10. Pengakuan Latif

1008 Words
"Ada apa lagi sih, Bu. Kenapa ribut-ribut. Ini masih pagi. Nggak enak didengar tetangga," ucap Latif yang mendengar panggilan ibunya. Lelaki itu sudah rapi dengan celana jeans dan kaos berkerah. Baru saja keluar dari dalam kamar dan bersiap untuk pergi kerja. "Lihat itu istrimu. Setiap hari selalu saja bikin darah ibu naik. Tiap kali dinasehati, pasti ngelawan terus kerjaannya. Padahal ibu ini sudah tua. Tetap saja enggak mau ngalah sama ibu. Lama-lama begini, ibu nggak kuat lagi, Latif!" Dengan raut wajah yang dibuat semenyedihkan mungkin, Bu Lilis terus mencoba mencari pembelaan pada putranya. Akan sangat senang jika Latif akan mengomeli Lena. "Ibu juga. Jangan kelewat keras sama Lena. Dia itu anak ibu juga sama seperti aku, Bu." "Kamu ngebelain Lena, Tif?" "Bukan membela siapa-siapa, Bu. Aku hanya ingin agar ibu dengan Lena itu akur dan tidak ribut terus setiap hari. Aku saja pusing mendengarnya. Apalagi kalau sampai kedengaran oleh tetangga. Kan malu, Bu." "Habisnya Lena itu terus saja mancing-mancing emosi Ibu. Bisa-bisanya dia nyindir ibu terus gara-gara ibu membelikan motor baru buat adikmu. Harusnya dia itu mengerti karena Lena juga seorang perempuan yang nantinya akan punya anak. Ibu mana sih yang nggak pengen membahagiakan anaknya. Nggak ada, Tif! Sekalipun ibu ini orang tidak mampu, tapi ibu akan tetap berusaha membahagiakan anak-anak ibu. Dulu pun ibu juga selalu menuruti apa yang kamu inginkan. Sekarang giliran Labib. Apa ibu salah, hah?" Latif mengusap bahu ibunya demi menenangkan wanita itu agar emosinya mereda. "Sudah, Bu. Sudah. Aku ngerti kok. Nanti aku yang akan ngomong sama Lena." "Satu lagi. Itu bilang sama istrimu. Kalau mau disayang suami dan mertua suruh pinteran dikit masaknya. Jangan tiap hari masak kangkung dan tempe goreng saja. Ibu sudah bosan. Kebanyakan makan kangkung bisa-bisa asam urat ibu kumat lagi nanti. Oh, atau jangan-jangan memang Lena itu sengaja bikin ibu sakit." "Bu, sudah! Jangan ngomel terus. Ibu nggak capek terus mengata-ngatai Lena?" Bu Lilis mendelik judes pada putranya. "Belain saja terus itu istrimu! Awas saja. Kalau ibu sudah nggak kuat lagi, ibu bakalan carikan kamu istri pengganti!" Setelah mengatakan itu, Bu Lilis masuk ke dalam kamar dengan bantingan pintu yang cukup kencang. Latif hanya mengurut dadaa melihat tingkah laku ibunya. Sementara Lena, sejak tadi pun wanita itu mendengar semua aduan Bu Lilis pada Latif. Namun, Lena sengaja diam dan hanya mendengar semua ocehan mertuanya yang dengan terang-terangan menjelek-jelekkan dirinya. Bahkan sampai harus ditambahi bumbu-bumbu kebencian agar Latif pun berpikir negatif sama dia. Lena tidak terima sebenarnya selalu dipojokkan. Karena selama menjadi menantu, meski pun Lena sudah menurut pada Bu Lilis, selalu mengiyakan apapun permintaan Bu Lilis, tetap saja mertuanya itu tidak pernah ada rasa puasnya sama sekali. Selalu mencari kelemahan dan kesalahannya. Akan sangat bahagia jika orang lain mengoloknya. Bahkan Bu Lilis akan tertawa senang ketika Latif memarahinya padahal jelas semua bukan kesalahannya. Lama-lama seperti ini, Lena bisa gilla menghadapi mertua yang banyak maunya. "Dek!" Panggilan Latif hanya direspon tolehan kepala oleh Lena. Sungguh, Lena sudah sangat malas jika masih pagi tapi topik pembahasannya hanya seputar Bu Lilis dan Labib. Diamnya Lena, Latif paham jika istrinya itu sedang marah dan tidak baik-baik saja hatinya. Seharusnya Latif mengerti dan tidak mengajak mengobrol istrinya di saat kondisi sedang down seperti ini. Namun, nyatanya apa? Latif tidak ingin jika ibu dan istrinya terus-terusan ribut setiap hari. Terlebih setiap pagi seperti ini. Latif menarik salah satu kursi dekat meja makan. "Jangan suka meladeni ibu jika beliau banyak bicara sama kamu." Lena menghela napas panjang. Sebenarnya bisa saja dia menjawab iya dan menurut saja. Tapi rasanya Latif tidak akan pernah mengerti jika dia tidak ambil suara. Bahkan sudah berulang kali Lena menyuarakan isi hatinya. Tapi tetap saja ibu yang dibela oleh suaminya. Wanita itu balik badan setelah sebelumnya meletakkan kangkung yang akan dia masak. "Mas. Aku tahu sebagai seorang istri masih banyak kurangnya. Tapi tolonglah jika bicara dan memarahiku sedikit dikontrol. Hanya gara-gara setiap pagi aku hanya belanja menu seadanya, ibu selalu murka. Aku hanya minta agar ibu mengerti kondisi keuangan kita. Kita jadi ngirit begini juga karena siapa coba?" "Sudahlah Dek. Jangan diungkit terus soalan Labib. Pantas saja ibu selalu marah karena apa-apa pasti kamu sangkut pautkan dengan motor baru Labib. Tolong Dek. Kamu Iklhaskan Labib punya motor baru. Dia hanyalah remaja yang ingin punya motor bagus seperti teman-temannya. Apa kamu nggak kasihan jika dia dijauhi temannya hanya karena enggak punya motor bagus?" Lena bahkan sudah kehilangan kata-kata. Latif sama halnya dengan Bu Lilis yang malah memojokkannya. Padahal Lena berkata seperti ini agar Latif dan Bu Lilis mengerti keadaan. Lena geleng-gelengkan kepalanya menatap nyalang pada suaminya. "Mas! Aku enggak masalah mau kamu dan ibu membelikan motor baru untuk Labib. Terserah mau kalian belinya dengan cara kredit atau apapun. Bahkan aku menerima dan berusaha lapang dadaa saat kamu memangkas uang belanja dengan sangat mengenaskan. Tapi tolong kalian juga mengerti posisiku yang harus memutar otak agar kita semua di sini masih bisa makan setiap hari meski hanya menu itu-itu saja yang bisa aku hidangkan. Karena memang aku menyesuaikan dengan keuangan kita. Tapi aku nggak akan bisa terima jika ibu menyuruhku untuk berhutang ke tukang sayur agar bisa masak enak. Coba sekarang kamu pikirkan Mas. Jika aku berani berhutang, lantas siapa yang akan bayar? Aku? Atau kamu?" Latif diam membisu dengan kemarahan istrinya yang menggebu-gebu. Lena kembali melanjutkan kata-katanya. "Untuk bayar cicilan motor saja kamu harus kerja keras banting tulang. Bagaimana nanti jika aku pun juga harus berhutang. Bisa-bisa aku sendiri yang akan repot dan dipusingkan dengan soalan keuangan." "Tapi ibu juga ada benarnya Dek. Setiap hari kamu hanya masak itu-itu saja. Kami lama-lama bosan juga Dek makan nggak ada gizinya. Tiap hari tempe tahu. Sayurnya juga itu itu saja. Kalau nggak kangkung ya bayam. Kadang sop." Mendengar semua pengakuan Latif, Lena membuka mulutnya tak percaya. Inginnya protes tapi kata-kata yang mencoba dia lontarkan seolah tertelan di tenggorokan. Dia sungguh shock mengetahui jika suaminya ternyata punya pikiran sepicik itu selama ini. "Dek, aku ini capek kerja loh. Kadang juga ingin menikmati hasil kerjaku dengan makan enak. Tapi apa? Setiap kali pulang ke rumah hanya kamu suguhkan tempe dan sambal karena kalau malam sayurnya sudah habis."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD