CH 4 : Ayam Goreng Istimewa

1095 Words
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Cindy telah membuka mata dan beranjak bangun dari tempat tidurnya. Gadis manis berlesung pipi itu bergegas merapikan tempat tidurnya yang berada di bagian bawah, sementara Ken tidur di tempat tidur bagian atas. Usai merapikan selimut, ia pun berjalan menuju ke jendela dan membuka tirainya. Cahaya matahari masih belum bersinar terang meski waktu telah menunjukkan pukul lima pagi. Sebelum ia melangkah ke dapur dan membuat sarapan serta bekal untuk mereka berdua, ia pun membangunkan sang adik terlebih dahulu. “Ken, Ken,” serunya seraya mendorong tubuh sang adik ke arah yang berlawanan. Ken yang masih terlelap tidur pun hanya bergumam tak jelas tanpa membuka matanya. Pantang menyerah, Cindy terus membangunkannya sambil mendorong tubuh adiknya lebih kuat dan berseru lebih kencang. “Ken,” serunya tepat di telinga kiri sang adik. Ken yang terkejut pun langsung membuka mata dan mendengus kesal seraya menoleh ke arah sang kakak. “Kak, kenapa harus berteriak di telingaku?” dengusnya seraya menutup wajahnya menggunakan bantal. “Sudah jam lima pagi, bangunlah, lalu pergi mandi. Aku mau membuat sarapan dan bekal untuk kita nanti di sekolah.” “Ya, ya,” jawab Ken sambil menarik selimut untuk kembali menutupi tubuhnya. Pagi hari di musim dingin memang membuat malas siapapun untuk beranjak turun dari tempat tidur. Tetapi, kemudian Cindy merebut selimut tersebut dan menaruhnya di tempat tidurnya. “Kak,” seru Ken yang merasa tidak senang. “Ken, bangunlah. Aku tidak punya banyak waktu untuk bermain-main seperti ini. Ayo kita bergegas bersiap-siap. Bukankah kau bilang mau melamar kerja ke perpustakaan?” ucap Cindy seraya turun dari pijakan kakinya di tangga tempat tidur dan berjalan menjauh menuju ke pintu masuk kamar. “Ah baiklah, Kak,” jawab Ken dengan patuh. Lalu, dia pun merapikan tempat tidurnya dan beranjak turun dari tingkat dua tempat tidur bertingkat yang ukurannya tidak terlalu besar. Kemudian, dia pun melangkah keluar dari kamar, membuka pintu teras belakang dan mengambil handuk untuk dirinya dan untuk Cindy. Lalu, dia menaruh handuk sang kakak di sofa. Sementara itu, Cindy sibuk membuat sarapan dan bekal. Menu pagi itu sangatlah sederhana, ya lagi-lagi telor mata sapi dan sayuran yang dimasak tanpa tambahan daging. Sebenarnya, Cindy ingin memberi makan makanan yang bergizi untuk adiknya yang notabebe memiliki kondisi fisik yang tidak terlalu kuat, tapi apa daya uang hasil dari menjadi buruh cuci baju harus ia hemat sedemikian rupa demi kelangsungan hidup mereka berdua. Saat sedang menaruh piring dan mangkuk nasi ke atas meja makan, terdengar pintu depan diketuk berulang kali. Cindy pun bergegas berjalan menuju ke pintu masuk, tapi sebelum pintu dibuka, ia terlebih dulu menyibakkan tirai yang menutupi jendela yang dihuni debu-debu tipis. Rupanya Paman Wei yang datang sepagi itu dengan membawa sebuah kotak makan. Dengan bahagia, Cindy cepat-cepat memutar kunci searah jarum jam, lalu menekan kenop pintu ke arah bawah, kemudian menarik kenop tersebut ke arah dalam dan pintu pun terbuka. “Paman, ada apa kemari sepagi ini?” tanya Cindy dengan hati riang gembira. “Aku mengantarkan ini untuk kalian berdua. Aku khawatir kalian tidak sarapan. Apa ada bahan makanan di rumahmu? Jika tidak ada kau dapat memberitahuku, oke?” ucap Paman Wei. “Ada sedikit bahan makanan. Tapi, terima kasih untuk makanan ini, Paman. Ayo silahkan masuk.” Cindy meraih kotak makanan yang ada di hadapannya dan mempersilahkan Paman Wei masuk. Tapi, pria paruh baya itu menolak dan berpamitan pergi. Sebelum pergi, dia berpesan kepada Cindy. “Cindy, biaya sekolah dan biaya rumahmu nanti biar aku yang tanggung. Kau dan Ken fokuslah belajar dan jangan pikirkan hal lainnya.” “Tapi, Paman—“ sahut Cindy. “Tidak ada tapi, tapi. Ini sudah merupakan bentuk tanggung jawabku kepada mendiang orang tuamu. Aku pulang dulu, sampai jumpa nanti.” Paman Wei pun beranjak pergi dari situ, kembali menuju ke rumahnya. Dari dalam rumah, keluarlah Ken yang telah berseragam rapi, dia berjalan mendekati sang kakak, seraya bertanya, “Siapa yang datang, Kak?” “Paman Wei, dia mengantarkan ini untuk kita. Ayo cepat makan.” Cindy mengajak Ken masuk ke dalam, lalu gadis itu mengunci pintu rumahnya. Keduanya berjalan menuju ke ruang makan. “Kakak mau makan atau mandi dulu?” tanya Ken yang sedang merapikan tas sekolahnya dan menyimpan baju hangatnya ke atas sofa. “Makan dulu saja, Kakak sudah lapar.” Pagi itu, keduanya duduk berdampingan di meja makan. Cindy membuka kotak makan yang diberi oleh Paman Wei, ternyata isinya adalah ayam goreng kesukaan Ken. “Ken, ini ayam goreng kesukaanmu. Ambillah dan bawalah untuk bekal di sekolah,” ucap Cindy seraya membuka kotak bekal milik Ken. “Kak, ayamnya cukup banyak, makanlah juga. Aku tidak mau menghabiskan semua ayamnya untuk diriku sendiri. Ambillah.” Ken memberikan satu potong ayam ke atas piring nasi kakaknya, lalu menaruh satu potong ayam ke atas piring nasinya. Kemudian, menaruh satu potong ayam ke dalam kotak bekal kakaknya dan satu potong ayam ke dalam kotak bekal miliknya. “Sekarang ayo kita makan,” ucap Ken dengan rona wajah bahagia. Cindy pun menatap sang adik dengan rona wajah bahagia, tanpa terasa air mata jatuh menetes dari kedua pelupuk matanya. Andaikan aja kedua orang tua mereka masih hidup, tentu semua akan jauh berbeda. Tapi, takdir berkata lain, mungkin tugas kedua orang tua mereka di dunia telah usai dan kini, beban itu harus mereka tanggung sendiri. Pagi itu, keduanya makan dengan lahap. Cukup lama keduanya tidak makan ayam goreng, sehingga ayam goreng pemberian dari Paman Wei terasa sangat istimewa. Usai menghabiskan makan pagi, mereka berdua pun bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah, Cindy bergegas pergi mandi, sementara Ken menunggunya di ruang keluarga. Setelah memakai baju hangat dan mengenakan tas punggung, keduanya keluar dari rumah dan berjalan berdampingan sambil membawa tas bekal di tangan mereka. Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sekolah yang letaknya cukup jauh. Demi menghemat uang transportasi, Cindy dan Ken memilih untuk berjalan kaki saja. Maka dari itu, mereka berangkat lebih awal agar tidak terlambat masuk ke dalam kelas. Di tengah perjalanan, saat sedang asyik menikmati udara pagi, tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di samping Cindy. Pengemudi motor tersebut membunyikan klakson dan memanggil Cindy dengan sebutan ‘Pucca’, karena ketika di sekolah dasar dulu, Cindy sangat suka menata rambutnya model cepol dua di sisi kiri dan kanan kepalanya. Pucca ini adalah tokoh kartun dengan ciri khas berbaju merah dan rambut yang diikat model cepol dua di kiri dan kanan kepalanya. Karena wajah Cindy yang manis ditambah dengan rambut cepol dua itulah, teman-teman semasa sekolah dasarnya dulu selalu menjuluki dirinya dengan panggilan “Pucca’. “Hei, Pucca!” seru pengemudi motor tersebut sambil membunyikan klakson motornya.   To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD