorong kursi roda adiknya. Ayah, ibunya termasuk ibu Kina terlihat bertanya mengenai keadaan Risa, ekspresi kecemasan tidak bisa mereka sembunyikan dari wajahnya. Sebisa mungkin Angga menjelaskan semuanya dengan singkat, padat dan jelas.
Mamah Lina, Pak Rahman, Ibu Kina, Rifqo dan Angga langsung tersenyum lega saat dokter mengatakan jika Risa baik – baik saja, mereka langsung masuk saat dokter mengizinkan meraka untuk masuk. Ibu Kina langsung memeluk Risa, sebagai ungkapan rasa lega yang dia rasakan setelah melewati ketegangan beberapa saat lalu.
“Bapak kemana bu, ko aku dari tadi enggak lihat ?” tanya Risa, sambil menelisik keadaan sekitarnya.
Ibu Kina tersenyum, dia seakan sudah mempersiapkan dirinya sejak lama, jika Risa akan mempertanyakan keberadaan ayahnya. Jari telunjuk ibu Kina menunjuk kearah tembok samping, mengisyaratkan jika ayahnya berada diruangan sebelah.
“Dia sedang beristirahat dikamar sebelah kamu, jangan khawatir dia akan baik – baik saja”
“Oh iya sayang, apakah kamu tahu Angga lulus tes masuk sekolah Islam yang ada di Bandung, hebatkan dia ?” tanya Ibu Kina, sambil tersenyum hangat.
Tatapan Risa yang semula menatap Ibunya beralih manatap kearah Angga yang sedang menatap kearahnya juga. Kemudian Risa tersenyum, sebelumnya Risa sudah yakin jika Angga pasti akan lulus, karena semalas – malasnya Angga dia tetaplah anak yang cerdas. Itulah yang Risa tahu tentang sahabatnya yang tidak banyak orang lain tahu.
“Selamat Angga, aku ikut merasa bahagia atas keberhasilan kamu” ujar Risa, tulus.
Mata mereka yang masih saling menatap, membuat Risa merasakan jika ada sesuatu yang ingin Angga sampaikan tapi dia tidak bisa katakan. Kemudian Angga tersenyum, jika kekuatan yang dia punya saat mengerjakan soal – soal tes adalah semangat Risa, maka sekarang keberangkatannya juga adalah semangat yang baru Risa berikan kepada dirinya beberapa menit lalu. Angga juga jadi teringat tentang ucapan pria paruh baya yang berbincang dengannya selepas shalat Dhuha. Jadi Angga, mungkin harus membuat Risa yakin jika dia pantas menjadi calon imamnya.
“Kapan kamu akan berangkat ?” tanya Ayah Angga, tiba – tiba.
Angga menoleh kearah ayah dan ibunya kemudian dia memalingkan wajahnya kearah lain, setelah itu dia kembali menolehkan kepalanya kearah Risa, Angga seakan sedang menimang jawaban yang paling tepat untuk dia katakana, hatinya sudah bertekad jika hari ini Risa memberinya dukungan untuk segera berangkat, maka sore ini juga dia kan berangkat karena barang – barang sudah ibunya bereskan, jaga – jaga jika Angga berubah pikiran setelah barusan.
“Aku tidak tahu, keadaan disini tidak memungkinkan aku untuk segera pergi” ujar Angga, masih berusaha untuk mengelak.
“Jangan pikirkan tempat ini, karena disini kami memiliki begitu banyak tangan yang terulur untuk memberikan pertolongan, pergilah, berjuanglah untuk masa depanmu, buat kami bangga atas keberhasilan kamu” ujar Risa, sambil menatap Angga dengan senyuman yang membingkai wajahnya seakan meyakinkan Angga.
Saat itulah waktu dimana Angga tidak lagi mempunyai celah untuk menolak, Angga menoleh kearah ibunya, disanalah Angga bisa melihat seulas senyum keyakinan. Karena keyakinan yang tumbuh di hati Angga berasal dari senyuman dan dukungan dari ibunya, termasuk Risa yang sudah melewati berbagai hal dalam kehidupan bersama dengannya hampir seumur hidup.
“Tentu aku akan segera berangkat sore ini, akan aku buat kalian bangga karena selalu mendukung setiap rekam jejak perjalan kisahku” ujar Angga, sambil tersenyum di akhir kalimatnya, membuat semua orang yang mendengar ucapan Angga ikut tersenyum bahagia.
“Untuk kamu, tunggulah aku pulang nanti” Angga membisikan kalimat itu tepat disamping telinga Risa, membuat semua orang tersenyum melihat sepasang remaja dihadapan mereka, kentara sekali jika memang perasaan mereka sudah saling mengikat satu sama lain,
Kedua orang tua Angga dan Ibu Kina yang sudah memahami bagimana sekarang hubungan putra putri mereka, tidak ada satupun diantara mereka yang melarang atau mencegah mereka saling mencintai. Karena, sebagai orang tua yang sudah memiliki banyak pengalaman, sadar betul jika rasa cinta adalah sebuah fitrah yang umum di rasakan setiap manusia
“Angga pulang mau mengambil barang – barang yang akan Angga bawa, setengah jam lagi Angga kesini, Assalamu’alaikum” ujar Angga, berlalu pergi setelah menyalami tangan orang tuanya yang ada disekitarnya.
“Wa’alaikumussalam Warahmatullah”
***
Seperti yang sudah Angga katakan sebalum dia pulang untuk mengambil barang – barang. Angga kembali ke rumah sakit untuk berpamitan, dia datang dengan penampilannya yang sudah jauh lebih rapih dari sebelumnya, Saat Angga, membuka pintu ruang perawatan Risa, tidak ada siapapun didalamnya, hanya ada Risa yang sedang terlelap tidur. Kaki Angga melangkah, mendekat kearah ranjang Risa dengan pintu yang dia biarkan terbuka.
“Terimakasih untuk segalanya Diana Merissa, aku mencintai kamu dan akan selalu seperti itu, karena kamu sedang tidur aku pamit ya” ujar Angga, sambil tersenyum memandang wajah lelap Risa yang masih terlihat pucat.
Angga menatap wajah Risa sebelum dia benar – benar pergi, mungkin jika ada sebuah tolenransi, Angga ingin satu kali saja menggenggam tangan Risa dan mengecupnya untuk salam perpisahan sementara, tapi sayangnya toleransi itu tidak ada.
“Aku pergi, jika bisa jagalah hatimu untukku, jangan biarkan siapapun merebut posisiku didalam hatimu, aku mencintaimu, tunggulah aku” ujar Angga, sambil berlalu meninggalkan ruang perawatan Risa.
Setelah dari ruangan Risa, Angga melangkah kakinya menuju keruang perawatan Rifqo, ternyata orang tuanya dan ibu Kina sedang berada diruang perawatan Rifqo, Angga menatap satu persatu wajah mereka yang belum menyadari kehadirannya. Terakhir, Angga menjatuhkan tatapan matanya kearah sang kakek yang masih menutup matanya.
“Aa, udah mau berangkat ?” tanya Rifqo, orang pertama kali menyadari kehadiran Angga, membuat Angga mengangguk kemudian melangkah masuk mendekati orang – orang yang di sayanginya
Selama beberapa menit Angga menghabiskan waktunya untuk bercengkrama dengan para orang tua, hingga sampai pada waktu dimana Angga akan berangkat, tiba – tiba Rifqo meminta untuk di temani jalan – jalan ke taman rumah sakit. Tidak ada kalimat apapun yang keluar dari mulut Angga, dia hanya mendorong kursi roda mendekat kearah Rifqo, sebagai tanda jika dia meminta Rifqo naik ke atas kursi roda dan dia akan menemaninya.
Angga duduk diatas bangku yang tersedia dibawah pohon rindang, memandang indahnya beberapa bunga yang tumbuh dan terlihat terawat dihadapannya, kemudian dia memandang langit yang masih terlihat cerah.
“Jangan kebanyakan melamun, jalani aja semuanya seperti air mengalir, jangan dijadikan beban pikiran, ingat perjalanan Aa masih panjang, jika sekarang Aa harus berangkat meninggalkan Teh Risa yang baru saja sadar beberapa jam yang lalu, bahkan mungkin Aa masih ingin menghabis lebih banyak waktu sebelum berangkat bersama teh Risa, yakinlah jika ini adalah salah satu cara Allah menguji kalian, yakinlah juga jika nanti kalian memang berjodoh Allah pasti akan mempersatukan kalian dengan cara yang paling indah” ujar Rifqo sambil memandang lurus ke titik semu.
Angga menolehkan kepalanya, sebagai seorang kakak yang selama ini lebih sering marah dari pada baiknya, kepada Rifqo karena sikap menyebalkannya. Angga benar – benar menyangka adiknya, yang dia anggp masih kecil itu bisa berbicara dengan bijak sana. Angga mengacak rambut Rifqo setelah dia beberapa saat, membuat sang empu memberengut kesal atas apa yang sudah dilakukan oleh kakaknya.
“Mimpi apa Aa semalam Qo, kamu mendadak jadi pinter gini” ujar Angga sambil tersenyum saat melihat wajah kesal adiknya.
“Aku memang pinter, Aa aja yang gengsi mengakuinya dari dulu” jawab Rifqo, ketus.
Angga tertawa mendengar ucapan adiknya, dia akui jika Rifqo memang jauh memiliki perasaan lebih peka dari pada dirinya yang cuek.
“Aa titip surat ini untuk teh Risa” ujar Angga sambil menyerahkan sebuah surat yang sudah terbungkus rapi kearah Rifqo, bocah itu mengangguk lalu menerima surat itu.
Pembicaraan mereka terus berlanjut, sampai akhirnya tiba waktu dimana Angga hatus benar – benar pamit, Angga membawa Rifqo menuju ruang perawatanya, yang ternyata disana masih menjadi tempat berkumpul mereka. Angga memeluk satu persatu yang pada saat itu ada disana, kemudian dia benar – benat pamit karena hari akan semakin sore jika Angga tidak segera berangkat.
“Tunggu aku Sa, aku pasti akan kembali, kita akan sama – bersama. mama menikmati waktu senja lagi” gumam Angga saat dia berhenti tepat didepan ruang perawatan Risa.