Tidak lama kemudian, mereka berdua pun sampai di depan rumah Cindy. Terlihat semua lampu di dalam rumah telah menyala dengan terang. Gadis cantik berlesung pipi itupun turun dari motor dan menyerahkan helm kepada Jack.
“Jack, terima kasih untuk hari ini juga untuk makanan yang kamu belikan ini,” ucap Cindy seraya menunjukkan kantung plastik berisi makanan.
“Sama-sama. Cepat masuk sana, besok pagi aku akan menjemputmu lagi.”
“Aku masuk dulu, bye.” Cindy melambaikan tangannya seraya berjalan menuju ke pintu pagar rumahnya. Jack membalas lambaian tangan gadis itu, lalu berlalu pergi meninggalkan area rumah Cindy.
Tidak lama kemudian, Ken keluar dari rumah dan menghampiri sang kakak, seraya berkata, “Kak, ke mana saja seharian ini?”
“Oh, Ken. Ini makanan untukmu, ambillah. Jack mengajakku ke pantai, tadi kami makan dan bermain sebentar di sana. Maaf ya,” jawab Cindy.
“Tidak apa-apa, Kak. Oh ya, pakaian kotor dari para tetangga sudah kuambil dan sudah kucuci semuanya.”
“Hah? Benarkah? Mengapa kamu melakukan itu semua sendirian? Itu ‘kan tugas kakak,” jawab Cindy merasa sedikit terkejut.
“Tidak apa-apa, Kak. Lagipula, waktuku senggang, aku sudah menyelesaikan semua tugas sekolah tadi di sekolah, lalu besok juga tidak ada test. Jadi, tidak ada salahnya jika aku membantu kakak.”
“Terima kasih, Ken. Ayo kita masuk.” Ken dan Cindy pun masuk ke dalam rumah dan mengunci rapat pintu masuk.
Hari-hari pun dijalani Cindy dan Ken seperti biasanya. Jack yang baik hati selalu menjemput gadis itu di rumahnya setiap pagi, lalu memesankan taksi untuk Ken. Kemudian, setiap sepulang sekolah, pria itu langsung pergi bekerja.
Rupanya, tahun itu perekonomian Hongkong, lebih tepatnya dunia mengalami resesi. Hampir semua sektor usaha mengetatkan pengeluaran mereka dan berusaha bertahan dengan berbagai cara yang ada. Ada yang mengurangi jumlah pegawai, ada pula yang memotong gaji para karyawannya. Keadaan tersebut memang tidak mudah untuk dilalui. Bagi yang berada di tingkat perekonomian menengah atau menengah atas itu tidak akan menjadi masalah, tapi lain halnya jika berada di tingkat perekonomian rendah, resesi ekonomi akan membawa masalah baru dalam hidup berkeluarga.
Hal ini ikut dirasakan oleh Paman Wei. Pria paruh baya itu mengalami pemotongan gaji hingga tiga puluh persen. Dengan berat hati, dia menyampaikan hal tersebut kepada istrinya. Tentu saja Bibi Wei tidak terima dan menjadi marah, terlebih beban yang ditanggung oleh keluarga mereka sekarang tidaklah sedikit.
Paman Wei seorang yang baik hati dan penyabar, pria itu terus menasihati sang istri agar bersabar dengan keadaan ini. Tapi, Bibi Wei tidak mengindahkannya, amarahnya semakin menjadi dan akhirnya sampai kepada masalah tanggungan biaya sekolah dan biaya hidup yang dikeluarkan untuk Cindy dan adiknya.
“Lalu, bagaimana caramu membiayai mereka?” seru Bibi Wei sambil memandang Paman Wei dengan tatapan marah.
Pria paruh baya itu menundukkan kepalanya dan menghela napas panjang, lalu memposisikan dirinya duduk ke sofa dengan perlahan. Matanya memandang lekat ke lantai rumahnya yang berwarna putih dengan sedikit motif bergaris.
“Mengapa kau tidak menjawab? Kau tidak tahu harus menjawab apa, bukan? Sama seperti halnya diriku yang bingung bagaimana caranya untuk menutupi kekurangan biaya rumah tangga kita. Andy pun membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” ucap Bibi Wei.
Paman Wei menoleh dan menatap lekat pada wajah istrinya, seraya bertanya, “Menurutmu berapakah umur Andy? Apakah masih pantas untuk kita khawatirkan? Menurutmu berapa lama kita dapat menemaninya?”
“Apa? Untuk apa kau membahas Andy?” balas Bibi Wei.
“Bukankah kau yang membahasnya terlebih dahulu? Cepat jawab pertanyaanku!” tanya Paman Wei.
Bibi Wei terdiam dan dia bingung jawaban apa yang harus dia berikan kepada sang suami. Sejatinya wanita itu tahu semua tentang Andy dan perilakunya yang buruk, tapi dia menutup mata karena rasa sayangnya yang salah terhadap anak semata wayangnya itu.
“Ya, aku tahu. Sudahlah jangan kita bahas lagi. Suamiku, aku punya satu usul, apakah kau mau dengar?” jawab Bibi Wei mencoba mengalihkan.
“Aku ingin mendengar jawabanmu, cepat katakan!”
“Umm, ya ya aku salah. Aku tahu Andy sudah dewasa dan pemalas, tapi setiap hari pun aku telah menasihatinya. Dia hanya berkata iya, tapi tidak melakukan apapun.”
“Tentu saja dia tidak melakukan apapun, karena kau memanjakannya. Kau selalu membela dan memberikan semua yang dia inginkan, itulah caramu mendidiknya, hingga dia menjadi seperti itu. Benar-benar anak yang tidak berguna!”
“Jaga bicaramu, Suamiku. Bagaimanapun dia anak kandung kita jika dibandingkan dengan keponakanmu itu.”
“Lebih baik keponakanku daripada anak laki-lakiku yang tidak dapat diandalkan,” balas Paman Wei.
“Kau keterlaluan!” ucap Bibi Wei dengan nada tinggi.
“Justru kau yang keterlaluan,” balas Paman Wei tak kalah tinggi nada suaranya.
“Sudahlah, jika bertengkar denganmu tidak akan ada habisnya. Aku ke dapur dulu.” Bibi Wei pun beranjak berdiri dan meninggalkan sang suami seorang diri di ruang keluarga.
Sementara itu, di dapur, wanita paruh baya itu merasa geram karena sang suami membela Cindy dan Ken. Andy menjadi tidak bernilai di hadapan ayahnya. Dia sungguh kesal. Lalu, sambil memotong sayuran, Bibi Wei terus menggerutu. Hingga akhirnya, beberapa saat kemudian datanglah Andy yang langsung menghampiri ibunya. Beruntungnya setelah perselisihan terjadi beberapa saat lalu, Paman Wei pergi dari rumah menuju ke rumah temannya hanya untuk sekedar menenangkan diri.
Andy yang berniat untuk meminta uang pun lantas berkata, “Ma, kau terdengar sedang kesal? Ada apa?”
Bibi Wei yang sedang memotong daging pun lantas berbalik dan menatap wajah anaknya seraya menjawab, “Untuk apa kau kemari? Kau mau meminta uang lagi?”
“Ma, kenapa denganmu? Ada apa?” tanyanya seraya memberikan pijatan ke bahu sang ibu. Akhirnya, hati Bibi Wei pun luluh dan wanita paruh baya itu menghela napas panjang seraya menaruh pisau ke atas meja dapur.
“Aku dan papamu bertengkar tadi, kami juga membahas tentang dirimu. Andy, kau sudah besar dan dewasa, kau harus bisa menghidupi dirimu sendiri. Papamu mengalami pemotongan gaji dan saat ini kami juga sedang berada dalam kesulitan. Mama harap kamu dapat mengerti, kami tidak mengharapkan bantuanmu, kau cukup mengerti dan tidak meminta uang lagi pada kami, itu sudah lebih dari cukup,” jawab Bibi Wei.
“Oh, jadi itu masalahnya. Aku hanya meminta uang dalam jumlah sedikit, tidak banyak. Tetapi, kalian selalu membahas seolah-olah uang yang kuminta itu banyak. Baiklah, aku tidak akan meminta uang lagi pada kalian,” jawabnya seraya hendak beranjak pergi.
Bibi Wei menoleh dan menahan tangan anak laki-lakinya, memintanya untuk tetap di dapur menemaninya dan tidak pergi. Seulas senyum puas pun terukir di bibir tipis miliknya. Hatinya berkata jika sebentar lagi dia akan segera mendapatkan apa yang dia mau.
To be continued ....