#R - Senja dan Keputusan

2011 Words
Pagi – pagi sekali setelah selesai melaksanakan shalat subuh Angga langsung pergi menuju ke tepi pantai, tidak banyak aktivitas yang Angga lakukan disana dia hanya diam duduk termenung tanpa aktivitas lain, tatapan matanya menerawang jauh pada luasnya lautan. Angga melewati paginya setelah mengetahui kabar tentang Risa seperti orang yang tidak mempunyai tujuan hidup. Dia sengaja datang lebih pagi ke tepi pantai untuk menikmati keindahan proses terbitnya matahari, berharap saat matahari terbit dia bisa juga melihat kehadiran sahabatnya. Namun, harapan itu hanya tinggal menjadi sebuah harapan, karena nyatanya sekarang Risa belum juga ditemukan. Sekarang dibelakangnya tidak ada lagi masjid atau perumahan warga, biasanya dipagi – pagi seperti sekarang orang – orang akan berbondong – bonding berjalan menuju pantai menghampiri perahu yang akan mereka gunakan untuk berlayar, mencari ikan untuk menyambung kehidupan mereka dimasa yang akan datang. Tapi, pagi ini semua terlihat sepi, tidak ada perahu yan sedang berlabuh di tepi pantai kecuali puing – puing pecahan bagian perahu yang hancur, dibelakangnya tidak ada lagi pemukiman rumah warga yang biasanya akan terlihat lampu – lampu menyala saat waktu masih terlalu pagi atau menjelang sore. Namun, sekarang pemukiman rumah warga itu sudah rata dengan tanah, hanya tersisa bongkahan – bongkahan bagian bangunan rumah dan masjid yang sudah hancur. “Angga kamu teh lagi ngapain atuh pagi – pagi gini udah ngelamun dipantai  sendiri pula, nanti kesambet baru tahu rasa kamu” Tiba – tiba suara itu muncul dari arah belakang tubuh Angga membuat Angga menoleh dan mencari tahu siapa gerangan pemilik suara yang tiba – tiba muncul itu. Dibelakang tubuhnya Angga melihat ada Rama yang pada saat itu sedang menatap kearah Angga dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian Rama berjalan semakin mendekati Angga lalu mendudukkan tubuhnya tepat disamping tubuh Angga. Kedua laki – laki itu terdiam dalam waktu yang bersamaan seakan keduanya tengah bercengkrama dalam senyinya suasana pantai. “Ram ko sampai sekarang Risa belum juga ketemu ya ?” Suara Angga terdengar sanagt putus asa, dia seakan sudah kehilangan harap untuk bisa betemu dengan Risa lagi. Untuk sesaat Rama tesenyum, kentara sekali perasaan Angga kepada Risa, lagi pula laki – laki mana yang bisa menolak Risa, menurut Rama Risa itu paket komplit, sudah cantik, baik, cerdas, shalihah pula apa yang kurang darinya. Namun, Rama sadar jika dia berani mencintai Risa berarti dia juga harus siap menerima resiko terluka karena lawan yang harus dihadapinya untuk mendapatkan Risa adalah Angga. Laki – laki yang sudah menghabiskan waktu wampir seumur hidupnya bersama Risa. “Dalam kehidupan kamu, Risa yang hilang Ga, sedangkan orang tuamu masih ada mereka selamat dan baik – baik saja, adikmu selamat meskipun dia mengalami beberap luka dan sempat dinyatakan mengalami geger otak, kakek kamu ditemukan wujudnya ada terlihat meskipun keadaannya sedang koma. Semenata aku, ayahku, ibuku, kakak ku, dan adik ku semuanya tidak ada, aku tidak  tahu mereka sedang apa dan dimana, aku tidak tahu apakah meeka masih bernafas atau tidak, tapi aku berusaha untuk tetap tegar dan sabar rmenanti apa keputusan yang Allah siapkan” “Rasanya aku ingin sekali menangis, marah tapi aku tidak tahu harus kepada siapa aku marah. Apakah aku harus marah kepada Allah karena Dia aku tuding sudah berlaku tidak adil dengan  cara mengambil orang – orang yang aku saang. Tidak, Allah tidak pantas aku salahkan, Allah tidak pantas aku salahkan atas segala yang sudah terjadi padaku karena dia sudah sangat berlaku adil kepadaku” Suara Rama terdengar melemah diakhir kalimatnya, Rindu tentu saja dia sangat merindukan keluarganya, ingin bertemu tentu sangat ingin tapi Rama tidak tahu kemana dan dimana dia bisa menemui keluarganya. Angga menoleh menatap kearah Rama, Angga baru saja tersadar jika dibelakangnya masih begitu banyak orang yang lebih bersedih dari pada dirinya, seharusnya untuk sekarang Angga bersyukur setidaknya Allah masih mengizinkannya bersama dengan keluarganya. Angga merangkul bahu Rama dan menepuk pundak Rama seakan semua itu adalah sebuah isyarat jika jika dia akan selalu bersama dengan Rama, menjadi teman yang akan selalu ada untuknya. Rama menoleh kemudian tersenyum menatap Angga. “Yaudah aku mau cari kayu bakar dulu buat masak nanti” Rama bangkit dari posisinya dia menyeka air mata yang tidak tahu sejak kapan sudah mengalir membasahi kedua belah pipinya. Laki – laki juga seorang manusia dia juga bisa menangis disaat merasa sedih, dan tangisnya seorang laki – laki adalah bukti sebuah ketulusa. Maka jika Rama baru saja menangis, itu bukan air mata yang menunjukan jika Rama cengeng tapi sebalijnya. Air mata itu menjadi bukti jika Rama tulus mencintai keluarganya, jika Rama mempunyai kasih sayang yang begitu besar untuk seluruh keluarganya. “Yaudah ayo aku bantu” Angga ikut bangkit dari posisinya kemudian berjalan disamping Rama, tidak tahu kenapa setelah mendegar rentetan kalimat diucapkan oleh Rama, semangat Angga kembali muncul, Rama benar yang perlu dilakukannya sekarang adalah percaya dan yakin kepada Allah. Senyuman Rama merekah saat dia melihat Angga sudah kembali, Angga kembali memiliki semangat. Setelah merasa kayu yang sudah mereka cari sejak satu jam lalu cukup banyak, akhirnya Angga dan Rama memutuskan untuk  kembali ketempat pengungsian, hari sudah mulai siang, matahari sudah mulai naik membuat suasana menjadi sedikit terasa panas. Maka sebelum matahari benar – benar berada diatas kepala mereka Angga dan Rama memutuskan untuk langsung pergi ketempat pengungsian saja. Angga mendudukkan tubuhnya diatas sebuah bangku yang memiliki bentuk persegi empat yang sengaja warga buat untuk tempat mereka mengobrol bersama untuk melepas rasa lelah setelah mencari kayu bakar. Namun, belum sampai 5 menit Angga duduk kedua orang tuanya datang menghampiri Angga duduk mengapit Angga. Angga yakin pasti ada hal serius yang ingin disampaikan oleh kedua orang tuanya, hanya saja dia masih belum bisa menebak dengan pasti apa hal yang ingin disampaikan oleh orang tuanya. “A bagaimana sekarang keadaan kamu ? Maafkan mama dan bapak yang tidak memberi tahumu itu semua mama lakukan karena mama tidak ingin fokus kamu pecah terbagi menjadi dua” Mama Lina menatap Angga dengan sendu ada segurat rasa bersalah yang terpancar dari matanya saat sang mama menatap Angga tepat dibagian matanya. Mama Lina membelai rambut Angga dengan penuh kasih sayang. “Tidak ma, Tidak sepantasnya mama meminta maaf kepada Angga, seharusnya Angga yag meminta maaf sama mama dan bapak” Mama Lina tersenyum mendengar penuturan yang terucap dari lisan Angga, mereka tahu jika putra sulung mereka adalah anak yang baik, jika sedang kesal maka dia tidak akan bicaraa diam. “Oh iya A mama dan bapak mempunyai kabar bagus untuk kamu” “Apa ?” “Tadi bapak mendapat telepon dari pihak sekolah katanya kamu lulus tes dan bisa sekolah disana, kamu senangkan A” Wajah Angga yang awalnya berbinar bahagia penuh penasaran perlahan meredup pertanda bahwa  kabar bahagia yang dibawa kedua orang tuanya bukan kabar bahagia yang diinginkan Angga, bukan Angga tidak bahagia atas apa kelulusannya masuk sekolah yang memang dia inginkan, hanya saja jika untuk saat ini kabar itu bukanlah kabar bahagia tapi kabar yang akan sukses membuatnya merasa bingung. “Kamu senangkan ?” Mama Angga mencoba bertanya kepada Angga untuk yang kedua  kalinya, dia mencoba memastikan bagaimana perasaan putranya saat tahu jika dia lolos disekolah Islam. “Angga tidak tahu mah apa Angga harus senang atau sedih, yang jelas Angga menolak jika mama meminta Angga untuk berangkat diwaktu dekat ini, Angga tidak bisa meninggalkan keluarga Angga dan saudara – saudara Angga, yang sedang tertimpa musibah” Angga berkata dengan tegas namun masih menyiratkan kesopanan, Angga sadar saat ini dia sedang berbicara dengan siapa, yaitu dengan kedua orang tuanya.  Dua orang manusia yang sudah membuainya dengan penuh kasih sayang dan cinta sejak dia lahir kedunia, sudah sepantasnya Angga berlaku sopan dan santun dalam berkata kepada keduanya. Setegas apapun Angga berkata dia tidak bisa berkata dengan mnghilangkan norma sopannya. “Tapi A ini demi masa depan kamu” Mama Lina berusaha membujuk Angga, agar anak sulungnya bersedia berangkat dalam waktu dekat, bukan mama Lina tidak peduli akan maksud ucapan putranya dia hanya ingin yang terbaik untuk Angga, mama Lina mengerti jika Angga ingin berada didekat keluarganya, mendapingi kelurganya disaat mereka sedang dalam keadaan kesusahan dan berduka seperti sekarang. “Mereka saudara Angga mah, apakah pantas seorang keluarga meninggalkan keluarganya yang sedang dalam keadaan kesusahan dan kesulitan, Angga minta maaf tapi Angga benar – benar tidak bisa ma, pak Angga pamit dulu, Assalamu’alaikum” Angga bangkit dari posisi duduknya tidak lupa sebelum pergi dia menyalami tangan kedua orang tuanya. Dalam setiap langkah kakinya Angga merasakan sebuah kebimbangan yang begitu besar. Dia bahagia bisa lulus tes masuk sekolah Islam itu tandanya dia sudah berhasil membuat Risa bangga, karena yang menjadi alasan utama Angga bersedia masuk sekolah kesana adalah Risa, dia berjuang keras agar bisa lulus tes demi Risa. Namun, sekarang disaat dia berhasil mencapai semuanya, orang yang menjadi alasan keberhasilannya justru tidak diketahui keberadaannya. Selain itu dia juga tidak mungkin meninggalkan semua orang yang sudah dianggapnya saudara dalam keadaan seperti ini, Angga ingin membantu mereka pulih dari duka yang mereka rasakan. Dia juga ingin membantu menyembuhkan luka yang ada dalam hati mereka atas kepergian sanak saudara. Angga sungguh merasa bingung apakah sekarang dia harus bahagia atau bersedih. Tanpa terasa sekarang kaki Angga sudah berpijak diatas lantai rumah sakit tempat dimana kakek dan adiknya dirawat, Angga yakin pasti sekarang adiknya sedang sendirian karena kedua orang tuanya sedang pulang tadi, maka dari itu setelah dia selesai berbicara dengan kedua orang tuanya Angga memutuskan untuk pergi kerumah sakit untuk menemui adiknya. Saat Angga tiba dikamar yang ditempati kakek dan juga adiknya dia menemukan Rifqo yang ternyata belum tertidur, anak itu masih membuka matanya, dia hanya diam tanpa ada aktivitas apapun yang dilakukannya, mataya yang semula menatap lurus kearas langit – langit atau lebih tepatnya pada cahaya lampu perlahan teralih menatap Angga yang pada saat itu baru saja membuka pintu. “Orang sakit jangan melek mulu” Angga menepuk kaki Rifqo yang pada saat itu tertutup selimut, wajah Rifqo yang semula terlihat biasa saja berubah menjadi tegang dan meringis kesakitan saat sang kakak menepuk bagian kakinya yang patah. Jika bisa ingin sekali saat itu Rifqo mencakar wajah tanpa dosa kakaknya. “Maaf, maaf  lupa” Angga berkata sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman yang menunjukan deretan gigi putihnya, siapapun pasti tidak akan menyangka jika kakaknya yang dingin dan datar bisa mempunyai sikap semenyabalkan ini. “Jadi kakak ko nyebelin amat” Tidak ada tanggapan apapun yang keluar dari mulut Angga, dia lebih memilih diam kemudian mendudukan tubuhnya diatas sebuah kursi yang tersedia didekat ranjang Rifqo. Matanya menatap dengan tatapan kosong hal itu tentu membuat adiknya merasa aneh dengan sikap kakaknya. “A Angga” “A Angga” “Apa ?” Akhirnya setelah dua kali Rifqo memanggil kakanya menyahut, Rifqo tahu pasti kakaknya itu mempunyai beban pikiran yang seadang menghantuinya. “Ada apa?” Untuk sesaat Angga diam menatap adiknya, dia sedikit tidak menyangka jika adiknya mempunyai tingkat kepekaan yang cukup tinggi. “Aa keterima sekolah di SMA Islam Bandung itu qo” Sesaat Rifqo mengerutkan dahinya bingung, bukankah jika begitu seharusnya kakaknya itu merasa bahagia tapi kenapa yang saat ini Rifqo lihat adalah sebaliknya, Rifqo tahu sebesar apa perjuangan kakaknya agar bisa lolos tes sekolah itu tapi mengapa saat hasil yang diinginkan kakaknya sesuai dengan apa yang dia inginkan dia justru terlihat diliputi kebimbangan. “Terus masalahnya dimana bukannya itu kabar yang bagus ?” “Aa gak mau berangkat ke pesantren dalam waktu dekat ini qo, keadaan disini masih belum membaik kamu saja masih harus dirawat dirumah sakit” Rifqo merasa yakin bahkan sangat yakin jika alasan utama kakanya bukanlah hal itu namu hal lain hanya saja dia tidak mengutarakannya. “Oh ya karena itu ? karena itu atau karena teh Risa yang…” “Iya itu juga apalagi” Angga memotong perkataan adiknya yang bahkan belum sempat menyelesaikan kalimatnya. “Aa tahu, teh Risa waktu tahu Aa berangkat kekota untuk tes masuk sekolah islam dia terlihat bahagia sekali, apalagi sekarang pas dia tahu Aa lulus tes pasti teh Risa akan sangat bahagia mendengar kabar ini” Rifqo berkata sambil membayangkan wajah Risa yang kala itu terlihat berbinar bahagia saat mengetahui jika kakaknya akan masuk sekolah islam, masih teringat dengan sangat jelas dalam ingatan Rifqo tentang momen obrolan itu, waktu itu adalah waktunya terakhir berbicara dengan Risa. “Jangan hancurkan kepercayaan teh Risa kepada Aa, aku tahu ada yang lain diantara kalian meskipun belum terikat hubungan, bahagiakanlah dia yang selalu mengharapkan kebahagiaanmu A” Angga terdiam mendengar penuturan adiknya, dia tidak menyangka seorang adik yang masih dia anggap anak kecil bisa berpikir sedewasa dan setenang ini dalam menghadapi permasalahn yang menurut Angga terasa berat. “Uh anak kecil” Angga berkata sambil  mengacak rambut Rifqo. “Aku memang anak kecil tapi aku gak kaya anak kecil” Rifqo berkata dengan sedikit menyombongkan dirinya, hal itu berhasil membuat Angga tertawa. Rasanya sudah lama sekali Angga tidak melewati waktu seperti ini bersama adiknya setelah sekian lama, dan dia bersyukur hari ini bisa kembali melakukannya
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD