Rumah Sakit Jiwa

1087 Words
14.00 WIB. Bu Della baru ingat kalau siang ini ada janji dengan Bu Yuyun di RSJ Seraya. Sedari tadi, Bu Della sibuk mengoreksi tugas anak muridnya sampai lupa jam. “Kita cukupkan pertemuan hari ini, Fahri tolong kembalikan buku teman-temanmu,” Bu Della mengamanahkan setumpuk buku ke Fahri untuk dikembalikan.   “Tidak ada tugas kan Bu untuk minggu depan?” tanya Fahri sembari merapikan bukunya. Bu Della beranjak dari kursinya dan keluar ke pintu kelas. Ponsel Bu Della terus berbunyi dan tercantum nama Bu Yuyun disana. “Duh, udah telat kali ya,” Bu Della mengintip jam tangannya, “harus agak cepat nih,” sambung Bu Della dan langsung menyalakan motor matic-nya. *** Tok…tok…tok…. “Haloooooo,” Andin membukakan pintu seraya memamerkan wajah lucunya. “Ngagetin aja loh,” ucap Bu Della. “Ibu telat jemput saya nih, udah jam berapa coba?!” Andin manyun. “Udah, bawel. Ayo kita langsung berangkat,” “Hampir setengah jam saya menunggu, Bu,” Andin manyun lagi. Andin dan Bu Della berboncengan dan melaju ke RSJ Seraya. “Bisa buka google maps, Din? Ibu agak lupa,” pinta Bu Della. “Eh bentar, ponsel kamu sudah dikembalikan Mamamu, kan?” “Sudah dong Bu, tenang aja, kali ini aku menjadi penunjuk jalan,” Kemudian Andin membuka fitur google maps di ponselnya dan menekan arah jalan menuju RSJ Seraya. “Wah jauh juga, Bu, tiga puluh menit lagi kita sampai,” ucap Andin membaca di layar ponselnya. “Sumpah? Apalagi ini daerah rawan macet,” Bu Della menghela napas panjang. “Panas pula, bedak dan lipstik saya luntur, Bu.” Andin berkaca dari spion memastikan beda dan lipstiknya luntur apa tidak. Cit…cit…cit…. motor Bu Della mengeluarkan bunyi berdecit dan tiba-tiba berhenti. “Loh, ada apa, Bu?” tanya Andin heran. “Wah, Ibu lupa kalau bensinnya sudah minim,” Bu Della menepok jidatnya. “Lalu? Sekarang habis beneran, Bu?” tanya Andin lagi. Bu Andin mengangguk. “Bantu dorong dan mencari pom bensin, bisa Din?” Bu Della menyeringai. Andin langsung menggenggam pegangan jok belakang motor dan mendorong pelan-pelan. Ini pertama kalinya Andin mendorong motor yang mogok, biasanya motornya yang mogok didorong sama Bu Ranti. “Kuat kan, Din?” Bu Della memastikan. “Masih Bu!” Andin sergap dan menambah sedikit lagi kekuatan untuk mendorong. Lima belas menit mendorong, belum juga nampak pom bensin. Itu artinya, Andin harus mendorong motor lagi lebih lama. “Bu, berhenti sebentar dulu, deh!” Andin menyingkirkan keringat yang ada di dahinya dengan telapak tangannya. Bu Della mengabulkan permintaan Andin, akhirnya mereka beristirahat di sebuah warung penjual es kelapa. “Pom bensin lima menit dari tempat ini, Bu!” Andin tersenyum dan mengepalkan tangannya. “Wah, baguslah, istirahat saja sebentar. Kamu mampu kan, Din?” tanya Bu Della. “Sepertinya aku mampu menjalankan misi mendorong motor ini, tapi…” Andin melirik Bu Della dan buah kelapa yang terpampang secara bergantian. “Hmmm, Ibu paham teka-tekimu!” Bu Della memesankan dua gelas es kelapa lengkap dengan gula putih dan es batu yang melimpah. “Tuh!” Bu Della membelikan segelas es kelapa itu pada Andin. “Uhh, Ibu guru idola banget!” Andin kemudian menyeruput es kelapa dari sedotan berwarna merah. “Sluuurrrrppppp, kalau begini kan saya jadi tambah semangat Bu!” Andin mengepalkan tangan kanannya. “Iya, Ibu paham apa yang kamu rasakan, capek toh?!” “Hehehehe,” Andin mengangguk sambil menyendokkan daging kelapa ke mulutnya. Selang beberapa menit, langit mulai menghitam dan awan-awan mulai menghilang. Bu Della dan Andin terkejut melihat kilatan petir nampak tajam bertebaran di atas langit yang menghitam itu. “Kayaknya mau hujan deh Bu,” ungkap Andin. “Iya nih, ayo cepat dihabiskan!” balas Bu Della. Andin dan Bu Della berlomba menghabiskan es kelapa itu, sambil menatap langit yang sedari tadi bergemuruh. Setelah usai, Bu Della mengembalikan dua gelas bekas kelapa itu pada penjual dan membayarnya. “Cabut!” Bu Della menancapkan kunci motor dan langsung menyalakannya. Andin yang hendak menaiki motor, tiba-tiba terhenti mendengar obrolan dua orang laki-laki yang baru saja datang dan duduk di warung es kelapa. “Piye Cak, kasusnya Anggi Hanifah? (Bagaimana Pak, kasusnya Anggi Hanifah?) tanya laki-laki berbadan bundal kepada laki-laki kurus di sebelahnya. “Wes dijatuhi hukuman satu tahun tok, karena mental e bermasalah,” (Sudah dijatuhi hukuman satu tahun aja, karena mentalnya bermasalah) jawab laki-laki kurus itu. “Din! Ayok cepat, kita sudah terlambat satu jam!” Bu Della membubarkan lamunan Andin dengan niat mengejar waktu. “Oh, i-i-ya, Bu!” Andin refleks menaiki motor dan menuju pom bensin terdekat. Ngengggg……. Ngeng….. ngeng…. *** Bu Della dan Andin tiba di depan gedung berwarna hijau yang bertuliskan, “Selamat datang di Rumah Sakit Jiwa Seraya,” Andin dan Bu Della yakin betul kalau inilah tempat yang mereka tuju. “Excellent! Terima kasih google maps!” Andin pun mencium-cium layar ponselnya yang masih masuk di aplikasi google maps. Bu Della mengelus rambut Andin dan mengajak masuk ke gedung hijau itu, “ayo, Din, kita sudah telat banyak sekali.” Andin pun mengikuti Bu Della dari belakang lalu memasuki gedung itu. “Siang, Bu, saya Ardella ingin bertemu dengan Bu Yuyun, apakah bisa?” tanya Bu Della pada resepsionis, sementara Andin duduk di ruang tunggu sambil mengamati seluruh isi ruangan. “Bu Ardella, ya?” seorang perempuan berjilbab putih menepuk pundak Bu Della. Bu Della membalikkan badan dan mengangguk, “saya Bu Yuyun, mari ke ruangan saya,” ajak perempuan berjilbab itu yang ternyata Bu Yuyun. Tak lupa Bu Della mengajak Andin untuk masuk juga. Andin kembali mengikuti langkah Bu Della dan Bu Yuyun kemana mereka pergi. Tibalah di satu ruangan bernuansa putih lengkap dengan alat-alat kesehatan, seperti tempat tidur kesehatan, stetoskop, dan lemari cokelat besar berisi suntikan. “Silahkan duduk,” Bu Yuyun mempersilahkan Bu Della dan Andin duduk di kursi hitam. “Bu, maaf terlambat karena saya baru selesai mengajar dan di jalan motornya mogok,” Bu Della membuka pembicaraan sekaligus minta maaf. “Tidak apa-apa, tapi sayang sekali tidak bisa melihat sidang putusan terdakwa Anggi Hanifah,” balas Bu Yuyun. “Iya Bu, saya merasa bersalah sekali,” Bu Della menunduk dan wajahnya murung. “Anggi terus-menerus memanggil nama Ibu, saya rasa Ibu orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya,” jelas Bu Yuyun. “Sungguh? Dari mana Ibu paham?” tanya Bu Della. “Katanya, Ibu adalah orang yang pernah menolongnya ketika dia diganggu laki-laki yang tidak di kenal di sawahnya,” jawab Bu Yuyun. Bu Della mencoba mengingat kembali kejadian sekitar setahun yang lalu. Bu Della memang sering pulang melewati sawah milik Anggi yang berada di belakang sekolah SMA Melati Jaya. “Iya benar, Bu, saya rasa itu pengalaman dia yang paling menyakitkan,” ucap Bu Della dengan tatapan kosong. “Benar, saya sudah mendengar semuanya dari Anggi dan saya rasa itulah penyebab Anggi menderita pseudobulbar, “ ujar Bu Yuyun melipat tangannya, dan menatap ke arah Bu Della. “Hah? Anggi menderita pseudobulbar? Pantas saja ada yang aneh saat persidangan,” batin Andin. Andin yang mendengar itu hanya terdiam dan mencoba mendengar pernyataan selanjutnya yang dipaparkan oleh Bu Yuyun.  “Boleh dijelaskan secara rinci, Bu?” minta Bu Della. Bu Della melirik Andin, tersenyum dan berbisik, “dengarkan baik-baik, kamu akan tau apa yang sebenarnya terjadi.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD