“Bagaimana bisa kamu mengenal Jonathan?” Bram seraya tidak percaya dengan kata-kata Deri padanya.
Deri tidak langsung menjawab. Ia menatap Bram dengan tatapan menerawang.
“Katakan Der ... Apa yang sebetulnya terjadi?” tanya Bram lagi. Bola mata Bram yang berwarna kecokelatan itu seraya menuntut jawab.
Deri terlihat ragu untuk memberitahu.
Bram berjalan mendekat. Tatapannya semakin tajam. “Apa ... Kamu terlibat dalam penculikan ini?” tanyanya sekali lagi.
“Bukan begitu, Bram ...,” jawab Deri sembari menarik nafas panjang. “Kamu salah faham.”
“Jika tidak ingin aku salah faham. Ceritakan yang jelas ...!”
“Apa kamu siap mendengarnya?”
Tanpa pikir panjang, Bram segera menganggukkan kepalanya.
Deri menarik kursi makan yang tidak jauh dari mereka berdiri. “Duduk lah dahulu,” ujarnya lirih.
Netra Bram memandangi Deri dan kemudian turun ke tangannya yang mempersilahkannya duduk di kursi makan. Ia seraya tamu di dalam rumahnya sendiri.
Setelah Bram duduk di kursi makan yang terbuat dari kayu jati tersebut. Deri mulai ikut duduk. Ia melipat kedua tangannya di atas meja.
“Ayo, ceritakan. Aku akan menyimak ....”
“Bram, kamu adalah perampok. Jonathan adalah partnermu. Kalian berdua adalah perampok kelas kakap yang sering membobol bank, merampok pameran perhiasan, merampok barang-barang bersejarah yang kemudian di jual ke pasar gelap internasional.”
Bram terkesiap mendengarnya. “Apa aku benar perampok?!” serunya tidak percaya. “Pantas saja dia akrab mengenaliku.”
Deri mengangguk dan kemudian melanjutkan ceritanya. “Suatu malam, kalian merampok bank. Kuakui jika kalian berkolaborasi, semua rencana perampokan selalu berhasil dan sukses. Tidak ada korban jiwa dan amat rapi. Singkatnya kalian berhasil merampok uang di bank tersebut yang jumlahnya sangat banyak. Jutaan dollar atau lebih. Aku lupa ....”
“Lalu?” Bram mulai sangat tertarik. Tapi ia pun merasa tidak percaya jika masa lalunya adalah seorang penjahat. Tiga tahun ini lah yang hanya diingatnya.
Deri menatap Bram lekat. “Lalu ... kamu mengkhianati Jonathan. Kamu menembaknya dan mengambil semua harta rampokan seorang diri. Tentu saja Jonathan tidak tinggal diam. Beberapa minggu kemudian dia mencarimu.
Tidak mudah memang untuk menemukan tempat persembunyianmu. Namun bukan Jonathan namanya, jika tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya.
Jonathan menemukanmu. Kalian saling mengejar satu sama lain di jalanan malam. Hingga akhirnya mobil yang kamu kemudikan mengalami kecelakaan.”
Tiba-tiba kepala Bram sangat terasa sakit. Seperti ada ribuan paku menusuk-nusuk kepalanya. Ia memegangi kepalanya itu dengan kedua tangan. “Aaaaa!”
Deri terkejut melihat Bram mengaduh kesakitan. “Kamu tidak apa-apa?” tanyanya sembari memegangi bahu Bram.
Bram tidak menjawab. Ia tidak sanggup berbicara karena menahan rasa sakit tidak tertahan yang menusuk-nusuk kepalanya.
Sekilas ingatan mulai muncul di benaknya. Suara dentuman bodi mobil yang menabrak pembatas jalan dan kemudian melayang terbang. Mobilnya terbalik dan berputar beberapa saat. Aroma hangus terbakar mulai terendus di ujung indera penciumannya.
Darah menetes dari luka robek di kepala. Kakinya terasa sakit karena terjepit.
Derap kaki terdengar mendekat dan kemudian menarik tubuh Bram dengan kasar dari dalam mobil. Sepasang mata Bram yang lebam terbuka perlahan. Pandangannya terlihat samar.
“Hei, jangan mati dulu sebelum kamu mengatakan di mana uang jutaan dollar milikku?! Pengkhianat!” seru Jonathan sembari mencengkeram kerah baju yang dikenakan Bram.
“Jo ... Bukan aku ....”
Suara sirene polisi yang tengah patroli terdengar dari kejauhan.
Ingin rasanya Jonthan menyeret Bram dan memaksanya untuk berbicara. Tapi sayang, ia takut polisi yang sedang berpatroli itu keburu datang. Jonthan mendengkus kesal dan melepaskan cengkeramannya.
Bram langsung jatuh terjerembab ke bawah. Kepalanya dan tubuhnya yang sudah tidak berdaya, harus masih merasakan kerasnya aspal jalanan.
Jonathan menendang kaki Bram.
Bram yang kini sudah mati rasa. Sampai tidak mengaduh karena dia sudah pingsan.
“Jangan mati dulu Bram! Aku akan kembali lagi mencarimu!” ancam Jonathan dan segera meninggalkan Bram yang terkapar tidak berdaya.
(Kembali ke masa kini)
“Bram ... Kamu tidak apa-apa?” tanya Deri cemas.
Sakit kepala yang dirasakan Bram berangsur menghilang. “Ya, aku tidak apa-apa ....”
“Kenapa kamu?”
“Aku ... Aku mengingatnya. Kepingan memori itu kini muncul. Aku ingat saat malam terjadinya kecelakaan itu,” jawab Bram dengan sepasang mata berbinar.
“Syukurlah jika kamu ingat. Sekarang kamu percaya dengan ceritaku? Jika kamu adalah seorang penjahat kelas kakap spesialis perampokan?”
Bram percaya. Namun ia tidak menjawab. Sorot mata berbinarnya itu kini beralih sendu. “Jika kamu mengetahui masa laluku. Kenapa selama ini hanya diam saja? Setahun ini kamu menjadi tetanggaku. Kita menjadi sahabat dan kamu hanya diam saja?”
Deri menjilat bibirnya sendiri sebelum berbicara. “Aku ... aku tidak tega untuk menceritakan padamu.”
“Kenapa?!” seru Bram bertanya sembari mengerutkan kedua alisnya.
“Aku melihat ... Kamu menikmati hidupmu saat ini. Kamu mencintai Anna. Dan Anna mencintaimu. Menerimamu yang tidak ingat apa-apa dan tidak memiliki apa-apa. Pernikahan kalian bahagia. Aku tidak tega menghancurkan kebahagiaan itu ...,” jawab Deri sembari menarik nafas dalam.
“Kamu tahu segalanya tentangku ... Apa kamu juga salah satu temanku? Teman perampok?” tanya Bram lirih.
Deri mengangguk pelan. “Ya, aku adalah kawanmu. Lebih tepatnya kita sebetulnya bertiga. Aku, Jonthan dan kamu. Tapi aku memang sudah lebih dulu mengundurkan diri dari lembah hitam menjadi seorang perampok sebelum kejadian kamu dan Jonathan merampok sebuah Bank, dan kamu mengkhianatinya.”
Bram menghembuskan nafas lesu. Kedua tangannya mencengkeram rambut dan mengerang kesal. “Lalu aku harus bagaimana?! Aku tidak ingin Anna terluka. Apa lagi terluka karena menanggung kesalahan di masa laluku.”
“Satu-satunya jalan ... adalah mengembalikan uang jutaan dollar tersebut Bram. Kamu harus mengembalikannya,” kata Deri dengan penuh keyakinan.
“Tidak usah kamu suruh, aku sangat ingin mengembalikannya. Tapi aku tidak tahu di mana aku menyimapannya,” jawab Bram mulai frustasi.
“Ingatlah ... Kamu pasti ingat di mana kamu menyimpan uang jutaan dollar itu!” seru Deri memberi semangat.
Bram tidak menyahut. Ia hanya melirik ke arah Deri.
Deri menepuk punggung Bram. Sikapnya yang hangat, menyamangati menandakan jika dia mendukung Bram dan akan membantu.
Tepukan Bram seraya seketika kembali mengingatkan pada sebuah adegan kejadian di masa lalu. Seorang kawan menepuk punggungnya, sama persis seperti yang tengah dilakukan Deri saat ini.
Suara tawa seseorang pria yang wajahnya samar. Dan riuhnya pengunjung di sebuah bar terngiang di telinga.
“Jika kamu menginginkan lolos dari semua masalah. Terutama kejaran polisi kenapa kamu tidak mengencani salah satu polwan?” Seorang pria yang wajahnya terlihat samar di ingatan Bram memberi saran. Ia tertawa lepas ketika memberi saran itu. “Polisi wanita sekarang sangat cantik dan sexy. Bahkan ada yang cantiknya seperti seorang model. Ya ... itu semua taktik agar penjahat seperti kita tidak tega. Hahahaha ....”
“Maksudmu seperti Cindy?” Bram mendengar suaranya sendiri di dalam ingatannya.
“Ya, Cindy, si polwan yang sexy itu ... Jangan berpura-pura, aku yakin kau sudah mengencaninya. Kamu pasti sudah memberitahukan semua rahasiamu.”
“Bram! Bram!” Suara Deri yang memanggil kini membuyarkan lamunan ingatan Bram.
Bram yang tiba-tiba termenung kini tersadar. “Apa kamu kenal dengan seorang wanita bernama Cindy?” tanyanya segera pada Deri.
Deri terkesiap dan kemudian terdiam. Dari raut mukanya ia terlihat seperti mengingat-ngingat. “Cindy ...?” tanyanya berbalik sembari mengerutkan kedua alisnya.
Bram menganggukkan kepalanya. “Ya, Cindy ... Seorang polisi wanita. Tadi tiba-tiba aku teringat kejadian di sebuah bar. Aku bersama seorang pria. Pria ini wajahnya tidak terlihat jelas. Samar. Aku tidak bisa melihatnya ....”
“Lalu?” tanya Deri ingin tahu.
“Kami membicarakan seorang Polisi wanita bernama Cindy. Kata pria yang berbincang denganku ini, mungkin aku sudah mengencani Cindy dan telah memberitahukannya semua rahasia.”
Hening.
Deri dan Bram saling bertatapan.
“Cindy ... Ya ... Di sekelebat ingatanku tadi ... aku jelas mendengar suaraku sendiri menyebut sebuah nama, yaitu Cindy ...,” ujar Bram lirih. Menyakinkan dirinya sendiri.