Empat

1590 Words
Lili mematikan alarm, ia merasa tidak akan memerlukannya lagi. Ia nyaris tidak tidur sama sekali dan kini tidak ada gunanya ia mencoba untuk tidur. Seharusnya, insomnia ini adalah gejala kekhawatirannya akan situasi pekerjaannya yang berada di ujung tanduk. Lili menatap sisi kosong ranjangnya. Ia telah lama sendiri sejak hubungannya dengan Edward berakhir setahun beberapa bulan, ya lebih dari dua belas bulan setelah ia menghitung ulang, dan dirinya sempat berkencan singkat sebelum kembali berakhir sendiri. Hari masih gelap saat dirinya mencoba untuk beranjak dari ranjang, jadi ia menyalakan lampu, meneliti ruangan untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa mengalihkan pikirannya. Lili membuka laci nakas, mencari iPod miliknya, namun ia teringat telah meninggalkannya di laci kantor. Pandangan mata Lili jatuh pada sebuah tas hadiah pakaian dalam perempuan yang tergeletak di dekat kaki ranjang. Ia lupa mengembalikannya ketempat semula usai mengeluarkannya dari lemari karena ia telah mengisinya dengan yang baru sesuai dengan saran Julie untuk berbelanja. Lili mengambilnya lagi, mengeluarkan bra dan celana dalamnya. Panel-panel tipis satin hitam berenda. Ukurannya terlihat kekecilan untuk tubuhnya yang sekarang. Lili melepaskan celana piamanya dan menyingkirkannya dengan kaki sambil menarik atasannya melewati kepala. Lili meninggalkan tumpukan katun berwarna pastel itu di lantai dan ia kenakan pakaian dalam dengan label yang masih melekat, dan ujung-ujungnya terasa tajam mengenai kulit mulusnya. Lili menjejalkan kedua payudaranya ke dalam dua mangkuk bra yang terlihat kekecilan itu, lalu ia berdiri di depan cermin berkaki di sudut kamar. Lili lupa kapan terakhir kali ia memandangi dirinya sendiri dengan hanya berbalut pakaian dalam seperti yang saat ini dilakukannya. Pantulan cermin tidak seburuk yang ada dalam bayangan di kepalanya. Dari luar, Lili merasa tidak sejelek yang ia rasakan dari dalam. Tetapi ia masih tidak menyukai apa yang dirinya lihat. Ukuran dan bentuk perutnya yang sedikit membulat jika dibandingkan dulu, tetapi Lili sadar dirinya telah menyantap segala jenis makanan belakangan ini. Lili melakukannya sesuai dengan keinginan dirinya untuk makan. Kini, Lili mulai membenci tubuhnya, nyaris sebesar kebenciannya akan dirinya sendiri. Lili tak ingin melihat lagi, jadi ia putuskan untuk memadamkan lampu, namun rasanya sia-sia, karena dirinya masih dapat melihat bayangan tubuhnya dari pantulan cermin. Lili menyambar piama untuk menyembunyikan tubuhnya, sampai ia merasakan sesak dan memutuskan untuk melepaskannya dan mengembalikannya ke tempat di mana ia menemukannya. Hari masih sangat gelap, Lili bisa melihat langit yang tak berbintang dari jendela kamarnya yang tak tertutup korden. Ia meraih ponselnya sebelum kembali merebakan tubuhnya di atas ranjang. Hanya ada sebuah pesan chat yang dikirimkan Julie yang tak lain nama aplikasi perjodohan yang harus dirinya download terlebih dahulu di dalam ponsel. Lili berbaring miring. “Kau harus mencobanya. Dan aku telah membacanya, kebanyakan dari mereka berhasil, Li. Mereka menemukan jodoh dan salah satunya teman John.” Suara milik Julie seakan nyata di dekat telinga Lili. Dihelanya napas panjang dan menghembuskannya dengan pelan. Menyingkirkan sesak di dadanya. Lili kembali telentang, menatap langit-langit kamar. “Ini akunmu. Username dan juga password milikmu.” Spontan kelopak matanya melebar, kantuknya menghilang entah kemana. Lili mulai mencoba untuk mendownload aplikasi perjodohan yang ditawarkan Julie. “Aku harap kau benar-benar datang. Aku akan memperkenalkanmu dengan calon istriku.” “Aku ingin kau membawa kekasihmu, Lili. Kita akan saling berkenalan.” Serangkaian isi pesan yang dikirimkan Edward pada Lili kemarin. Tak lama berselang, tak sampai tiga menit, aplikasi berhasil di download dan Lili bangkit kembali dari tidur, beranjak untuk menyambar tas tangan miliknya yang tergeletak di sofa. Mengaduk isinya dan menemukan sobekan kertas yang diberikan Julie seminggu yang lalu. Lili menyimpannya di sela dompet miliknya. Mata Lili terbelalak saat ia mendapati photo profile yang dipilih Julie untuk menghiasi akun miliknya. Lili sempat kesal, namun semua berubah dalam sekejap saat beberapa pesan telah masuk, dan ia membukanya. Membacanya satu per satu, namun tak ada yang menarik untuknya. Lili mencoba untuk menyelidikinya sampai dirinya tenggelam dalam pencarian.   ***   Jari lentik Nicole sungguh membuat William b*******h, dan William mencoba untuk mengalihkan perhatiannya. Meskipun v****a Nicole bersih dicukur, hampir tidak berbulu, namun nyantanya tidak membantu mengalihkan perhatian William sama sekali. William bergidik dan membenamkan wajahnya dalam diri Nicole sekali lagi, berkubang dalam aroma dan suara yang Nicole keluarkan saat lidah William membelai langsung pada bibir v****a Nicole yang merekah. “Ooohhh… Will..” Suara Nicole mendesah yang tertahan di belakang tenggorokan bergetar dari mulutnya menuju kejantanan William dan memberitahu William tentang gairahnya lebih jelas dibandingkan yang terlihat dari ekspresi wajahnya. William terus memutar lidahnya di atas cairan milik Nicole, dan William berjuang untuk berkonsentrasi karena Nicole telah memindahkan tangan ke bola-bolanya dan membelainya, dan bibir Nicole menutupi kepala k*********a, naik turun perlahan-lahan sepanjang kejantanannya, bahkan ketika merasakan tangan Nicole bermain di atas p****g kecilnya, William tak tahan. Itu benar-benar menyiksanya, terutama pada setiap gesekan mulut panas Nicole. Tidak bergerak maju-mundur, hampir tidak ada gerakan sama sekali, hanya gerakan lambat Nicole membawa kejantanannya semakin dalam. William nyaris berhenti bernapas ketika ia merasa kepala kejantanannya yang membesar menyentuh bagian belakang tenggorokan Nicole. Dan Nicole tetap seperti itu, selama beberapa detik. Gadis ini benar- benar seorang penyihir, teknik mengisap kejantanannya berbeda daripada yang pernah William rasakan sebelumnya. Sesaat ketika William pikir dia mungkin meledak di sana, Nicole bergerak, menarik kembali hingga hanya kepalanya saja yang berada di dalam mulutnya. Nicole menjilati sekeliling kepala kejantanan William dalam gerakan melingkar yang lambat. William memeluk pinggul Nicole, menarik pinggulnya lebih dekat ke wajahnya, dan mulai menjilati gadis itu dengan sungguh-sungguh, menjilatinya dengan cepat dari depan hingga ke p****t kecilnya yang manis. “Ooohhh… b******n kau, Wiiiillll,” desah Nicole penuh kenikmatan. Ia mengigit bibir bawahnya, matanya memejam, mencoba untuk menahan gairah yang memuncah. William melakukannya dengan cepat dan berharap Nicole akan mempercepat gerakannya juga, mungkin bertemu irama yang sesuai dan meringankan siksaan yang dirasakannya. Jadi Nicole akan menangkap isyarat dan mereka bisa mencapai puncak mereka bersama-sama. “Buka matamu, Cantik. Aku ingin melihat wajahmu saat kita mencapai puncak bersama-sama.” William mempercepat gerakannya hingga letupan gairah itu tak mampu lagi mereka tahan, mengiring keduanya mencapai puncak. “Oohhh…Baby,” desah Nicole sebelum ia tenggelam dalam sensasi semburan cairan milik William yang terbungkus kondom. “Oh Sial,” gumam William beberapa menit setelah ia memastikan miliknya keluar dari lubang v****a milik Nicole. Gadis itu telah terlelap, seakan tertinju telak. William langsung beranjak untuk duduk di tepian ranjang, melepaskan kondom yang masih terpasang di batang ereksinya. Menariknya lepas dan mengikatnya sebelum ia melemparkannya masuk ke dalam tempat sampah. Pandangan mata William tertuju pada ponsel rahasianya yang menyembul keluar dari saku celana jinsnya yang teronggrok di lantai. Ponselnya tampak berkedip-kedip, William langsung menyambar dan bergegas menuju ke kamar mandi dengan tubuh telanjang. Banyak panggilan tak terjawab, dan semuanya berasal dari nomor milik Steven Abbott. Dan sebuah pesan terakhir yang masuk beberapa menit lalu. Steve : Kami akan bergerak besok untuk penyelamatan Brigitt. Sebaiknya kau tidak berada di dekat mereka, Will. William langsung menekan deretan nomor milik Steve. Dering pertama ia langsung mendengar suara berat milik Steve. “William, kau dimana?” tanya Steve langsung. William tak langsung menjawab. Ia memastikan kembali pintu kamar mandi terkunci. “Aku lupa berada dimana, karena…sepanjang perjalanan aku melamun.” William mengakui kelalaiannya. “Kau sudah membaca pesanku?” tanya Steve seakan mengabaikan pengakuan salah William. “Ya, aku sudah membacanya. Aku punya informasi lain untukmu, Steve.” Suara milik William terdengar lebih kecil dari sebelumnya. Ia tak ingin Nicole mendengar suaranya dari balik pintu kamar mandi. “Informasi apa?” Terdengar Steve tak sabaran. William menghela napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Ia menyalakan kran di wastafel yang ada di hadapannya. Menyamarkan suaranya. “Mereka juga bermain di situs perjodohan.” “Apa?!” Suara Steve menajam. “Iya, mereka mencari mangsa dari situs perjodohan online… dan aku curiga jika Brigitt salah satu korban mereka, karena aku tak yakin ia korban penculikan paksa.” William menjelaskan hasil pengamatannya selama bersama Brigitt di ruang pengap itu. “Darimana kau mendapatkan kesimpulan itu?” Steve terdengar kian penasaran. William menelan ludah, mematikan kran di wastafel berganti menyambar kran dalam bathtub. “Tidak ada luka sayat, pengikatan atau sejenisnya yang selalu ada di kasus penculikan.” “Luka memar?” William mencoba untuk mengingat. Ada beberapa luka memar di tubuh mulus Brigitt. “Ada hanya saja tak banyak, Steve. Aku… aku menemukan beberapa kondom bekas di sana saat Marcus memintaku untuk menggantikannya menjaga gadis itu.” William mengatakannya dengan penuh penekanan. Ia merasakan kemarahan yang tertahan jika mengingat keadaan Brigitt. “Kau menduga jika… mereka melakukannya suka sama suka?” Tak ada jawaban dari William. Hanya suara gemericik air yang mulai memenuhi bak mandi. William sengaja memutar volume air kecil, mengulur waktunya untuk berada di dalam kamar mandi. “Gadis itu berencana kencan dengan kekasihnya.” “Apa maksudmu?” tanya William bingung. “Brigitt berselingkuh dari kekasihnya. Aku telah menemuinya siang ini.” Tarikan napas yang terasa berat, dan pikiran William kian terasa penuh. “Kau harus tetap menjadi William dari keluarga bajingan.” “Tidak. Aku ingin segera berakhir, Steve. Mereka bisa membunuhku kapan saja.” William mengungkapkannya dengan suara yang terdengar cemas. “Kau telah mendapatkan anak dari gembong mafia itu, William. Posisimu aman.” Terdengar ringan dan tanpa beban saat Steve mengatakannya. William mengutuki dirinya sekarang, menerima tawaran yang diajukan Steve beberapa minggu lalu. “Tidak. Marcus Nostra selalu mencurigaiku. Aku---” “Will. William.” Suara milik Nicole yang disusul dengan suara ketukan di pintu menghentikan percakapan antara William dan Steve. “Aku akan mengabarimu lagi nanti.” William langsung mematikan ponselnya dan menyembunyikannya dalam laci dengan sembarang. “Will, sayang. Kau dengar aku? Aku ingin bergabung denganmu,” ucap Nicole dengan lantang dari balik pintu. William langsung menuangkan sabun cair dalam bak mandi hingga berbusa sebelum ia kembali mendekat kearah pintu. Ia memutar kenop dan tampak Nicole yang telanjang bersandar pada dinding. “Aku ingin bergabung denganmu,” kata Nicole dengan suara manja. Nicole menjulurkan telapak tangannya pada batang ereksi William yang tampak menjuntai dengan ukuran yang sudah lebih kecil dari saat ia berada di dalam k*********a. “Kau wanita penggila seks, Nicole,” ucap William dengan senyum miring sebelum Nicole mendorong masuk dan membawa keduanya ke dalam bathtub. “Aku menyukai seks panas bersamamu, Will sayang.”   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD