CH 3 : Isak Tangis

1087 Words
“Ah tidak perlu, Bi. Biar kami makan di rumah saja. Kami tidak mau merepotkan Paman dan Bibi. Kalau memang semua urusan telah selesai, kami pamit dulu. Terima kasih semuanya.” Cindy dan Ken pun menyalami tangan Paman, Bibi serta sepupu mereka, lalu keluar dari kediaman sang paman dan berjalan bergandengan tangan menuju ke rumah mereka yang jauh dari kata layak huni. Rumah Cindy berada tidak jauh dari rumah Paman Wei. Rumah mereka berada di kawasan kumuh yang terletak di tengah Kota Hongkong. Jika kediaman Paman Wei dapat dikatakan layak huni dan cukup berada meski sederhana, lain halnya dengan keadaan rumah keluarga Cindy. Rumah peninggalan orang tua Cindy hanyalah sebuah rumah tua yang memiliki dua kamar tidur. Gadis manis berlesung pipi itu tidur di kamar yang sama dengan adik laki-lakinya di tempat tidur susun yang modelnya cukup kuno. Semua barang-barang yang ada di dalam rumah mereka hampir semuanya dapat dikatakan bermodel kuno, meski masih berfungsi dengan baik. Bahkan, pakaian yang dimiliki oleh kedua kakak beradik itupun tidak terlalu bagus, hanya saja sedikit lebih layak untuk dipakai. Kedua orang tua mereka jarang membelikan mereka pakaian baru, kecuali ketika hari raya tiba atau ketika sang ayah mendapat uang lebih, barulah ibu mereka membelikan mereka sepatu atau pakaian baru. Tapi, semuanya dapat dihitung dengan hitungan jari. Namun, kedua kakak beradik ini adalah anak-anak yang baik. Mereka memahami keadaan kedua orang tuanya dan tidak pernah menuntut lebih, bahkan terkadang jika pekerjaan sekolah mereka telah selesai, mereka akan membantu sang ibu mencuci pakaian para tetangganya untuk meringankan beban sang ibu. Sesampainya di dalam rumah, Ken langsung berbaring di sofa yang sebagian besar kulitnya telah rusak. Sementara, Cindy menaruh barang bawaannya di samping sofa, lalu berjalan masuk ke dalam dapur. Dibukanya tempat penyimpanan beras, betapa sedih hatinya, beras yang tersisa bahkan tidak cukup untuk dua hari. Ia pun segera memutar otak. Lalu, ia teringat pekerjaan yang biasa dilakukan oleh mendiang ibunya. Ia pun bergegas keluar dari dapur dan berjalan cepat menuju ke pintu masuk. Ken yang sedang beristirahat pun merasa heran, lantas berseru memanggil sang kakak, “Kak, mau ke mana?” Tapi, Cindy tidak menjawab, pikirannya fokus kepada pekerjaan yang harus segera ia ambil. Ia mendatangi rumah tetangganya satu persatu dan menanyakan apakah mereka masih menyimpan pakaian-pakaian kotor yang belum atau tidak sempat mereka cuci. Beruntungnya, sebagian dari mereka masih menyimpan pakaian-pakaian kotor yang belum sempat mereka cuci. Dengan senang hati, mereka pun memberikan cucian-cucian tersebut kepada Cindy. Setelah mendapat banyak pakaian kotor, dengan riang gembira, Cindy pun kembali berjalan pulang menuju ke rumahnya. Dari kejauhan terlihat Ken sedang berdiri di tepi pintu pagar. Melihat sang kakak yang sedang kesusahan membawa banyak pakaian kotor, Ken pun berlari menghampiri dan membantunya membawa sebagian pakaian kotor tersebut. “Kak, kenapa meminta pakaian kotor sebanyak ini? Apa kakak tidak lelah?” tanya Ken yang merasa iba dengan perjuangan sang kakak. “Karena persediaan beras di rumah tidak akan cukup bahkan untuk dua hari, Jangan khawatir, kakak tidak lelah. Sesampainya di rumah, kita segera mengerjakan semuanya. Apa kau mau?” tanya Cindy sambil melirik ke arah Ken. “Ya, Kak. Tugas-tugas sekolah sudah kukerjakan semuanya. Aku akan membantu membersihkan rumah dan pekerjaan lainnya.” “Terima kasih, Ken.” Lantas, keduanya pun masuk ke dalam rumah dan langsung mengerjakan semuanya bersama-sama, hingga malam tiba. Usai menyantap makan malam, Cindy merapikan meja makan dan membawa semuanya ke dapur. Sambil mencuci piring-piring kotor tersebut, air mata mengalir membasahi wajah mulusnya. Pandangan matanya pun menjadi buram akibat genangan air mata. Berkali-kali, ia menyeka kedua matanya menggunakan kaus lengan panjangnya. Tapi, air mata itu tetap mengalir dan tak mau berhenti. Cindy berusaha menangis sepelan mungkin, agar Ken tidak mendengar suara tangisnya. Tapi, malam itu, keadaan rumah mereka dalam keadaan sunyi, Ken tidak menyalakan televisi, saat itu dia sedang membaca buku, sehingga ia dapat mendengar suara tangis sang kakak. Dia berdiri dan berjalan menuju dapur. Dilihatnya sang kakak yang sedang menangis terisak. Hatinya pun ikut menjadi sedih, dia berlari dan memeluk sang kakak dari belakang seraya ikut menangis. “Kak,” isaknya sambil membenamkan wajahnya ke punggung Cindy. Cindy pun mematikan kran air dan berbalik serta membalas pelukan sang adik, seraya bertanya, “Mengapa kau menangis?” Ken menengadahkan kepalanya, menatap sang kakak yang tinggi tubuhnya hanya selisih lima hingga enam sentimeter saja. Lalu, dia menjawab, “Mengapa kakak menangis juga?” Mendengar jawaban lugu yang keluar dari mulut adiknya, membuat Cindy sedikit tersenyum, lalu ia menyeka sisa-sisa air mata yang masih menggenangi kedua sudut matanya, lalu gadis manis berlesung pipi itu mengajak sang adik untuk menemaninya duduk di teras belakang. “Kita duduk di teras belakang yuk,” ajak Cindy. “Ayo, Kak.” Lantas, keduanya pun langsung beranjak pergi dari dapur menuju ke teras belakang. Mereka berdua duduk di lantai yang beralaskan karpet tipis yang sebagian besar kainnya sudah mulai robek dan warnanya sedikit memudar. “Ken, aku rindu papa dan mama,” ucap Cindy seraya kembali menangis sambil menengadahkan kepalanya menatap kunang-kunang yang berada di kebun kecil milik mereka. Ken menoleh dan menatap sang kakak, seraya menjawab, “Aku juga, Kak. Apa mereka sekarang sedang melihat kita?” “Kakak tidak tahu, mungkin saja sekarang mereka sedang melihat kita sambil tersenyum. Dulu, Kakak dan mama sering duduk di sini sambil melihat kunang-kunang. Kami akan mengobrol sambil tertawa lepas, rasanya segala beban hilang, tergantikan oleh hangatnya kebersamaan. Sekarang semuanya berbeda dan tidak akan pernah sama lagi. Kita harus berjuang sendirian, memikul beban hidup di bahu kita dan menahan rasa sepi yang melanda hati. Entah apa yang akan terjadi di masa depan, terkadang Kakak takut untuk memikirkannya.” “Kak, masih ada aku di sini yang akan selalu menemanimu. Meski, kita sendirian, tapi kita akan selalu bergandengan tangan, kan?” tanya Ken sambil ikut menangis terisak. Dia duduk mendekat pada Cindy dan memeluk sang kakak dari samping. Cindy membalas pelukan sang adik tak kalah erat, lalu menjawab, “Iya, kita akan selalu bergandengan tangan. Ken, mulai besok bantu Kakak mencuci pakaian para tetangga ya.” “Iya, Kak. Oh ya, aku juga berniat untuk melamar kerja ke perpustakaan sekolah, siapa tahu aku bisa menjadi penjaga di sana. Hitung-hitung untuk membantu meringankan beban Kakak. Tidak apa-apa, kan, Kak?” tanya Ken dengan raut wajah yang bahagia. “Iya, tidak apa-apa.” “Sudah malam, Kak. Ayo kita pergi tidur,” ajak Ken seraya menarik tangan sang Kakak beranjak pergi dari situ. Lantas, keduanya pun masuk ke dalam rumah dan menutup pintu teras, masuk ke dalam kamar tidur.  To be continued ..... Jangan lupa follow/ikuti akun penulis ya, biar author semangat ^^.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD