Lena langsung menyiapkan makanan yang sudah dia masak sejak sore hari tadi. Sengaja ia sembunyikan semur ayam yang tadi dia masak agar tidak ada yang memakannya sebelum Latif mencicipi hasil masakannya. Latif keluar dari dalam kamar mandi langsung mendekati sang istri yang sedang meletakkan piring di atas meja makan.
Lena menolehkan kepalanya mengetahui keberadaan Latif yang berdiri di belakang tubuhnya. “Mas, pakai baju sana setelah itu kita makan. Aku sudah memasak menu yang tadi kamu inginkan. Ada semur ayam kesukaanmu,” ucap Lena memamerkan empat potong kecil ayam dengan kuah kecap yang ada dalam mangkok.
“Iya terima kasih karena sudah masak sesuai permintaanku. Tapi ….” Latif menjeda ucapannya lalu makin merapatkan tubuhnya yang hanya berbalut handuk pada pinggang hingga atas lututnya. Membisikkan sesuatu di telinga Lena. “Mas sedang menginginkan kamu sekarang, Dek.” Mendengarnya, tubuh Lena sampai merinding berkat sapuan hangat napas Latif.
“Apa harus sekarang, Mas? Sebaiknya Mas makan dulu buat isi tenaga,” rayu Lena yag rupanya tidak mempan juga. Sebenarnya Lena memang enggan jika harus bermesraan dengan sang suami di hari masih belum terlalu malam begini. Apalagi jika ibu mertuanya belum tidur, pasti nanti akan curiga jika mengetahui dia dan Latif berduaan saja di dalam kamar. Maklum saja. Mulut mertua Lena itu rada-rada pedas jika berucap. Jadi sebisa mungkin Lena menghindari apa saja yang mematik kejulidan Bu Lilis tentunya.
“Nggak bisa ditahan lagi, Dek. Ayo!” Tanpa mendengar protesan Lena, Latif sudah menarik tangan istrinya membawanya masuk ke dalam kamar lalu menguncinya.
Hingga setengah jam kemudian, Lena yang baru saja menunaikan tugasnya sebagai seorang istri, tidak serta merta langsung bisa beristirahat. Pasalnya dia masih harus mengurusi perut suami, mertua dan juga adik iparnya sebab tadi mereka belum sempat makan malam.
Keluar kamar sembari mengikat rambutnya, inginnya ke kamar mandi dulu untuk membasuh wajah dan membersihkan tubuhnya. Namun, betapa Lena harus dibuat terkejut ketika melihat keberadaan sang adik ipar yang begitu lahap makan sendirian di meja makan. Dan yang membuat mata Lena terbelalak lebar ketika memperhatikan mangkok berisi semur ayam sudah kosong tak bersisa.
“Labib! Ini kenapa ayamnya kamu habiskan semuanya?” tanya Lena meraih mangkok dengan tubuh lemas hingga tubuh rampingnya terduduk di atas kursi.
“Aku makan lah, Mbak. Habisnya lapar sekali aku.”
“Iya Mbak tahu, tapi kenapa kamu habiskan semua? Kami di sini belum ada yang makan. Mana ayam semur itu Mbak masak khsusus untuk Mas Latif dan kamu tidak menyisakan barang satu pun.”
“Ya maaf aku enggak tahu. Kupikir semua sudah makan.”
“Ya Tuhan, Labib. Dari mana kamu bisa punya pemikiran seperti itu. Kamu kan bisa lihat jika nasi, sayur dan lauknya masih utuh. Itu artinya semua belum makan. Dan malah kamu habiskan.”
“Aku nggak tahu, Mbak.” Hanya itu jawaban yang Labib lontarkan sebagai pembelaan dirinya.
Lena ingin sekali menangis dan dia hanya pasrah memijit pelipisnya. Sungguh Labib ini keterlaluan sekali. Latif keluar kamar ikut bergabung di ruang makan.
“Kenapa lagi sih, dek. Suara kamu kedengeran sampai kamar.”
“Mas … ayamnya,” ucap Lena sembari menunjuk pada mangkok yang sudah bersih tanpa sisa. Bahkan kuah pun tak ada karena tadi Labib menuangkan semua ke atas piringnya.
“Loh, bukannya tadi masih ada satu mangkok utuh?” tanya Latif yang juga keheranan sebab tadi sebelum masuk ke dalam kamar, jelas dia melihat jika Lena sedang menyajikan semangkok ayam semur kesukaannya.
“Dihabiskan semua sama Labib,” jawab Lena mengadu menatap tajam adik iparnya yang berhenti mengunyah dengan menundukkan kepalanya.
Bertepatan dengan Bu Lilis yang juga keluar kamar dan berkacak pinggang berdiri di sisi meja makan. “Ada apa lagi malam-malam ribut. Kamu ini, Len. Kok ya enggak ada habis-habisnya cari perkara di rumah ini.”
Lena jelas tidak terima karena Bu Lilis dengan seenak udel menuduhnya. “Kok aku sih, Bu.”
“Habisnya siapa lagi? Jika ada kamu pasti masalah kecil jadi besar.”
“Ini bukan masalah kecil, Bu. Ibu tahu kan sejak pagi tadi aku bahkan mewanti-wanti ibu jika aku masak ayam dan jangan dimakan dulu sebelum Mas Latif memakannya karena ini adalah permintaan khusus dari Mas Latif. Eh, sekarang malah dengan seenak hati Labib habiskan semua tanpa menyisakan satu pun.”
Bu Lilis awalnya juga terkejut sampai tatapan matanya jatuh pada Labib yang mulai takut-takut jika ibunya ikutan marah. Namun, Bu Lilis tentu saja tidak mau jika Lena besar kepala andai beliau memarahi Labib. Yang ada jutsru Bu Lilis kembali membela Labib.
“Labib, kenapa kamu habiskan semua? Bahkan ibu dan masmu tidak kamu sisakan?”
“Ya maaf bu aku nggak tahu. Aku pikir semua sudah makan. Habisnya makanan masih banyak di meja makan, tapi nggak ada satu orang pun yang ada di sini. Ya, sudah aku makan saja lagian sudah lama kita tidak makan enak. Jadi jangan salahkan aku. Seharusnya jika memang ayamnya enggak boleh di makan ya sembunyikan lah. Jangan dihidangkan di meja. Jika ada di meja berarti untuk bersama.” Pandai sekali Labib menjawab sampai Lena pun kehabisan kata-kata. Ingin sekali Lena menyalahkan Latif yang tadi malah mengajaknya ke kamar sebelum makan malam. Jadi begini kan kejadiannya.
“Ya sudah kalau begitu. Mana sudah terlanjur Labib makan. Besok kamu masak lagi saja menu yang sama untuk Latif.” Dengan entengnya Bu Lilis menyuruh memerintah Lena.
“Tapi, Bu. Uangnya sudah tidak ada. Memangnya mau beli ayam pakai uangnya ibu?”
“Lah kok jadi Ibu. Ya kamu minta lagi saja sama Latif.”
Latif meraup wajahnya kasar. Menyentuh bahu istrinya agar tidak lagi menjawab atau melawan ibunya. Latif enggan mendengar pertengkaran. "Sudah, Dek. Nggak papa. Besok Mas kasih lagi uang untuk kamu masak menu yang sama."
Inilah yang paling tidak Lena sukai. Karena Latif tidak pernah mau menegur apalagi memarahi Labib. Meski tahu jika Labib salah. Seharusnya jika ibunya tidak bisa tegas mendidik Labib, sebagai seorang kakak lelaki, Latif lah yang wajib mendidik adiknya. Namun, sayangnya baik Latif dan Bu Lilis selalu saja memanjakan Labib. Jadilah Labib tumbuh menjadi pemuda yang suka bersikap sesuka hatinya.
Jika begini Lena bisa apa? Marah pada Labib pun percuma meski ia merasa sangat kesal.