Di tengah perjalanan, Bibi Wei bertanya pada Cindy, “Cindy, bagaimana perasaanmu sekarang? Bolehkah Bibi tahu?”
Cindy pun menoleh dan menatap wajah sang bibi seraya menjawab, “Umm aku cukup senang, Bi. Meski—“
“Meski apa? Katakanlah?” tanya Bibi Wei lagi.
“Meski pandangan orang mungkin akan berbeda terhadapku. Tapi, kupikir aku akan mengabaikan pandangan mereka. Aku butuh gaji tersebut untuk biaya hidup kami.”
“Baguslah. Jika kau butuh teman bicara, kau bisa datang pada Bibi.”
“Ya, Bi. Terima kasih.”
Tidak lama kemudian, taksi yang membawa mereka pun sampai di depan rumah Cindy. Namun, tepat sebelum Cindy turun dari dalam taksi, ia dapat melihat Jack yang sedang duduk di atas motor yang terparkir di depan rumahnya sambil memainkan ponsel-nya, sesekali pandangannya terarah ke taksi yang berada di hadapannya.
Cindy sudah tahu dengan pasti jika semua ini pasti berkaitan dengan pekerjaannya. Tanpa menunggu lama, ia pun bergegas turun dari taksi dan berpamitan serta mengucapkan terima kasih kepada Bibi Wei serta Andy, lalu berjalan menghampiri Jack.
“Jack,” panggilnya seraya tersenyum.
Jack pun menoleh ke arah sumber suara dan menjawab tanpa tersenyum, “Pucca, kenapa kau tidak membalas pesanku?”
“Maaf, aku tergesa-gesa. Kupikir aku akan membalas pesanmu nanti malam setibanya aku di rumah. Mengapa kau menunggu di sini dan tidak masuk ke dalam? Ken ada di dalam,” jawab Cindy.
“Aku sudah menemui Ken. Aku lebih suka berdiam di luar dan menikmati udara malam hari. Tadi kubelikan roti kesukaanmu saat aku melintasi toko roti tua di dekat sekolah kita, jangan lupa dimakan, oke?” ujarnya.
Cindy pun mengangguk dan tersenyum bahagia, pasalnya toko roti tua yang berada dekat dengan sekolahnya merupakan toko roti kesukaannya. Hampir semua roti di sana pernah ia cicipi.
“Terima kasih, Jack.”
“Oh ya, di klub mana kau bekerja? Sebagai apa?” tanya Jack penasaran.
“Di Klub Dragonfly. Apa kau tahu? Sebagai waitress dan kasir, tergantung keadaan,” jawab Cindy.
“Hah? Klub Dragonfly? Apa kau yakin, Pucca? Berapa gaji yang kau dapatkan?” tanya Jack penasaran.
“Iya, Klub Dragonfly. Gaji yang kudapat cukup besar, bisa untuk membayar sekolah dan biaya hidup sehari-hari serta membeli kebutuhan rumah lainnya,” jawab Cindy polos.
“Tapi, kau tahu di sana tempat seperti apa?” tanya Jack kesekian kalinya.
“Umm tidak.” Cindy menggelengkan kepalanya, ia dapat menebak tapi ragu.
“Tempatnya para gangster bersenang-senang dan berkumpul. Kau akan lihat banyak gadis muda yang menjadi penghibur dan menemani mereka minum atau bahkan ikut bermalam bersama dengan mereka. Pucca, kenapa kau harus bekerja? Kau dapat mengandalkanku. Bukankah aku sudah pernah mengatakan ini padamu berulang kali?” Jack menyentuh kedua sisi bahu Cindy sambil menatap lekat ke dalam mata gadis cantik berlesung pipi itu.
“Aku tidak mau merepotkanmu, Jack. Betul kita adalah sahabat, tapi aku tidak mau hasil kerja kerasmu kau berikan untukku dan keluargaku, itu terasa tidak adil bagimu. Jika, orang tuamu tahu tentang hal ini, mereka tentu tidak akan tinggal diam begitu saja. Jadi, aku memutuskan bekerja demi adikku dan diriku sendiri. Tenang saja, aku pasti baik-baik saja.” Seulas senyum kecil pun menghiasi wajah cantiknya. Harapan pun terbentuk di benaknya. Jack tak kuasa untuk menghancurkan harapan gadis yang dicintainya tersebut. Tapi, hati nurani dan pikirannya berusaha menentang pilihan yang diambil oleh gadis itu.
Tanpa aba-aba, Jack pun mendekap erat tubuh Cindy dan menatap ke bawah. Ia berusaha keras menahan cairan bening yang sedari tadi mendesak matanya untuk keluar. Betapa dia sangat menyayangi gadis itu dan ingin melindunginya dengan sekuat tenaga. Ingin rasanya dia mengungkapkan perasaannya yang terdalam dan memintanya untuk bertambah tua bersamanya, tapi lidah dan semua kata-kata itu tertahan di bibirnya. Semua terasa berat untuk diungkapkan. Ada sebuah keraguan yang menghalangi dirinya untuk menggapai sang gadis dan hati yang takut untuk tersakiti. Pria tampan beralis tebal itupun masih mempersiapkan hati dan waktu yang tepat untuk menyatakan perasaannya kepada sahabat yang telah dikenalnya sejak lama itu.
Cukup lama Jack memeluk Cindy dan malam pun semakin larut. Ken yang sedari tadi menunggu sang kakak masuk ke dalam rumah pun menjadi penasaran, hal apa yang membuat kakaknya tertahan lama di luar rumah. Lalu, remaja laki-laki itupun beranjak dari kursinya dan berjalan keluar menuju ke pintu masuk. Namun, sebelum membuka pintu, dia menyibakkan tirai jendela dan mengintip ke luar rumah. Dia melihat sang kakak yang sedang berpelukan dengan Jack. Senyum pun berkembang di bibirnya.
Beberapa tetangga melewati kedua muda mudi yang sedang berpelukan tersebut, sambil berbisik mereka terus berjalan melewati keduanya. Cindy yang sadar jika mereka menjadi bahan gosip para tetangganya pun meminta Jack untuk melepaskan pelukannya.
“Jack, lepaskan pelukanmu. Kita dilihat oleh banyak orang yang lewat,” pinta Cindy.
“Biar saja,” jawab pria itu cuek.
“Jack,” serunya dengan nada yang lebih tinggi.
“Oke, oke.” Jack melepaskan pelukannya, lalu kembali duduk di kursi motornya.
“Maaf.”
“Tidak perlu meminta maaf. Kita berkeliling, mau?” tanyanya seraya menyentuh ujung kepala Cindy.
“Mau.”
Lalu, Jack memberikan helm kepada Cindy. Tapi, sebelum itu gadis berlesung pipi itu membuka pintu gerbang rumahnya dan masuk ke dalam untuk berpamitan kepada Ken. Namun, baru saja tangannya hendak menyentuh kenop pintu, tiba-tiba sang adik telah membuka pintu masuk terlebih dahulu.
“Ken,” seru Cindy terkejut.
“Kak, silakan jika Kakak mau berkeliling. Kakak bawa kunci rumah, kan?” tanyanya.
“Bawa, jadi sedari tadi kau di dekat pintu?” tanya Cindy keheranan.
“Iya, aku memperhatikan kalian. Sungguh romantis ha ha ha ha.”
“Dasar! Kau ini masih kecil, tidak baik mengintip orang dewasa sedang berpelukan.”
“Tapi, aku tidak sengaja melihat. Cepatlah pergi sebelum malam semakin larut.”
“Oke, aku pergi sekarang. Kunci pintunya ya.”
“Iya, Kak. Bye.”
Lalu, Cindy pun kembali menghampiri Jack dan keduanya pun naik ke atas motor. Perlahan motor sport milik Jack melaju menjauhi kompleks perumahan gadis itu menuju ke jalan raya.
Sepanjang perjalanan, Cindy melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Jack dan menyandarkan kepalanya ke punggung pria itu seraya menikmati pemandangan kota di malam hari. Kepadatan lalu lintas dan bisingnya suara mesin serta klakson mobil terdengar bagai melodi yang cukup khas, khas lalu lintas. Ditambah para pejalan kaki yang menyeberang ke sisi jalan yang lain, merupakan pemandangan yang indah untuk dilihat. Terpaan angin malam yang mengenai wajah dan menerbangkan rambut panjang miliknya yang tergerai sengguh menyejukkan hati dan perasaan.
Tidak lama kemudian, lampu lalu lintas pun berubah warna, perlahan Jack kembali melajukan motornya. Tapi, baru saja berjalan beberapa meter jauhnya, pria tampan itu menghentikan laju motornya dengan mendadak, hingga membuat Cindy terkejut dan kepalanya menabrak punggung belakang sahabatnya tersebut.
“Jack, ada apa? Kenapa berhenti tiba-tiba?” tanya Cindy keheranan.
Suara klakson yang meminta mereka maju pun berbunyi cukup keras, membuat Cindy semakin panik.
To be continued ... (Mulai hari ini, cerita ini akan update tiap hari. Ikuti terus dan jangan lupa ikuti/follow akun dreame penulis. Terima kasih ^^)