“Sa, kamu ada waktu ketemu aku nggak hari ini?”
“Buat kamu apa sih yang enggak bisa.”
“Maaf ya sering merepotkan kamu,” ucap Lena yang merasa bersalah sebab sering sekali merepoti Larisa. Untungnya sahabatnya itu begitu baik dan selalu ada waktu untuk Lena.
Jarak rumah Bu Lilis di mana Lena tinggal saat ini lumayan jauh dari tempat tinggal Larisa dan rumah kedua orangtua Lena. Beda kota yang jika ditempuh dengan mobil melewati jalan tol memerlukan waktu sekitar dua jam perjalanan. Namun, Larisa selalu bersedia jika Lena membutuhkannya. Karena dengan alasan bertemu Lena, maka Larisa bisa terbebas dari tugasnya di kantor sang papa. Bisa jalan-jalan keluar kota juga dan Larisa yang sudah merasakan jenuh di kantor bisa menghirup napas lega. Dulu selama menjadi manager Lena, Larisa akan bebas pergi ke mana pun juga mengikuti Lena yang sedang manggung berpindah-pindah tempat dari satu kota ke kota yang lainnya. Kehidupan Larisa penuh dengan warna dan tidak membosankan. Lain halnya dengan bekerja kantoran yang rutinitas dijalani Larisa setiap harinya hanya itu-itu saja. Pagi berangkat kerja malam pulang ke rumah lalu tidur dan beristirahat begitu seterusnya setiap harinya.
"Kamu butuh uang berapa lagi, Len?"
"Lima juta lagi ya?"
"Yakin segitu cukup?"
Lena menghela napas panjang. "Harus dicukupkan untuk beberapa bulan ke depan. Pusing kepalaku setiap hari harus bertengkar dengan ibu dan Mas Latif hanya karena duit," adu Lena yang sebenarnya tidak boleh dia lakukan. Sebab kehidupan susah seperti ini juga dia sendiri yang menginginkan.
"Baiklah. Sore paling aku sudah sampai. Tunggu saja."
Lena menganggukkan kepala sebelum panggilan telepon mereka terputus.
•••
Sore harinya, Lena mengirim pesan pada Latif bahwa dia akan keluar menemui temannya. Sempat Latif bertanya dan kurang percaya, tapi Lena meyakinkan suaminya bahwa teman yang dia temui adalah Larisa. Latif pun kenal dengan teman istrinya itu sehingga dia pun mengijinkannya.
Namun, Bu Lilis yang melihat Lena keluar kamar dengan pakaian yang sudah rapi versi Bu Lilis karena sebenarnya Lena hanya mengenakan celana kulot dan kaos saja, tapi bagi Bu Lilis yang melihat pun langsung curiga.
"Mau ke mana kamu, Len? Rapi sekali."
"Ketemuan sama teman, Bu. Tadi sudah ijin sama Mas Latif."
"Kamu ini keluyuran terus kerjaanmu."
"Astaghfirullah, Bu. Kapan saya keluyuran. Baru juga ini mau keluar. Lagian Mas Latif juga ngijinin, kok!"
"Halah! Pasti kamu rayu-rayu kan si Latif biar ngijinin kamu."
"Sudah ya, Bu. Saya berangkat dulu." Lena tidak mau menanggapi ibu mertuanya yang pasti akan menahannya untuk tidak pergi. Terlihat sekali dari wajahnya yang langsung masam begitu.
Tanpa buang-buang waktu, Lena segera berjalan cepat menuju jalan besar yang ada di depan gang rumahnya.
Mata Lena berbinar melihat mobil mewah yang telah menunggunya di pinggir jalan. Senyum Lena juga merekah karena tidak sabar sebentar lagi akan bertemu dengan Larisa.
Berjalan cepat menuju mobil tersebut. Mengetuk kaca jendela yang langsung disambut oleh Larisa begitu pintu mobil terbuka.
"Lena!" pekik Larisa bahagia dapat kembali melihat sahabatnya.
Pun halnya dengan Lena yang tak kalah merindukan Larisa. "Risa!"
Di dalam mobil, keduanya saling berpelukan melepas kerinduan. Baru setelahnya Larisa memberikan perintah pada sopir pribadi yang mengantarnya. Meminta agar mengantarkan mereka ke tempat nongkrong sekaligus tempat makan.
•••
Dan di sinilah mereka berdua sekarang berada. Sebuah kafe yang di kampung ini sudah paling bagus dengan fasilitas komplit juga nyaman untuk nongkrong sembari ngobrol.
"Badanmu kurus sekali, Len!"
"Masak, sih!" elak Lena. Padahal dia sendiri pun merasa jika tubuhnya terasa makin ringan.
"Sampai kapan kamu akan menjalani kehidupan kayak gini sih, Len! Kenapa kamu nggak terus terang saja sama suami kamu kalau sebenarnya kamu itu lebih daripada mampu untuk menjalani kehidupan yang jauh lebih baik lagi ketimbang saat ini. Sungguh, Len. Aku nggak tega lihat kamu seperti ini. Bagaimana jika sampai tante dan Om tahu. Pasti mereka makin murka dan membawa kamu pergi dari sini."
Omelan Larisa tidak dibantah oleh Lena karena memang benar. Makin lama Lena merasa hidupnya semakin sulit. Apakah seseorang yang ingin menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia harus menjalani ujian sulit seperti ini? Tanya yang selalu singgah di dalam benak Lena.
"Sa, ini sudah menjadi konsekuensi atas keputusanku yang ingin hidup sederhana dan apa adanya."
"Tapi nggak gini juga kali, Len. Ini bukan lagi hidup sederhana yang kamu jalani. Tapi hidup susah. Hidup sederhana itu tidak akan sampai kekurangan uang. Sederhana itu adalah hidup apa adanya tanpa kemewahan. Tapi jika aku melihat kehidupanmu yang sekarang, sudah jauh dari kata sederhana."
Lena menundukkan kepala sembari mengaduk minumannya.
Larisa menyentuh punggung tangan Lena. "Le, sudahi kesengsaraanmu. Buat apa kamu punya banyak uang tapi tidak bisa menikmatinya hanya karena alasan sepele. Ingin hidup sederhana. Tapi ujung-ujungnya malah sengsara. Lihatlah dirimu yang sekarang. Andai kamu bukan sahabatku, mungkin aku tidak akan pernah bisa lagi mengenali bahwa kamu adalah sosok Lena Karisma yang selama ini tidak pernah terlihat jelek di mata semua orang."
Lena memberenggut. "Jadi maksudmu aku sekarang jadi jelek?"
"Iya. Yah, meskipun sisa kecantikanmu masih ada ... tapi hanya sedikit saja. Apa di rumahmu enggak ada cermin sampai penampilan sendiri saja kamu abaikan seperti itu. Kulitmu masih putih, tapi kusam. Lihat saja rambutmu yang tumbuh awut-awutan kayak orang enggak pernah keramas saja."
Lena mencubit lengan Larisa membuat wanita itu memekik kesakitan.
"Lena, sakit tau!"
"Salah sendiri kenapa malah mengejekku."
"Bukan ngejek ya. Tapi aku bicara fakta agar kamu sadar diri bahwa sekarang enggak cantik lagi. Perawatan kek biar wajahmu mulus lagi tanpa jerawat. Percuma kamu nimbun duit banyak Lena."
Lena menghela napas panjang. "Menurutmu aku harus gimana, Sa?"
"Jujur saja sama suamimu jika sebenar kamu punya banyak duit. Lalu ajakin suamimu berbisnis. Kamu yang modalin dan kalian berdua jalankan bisnis itu bersama-sama. Aku yakin sekali dengan koneksi yang kamu punya, bisnis apapun yang nantinya kamu geluti bakal berkembang."
Ide Larisa enggak ada yang salah meski nantinya Latif pasti akan terkejut jika dia mengaku sebagai orang kaya.
Hanya saja yang membuat Lena ragu justru keberadaan mertua dan iparnya. Dua orang terpenting dalam kehidupan Latif yang Lena yakini akan terus berulah. Bisa-bisa jika dia membuka jati dirinya maka Bu Lilis akan merongrongnya mengenai harta benda. Oh, Tuhan. Ini adalah pilihan yang sulit.
"Aku akan pikirkan idemu ini, Sa. Tapi entahlah. aku masih belum yakin saja jika Mas Latif dan keluarganya tahu siapa aku sesungguhnya."