“Semoga kamu bahagia.”
Anna tersenyum tipis ketika mendengar ucapan perpisahan dari Kate. Satu-satunya manusia yang berpesan untuk bahagia alih-alih mengucapkan ‘hati-hati’ sebagaimana orang lain mengucapkan salam perpisahan saat mnegantarkan seseorang untuk pergi.
“Terima kasih.”
“Titip bocah tua itu,” kata Kate lagi sambil mengedikkan dagunya ke arah Abel yang sibuk bertengkar dengan Jessi.
“Kamu juga aku tinggalkan dengan seorang bocah tua,” balas Anna. Lalu, keduanya tertawa pelan, nyaris tidak bersuara.
“Ann.” Jessi datang mengiterupsi mereka, “Ntar, tolong lo buang aja manusia enggak berguna itu di segitimuda Bermuda, ya.”
“Si bodoh ini.” Abel ikut menimpali, “Sejak kapan pesawat Indonesia-New York ngelewatin segitiga Bermuda?” Abel menatap Jessi sambil menggelengkan kepalanya, “Lo sehat?”
Mereka sudah akan kembali bertengkar, tetapi langsung berhenti ketika Brian datang menyuruh Anna dan Abel untuk memasuki pintu keberangkatan.
Sekali lagi Kate memeluk Anna, berbisik pelan di telinganya. “Entah kenapa kamu terlihat tidak ingin kembali.”
Anna bergeming, Kate menjadi orang yang selama ini seakan mengerti keadaannya tanpa Anna perlu bersuara. Namun keengganan Kate untuk berkomentar membuat Anna menghormati Kate dibanding yang lainnya.
Ketika sekali lagi Brian mengingatkan untuk segera masuk, Anna membisikkan permohonan ini di dalam hati.
“Semoga semesta berkenan menutup jalanku untuk kembali.”
*
“Kakak pergi lagi.”
Anna terdiam di depan laptop, sebaris kalimat tersebut baru saja masuk ke email-nya. Membuat ia memejamkan mata untuk menahan sesak. Seharusnya dia tidak pernah memberikan akses kepada Natasha untuk berhubungan dengannya, atau paling tidak ia menon-aktifkan saja email-nya.
“An.” Terdengar suara Abel memanggilnya bersamaan dengan pintu kamar yang diketuk. Dengan enggan ia melangkah dan membukakan pintu untuk manusia tukang makan yang setelah sekian purnama berganti pun tetap hidup bersamanya di bawah atap yang sama.
“Ada apa?”
“Yang mau masangin peralatan kedap suara udah datang.”
Anna melirik ke belakang tubuh Abel. Di sana, di pintu masuk apartemennya beberapa pria sedang keluar masuk sambil membawa peralatan sistem insulasi lengkap.
“Terima kasih,” ucap Anna sebelum mempersilahkan orang-orang tersebut untuk masuk ke kamarnya yang belum terdapat perubahan apa-apa sejak ia datang kemarin.
“Lo mau ngapain sih di dalam?” Abel melongokkan kepalanya ingin tahu, “Perasaan enggak di mana-mana kamar lo selalu dipasangin alat begituan.”
Anna ingat sekali bagaimana tatapan bingung teman-temannya saat dulu saat masih kuliah dan sudah tinggal bersama mereka, ketika Anna membawa beberapa orang petugas untuk melengkapi kamarnya dengan perlatan peredam suara. Bahkan ketika tinggal sebentar di Jakarta dengan mereka pun, Anna juga memasang alat-alat ini di kamarnya.
“Perasaan lo pendiam, lo suka karaoke, ya?” Abel masih bertanya.
Anna hanya diam, mengabaikan Abel yang terlihat penasaran akan alasannya.
“Atau lo punya kelainan, ya?” Mata Abel kini menatapnya penuh curiga, “Lo aneh-aneh, ya, di dalam?”
Anna masih bergeming.
“An?” Sementara Abel masih menuntutnya untuk memberikan jawaban.
“Kamu mempunyai ruangan sendiri, Abel.” Anna menatap Abel malas, “Bisa kamu berdiam saja diri saja di sana? Atau aku harus mengirim kembali kulkas yang baru saja kamu tambah jumlahnya?”
Diancam seperti itu membuat Abel langsung berlari ke kamarnya. Bahkan ia tidak peduli bahwa ia melupakan niatnya untuk mengambil cemilan seperti tujuan awalnya keluar kamar tadi sebelum suara bel mengalihkan perhatiannya.
*
“An, ayok.”
Anna yang sedang menyantap makan malamnya menaikkan sebelah alis ketika melihat Abel berdiri di depannya dengan pakaian yang sudah rapi. Gaun malam yang sangat sederhana serta dandanan yang tidak terlalu mencolok, membuat perempuan berambut sebahu itu tampak sempurna.
“Anna,” ajak Abel lagi.
“Ke mana?”
“Pesta,” jawab Abel dengan wajah yang berseri-seri.”
Anna tidak menyahut dan kembali melanjutkan makan, membuat Abel mendelik kesal kepadanya.
“Anna,” geram Abel.
“Pesta apa?”
“Pesta,” jawab Abel terdengar bingung.
Anna menatap bosan. Ia sudah khatam dengan sahabatnya yang satu ini. Tidak peduli dengan pesta apa pun, Abel akan sangat bersemangat untuk ikut karena dengan begitu ia bisa mencoba berbagai jenis makanan dan melahapnya.
“Ya pesta ….” Abel menggaruk kepalanya. “Pesta.”
Sekali lagi Anna melemparkan tatapan bosannya. Bahkan si rakus ini tidak tahu pesta apa yang akan ia datangi. “Pergilah,” ucap Anna sebelum melanjutkan makan malamnya.
“Lo?”
“Tidak.”
“Tapi ….”
“Apa?”
Abel tidak jadi menjawab karena suara bel yang berbunyi disusul oleh kemunculan Daniel beserta Dave di belakangnya. Anna menatap mereka datar, kemudian matanya beralih melihat Abel tajam.
“Kata Daniel ia perlu akses untuk menyuplai kulkasku dengan es krim,” seloroh Abel seolah tahu maksud tatapan Anna terhadapnya.
“Selamat malam, Semuanya,” sapa Daniel riang. “Halo, Cantik,” sapa Daniel sambil menyerahkan papper bag kepada Abel yang Anna yakin isinya adalah makanan kesukaan manusia perut ular itu.
“Loh,” Daniel menoleh kepadanya, “Kau belum bersiap-siap?” pria itu bertanya.
Sejak mengenalnya, Daniel sudah menganggap mereka bersahabat sejak lama. Pria yang berstatus sebagai atasannya di rumah sakit itu memilih bersikap santai dalam mengajaknya berbicara. Hanya dalam kurun waktu dua minggu mereka saling mengetahui wajah dan nama masing-masing, Daniel sudah beberapa kali berlalu-lalang di apartemennya.
“Bersiap-siap untuk apa?”
“Loh, Abel tidak memberi tahumu?” Daniel melirik Abel sebelum menjelaskan kepada Anna. “Salah satu kolega bisnisku mengadakan pesta, Anna. Aku bisa saja tidak datang, tapi kau tahu, pesta-pesta seperti ini sangat baik untuk memulai kerjasama.”
Anna menaikkan alisnya, seolah dengan begitu ia bisa menyampaikan kepada Brian bahwa kalau pun itu benar, Anna tidak peduli karena sama sekali tidak berpengaruh untuk hidupnya. Namun sepertinya Daniel cukup bodoh untuk bisa mengerti, sehingga Anna harus menyuarakan maksudnya.
“Dan apa hubungan semua itu denganku?”
“Karena kau harus menjadi pasangan Dave di pesta ini,” jawab Daniel penuh semangat. “Dia terlalu kaku, dua puluh jam dalam satu hari kehidupannya hanya dihabiskan di ruang kerja. Dan kata Abel, kau juga sama. Jadi, sebaiknya kalian keluar, sesekali nikmati hidup ini dengan bersenang-senang.” Daniel menyambung kalimatnya seolah apa yang dia sampaikan adalah ide untuk menyelamatkan dunia.
Anna sudah akan protes ketika Daniel terlebih dahulu mendorong Dave mendekat dan berdiri di hadapan Anna.
“Dave, kau tunggulah Anna bersiap-siap sebentar.” Setelah mengatakan itu, Daniel segera beranjak dari sana menyusul Abel yang sudah menunggu tidak sabar di depan pintu.
Anna menatap kepergian Daniel dan Abel dengan raut wajah datar, tidak memperlihatkan emosi sama sekali. Lalu, dengan eksperesi yang masih ia pertahankan, matanya beralih menatap Dave yang juga sedang menatapnya datar.
Dua minggu yang lalu, interaksi mereka hanya bersuara satu kalimat dan berjabat tangan. Di rumah sakit yang katanya milik pria ini pun, Anna hanya pernah bertemu sekali tanpa sengaja. Selebihnya ia hanya melihat Daniel yang sering wara-wiri.
Mereka saling berhadapan, Anna dengan posisi duduk yang belum berubah, Dave dengan posisi berdiri bak patung selamat datang. Keduanya saling memandangi tapi membisukan diri. Seolah menyeleraskan suasana, keadaan di sekitar mereka terasa beku. Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bersuara, bahkan partikel udara pun seakan berdiam diri.
“Maaf membuatmu merasa tidak nyaman.” Dave yang pertama kali memutuskan untuk mengakhiri suasana aneh yang terlanjur tercipta.
Anna mengangguk sekilas.
Kemudian keadaan kembali seperti semula. Tidak ada yang berbicara, hanya mata tanpa riak emosi yang kentara, saling tatap namun enggan untuk dibaca.
Hampir setengah jam dan mereka masih dengan posisi yang sama, tanpa interaksi, tanpa ekspresi. Anna bahkan tidak merasa perlu untuk menawarkan Dave duduk di hadapannya. Jika bukan karena pergerakan samar pernapasan keduanya, siapa pun yang masuk ke dapur saat ini akan mengira mereka hanya dua patung lilin yang terletak di tempat yang salah.
“Aku permisi.” Sepertinya Dave lebih memilih pergi daripada harus terlibat komunikasi tanpa suara seperti ini.
Anna bergeming. Banyak hal terlintas di kepalanya, tapi dari semua itu satu hal yang membuat Anna mengernyit bingung adalah sesuatu di dalam dirinya bergidik ngeri terhadap Dave.
“Maaf sudah menganggu waktumu.” Dave berbalik badan menuju ke arah pintu, begerak samar seolah-olah enggan membuat keributan.
Lantaran rasa penasaran akan reaksi tubuhnyalah, Anna bertanya lirih.
“Kau akan pergi ke pesta itu?”
*