07 - Tinggal Nama

1116 Words
            Setelah makan malam Alice duduk bersama dengan yang lainnya, sambil bermain dengan anak Vero dan Anna yang sangat tampan dan mengemaskan. Alice tertawa ketika anak laki-laki itu tersenyum dan tertawa padanya. Alice tidak pernah menduga kalau takdir akan membawanya bertemu dengan keluarga Jeno—yang kaya raya dan tentunya sangat baik sekali. berbanding balik dengan keluarga kaya yang selama ini dikenal olehnya sombong dan tidak akan mau berdekatan dengan tidak sekasta dengan mereka.             “Kau sudah berapa lama kenal dengan Jeno?” tanya Anna.             Alice yang mendengar itu mengerjapkan matanya berulang kali. Berapa lama? Alice baru kenal dengan Jeno delapan jam ini dan itupun sudah menikah dengan pria itu.             “Hampir setahun. Memangnya kenapa?” tanya Alice.             Anna menggeleng. “Tidak ada. Soalnya Jeno tidak pernah bercerita kalau dia dekat dengan seorang wanita, apalagi wanitanya sangat cantik sekali.” Anna memuji kecantikan Alice.             “Terima kasih. Tapi, kau lebih cantik.”             “Makasih. Kau bekerja di mana Lice?” tanya Anna penasaran di mana Alice bekerja. Melihat Alice yang berpenampilan modis, pasti gadis itu bekerja di sebuah perusahaan terkenal.             “Aku seorang penulis,” jawab Alice tersenyum malu.             Anna yang mendengar itu terkejut. “Kau seorang penulis? Wah. Aku beruntung bertemu dengan seorang penulis. Kau sudah menerbitkan berapa n****+ dan apa judulnya?” tanya Anna sangat antusias sekali.             Anna suka membaca n****+, walau tidak sesering dulu dirinya membaca n****+, karena sekarang waktunya harus banyak bagi antara anak dan suaminya. Keduanya juga sama-sama manja pada Anna dan tidak mau berjauhan dengan Anna.             “Aku lupa sudah berapa. Aku jarang menghitungnya. Judul di antaranya Boss m***m,” jawab Alice menyebutkan n****+ yang diterbitkan olehnya.             “Wah. Kau hebat sekali. Aku boleh membacanya nanti?” tanya Anna.             Alice mengangguk. “Boleh. Aku akan memberikan novelnya padamu. Kalau kau pasti tidak bekerja dan di rumah,” ucap Alice.             “Hem. Dulu aku sekretaris Vero. Setelah aku hamil dan melahirkan, Vero tidak membolehkan aku bekerja lagi. Dan sekarang sekretaris dia seorang laki-laki. Dia sebelum menikah denganku, suka jajan sembarangan dan tergoda oleh wanita seksi. Kau juga harus berhati-hati karena Jeno sebelum menikah denganmu dia suka jajan sembarangan.” ujar Anna.             Alice yang mendengar itu menatap tajam pada pria yang berbicara dengan Vero sekarang dan tertawa bersama dengan pria itu. kalau Jeno banyak wanita yang tidur dengannya, kenapa pria itu tidak menikahi salah satu dari mereka dan malah menikahi Alice.                  “Dia pernah mempunyai pacar?” tanya Alice.             Anna menggeleng. “Tidak pernah. Tapi, kalau wanita yang menghangatkan ranjang dia banyak. Aku bukan mengadu domba antara dirimu dengan dia. Tapi, kau harus tahan banting dengan wanita-wanita yang berusaha untuk merebut suamimu. Pria seperti Jeno yang tampan dan kaya raya, pasti banyak wanita yang ingin merebutnya darimu,” bisik Anna.             “Kau seperti sudah berpengalaman Anna. Pasti banyak yang mendekati Vero dan membuatmu tahan banting dengan wanita-wanita yang berusaha merebut suamimu itu,” ucap Alice melihat Anna yang sangat biasa sekali membicarakan ini.             “Hem. Aku sudah tahan banting dengan mereka semuanya. Bahkan aku sudah punya anak dengan Vero saja, masih banyak yang mau merebut Vero. untung saja Vero tidak tergoda dengan mereka. Dan malah memarahi mereka, kalau mereka sudah mulai kurang ajar menghinaku,” kata Anna.             Alice tertawa pelan. “Kau memang sudah tahan banting Anna. Aku akan mengambil air minum, kau mau minum apa?” tanya Alice.             “Tidak usah Alice. Aku sudah minum tadi. Kau sendiri saja,” tolak Anna yang tidak ingin minum.             Alice mengangguk dan mengambil air minum untuk dirinya. Mata Alice tertuju pada Jeno yang menatapnya dengan tatapan manis pria itu. Alice melihat ke arah lain, saat dirinya akan balik ke tempat Anna. Jeno sudah berdiri di depannya dan tersenyum menyebalkan.             “Hai, cantik mau ke mana? Ikut Abang yuk! Ke dalam kamar. Buat anak kita!” ucap Jeno mengedipkan matanya beberapa kali.             Alice menendang lutut pria itu. “Minggir. Tidak sudi buat anak sama kamu!” kata Alice yang akan berjalan menjauh dari Jeno.             Namun, tangannya sudah ditarik oleh pria itu dan membawa Alice menuju halaman belakang hotel dan membekap mulut Alice yang akan teriak. Ya kali Jeno nanti dituduh menculik istrinya sendiri. Alice melepaskan bekapan tangan Jeno di mulutnya dan berdecak kesal.             “Kau apaan hah?” tanya Alice.             Jeno tertawa pelan. “Kita main culik-culik. Aku culik kamu dan kamu nanti langsung menjadi istriku,” jawab Jeno ngawur.             “Apaan sih! Balik ke dalam sekarang. orang di dalam pasti mencari kita nantinya,” kata Alice yang ingin masuk ke dalam hotel kembali.             Namun Jeno menggeleng dan menyuruh Alice untuk duduk di kursi taman belakang hotel. “Jangan ke mana. Aku ingin berdua dan semakin dekat denganmu. Kau mau jadi pacarku?” tanya Jeno mengedipkan matanya.             Alice yang melihat itu menatap mata Jeno penuh selidik. “Jeno, kau sakit mata? Dari tadi matamu terus saja berkedip dan tidak berhenti sama sekali.”             Jeno berdecak. “Sial. Kau tidak bisa diajak romantis sama sekali. padahal aku ingin bersikap romantis dengan mengajakmu pacaran,” ucap Jeno.             Alice mendorong tubuh Jeno yang sangat dekat dengan dirinya. “Kau bilang romantis? Mana ada mengajak pacaran dengan seperti ini? seharusnya kau siapkan bunga, uang, dan kalau perlu kau siapkan kunci apartemen yang mewah, agar aku pertimbangkan mau menerimamu menjadi pacarku atau tidak,” kata Alice seperti gadis yang matre dan gila harta.             Jeno yang mendengar itu berdecih. “Kau sudah ketularan Mamaku ternyata. Aku sudah bilang, kau tidak perlu berdekatan dengannya. Ajaran dia itu sesat sekali dan banyak maunya,” kata Jeno.             Alice menggeleng. “Bukan ajaran Mamamu. Bukannya itu realitis. Apalagi kau juga orang kaya, yang sudah sewajarnya aku minta itu.”             “Ya. Sudah sewajarnya, kalau kau mau menikah denganku. Ini aku mengatakan untuk menjadikanmu pacarku.”             “Lah, kita sudah menikah. Jadi, aku sudah bisa minta itu semua bukan? Sini kartu kreditmu satu biji. Hanya satu dan tidak lebih sama sekali. Kau, ‘kan sudah menjadi suamiku, dan sudah sepatutnya menafkahiku lahir dan batin.” Kata Alice meminta kartu kredit Jeno.             Jeno mengeluarkan dompetnya dan memberikan satu kartu kreditnya untuk Alice. “Kamu mau minta apa lagi? Rumah? Apartemen? Atau mau minta jett pribadi, besok aku sediain untuk kamu. Kalau rumah aku sudah membeli rumah mewah untuk istriku. dan kamu menjadi istriku, kita tinggal pindah ke rumah itu dan tidak perlu membeli perabot lagi,” jelas Jeno.             Alice tersenyum. “Jangan pikirkan rumah Jeno. Pikirkan bagaimana dirimu menjelaskan pada keluargaku, tentang kau yang tiba-tiba menarikku dan menikahiku.” Alice berdiri dari tempat duduknya dan memberikan kembali kartu kredit itu pada Jeno.             “Pikirkan caranya dan usahakan dirimu tidak tinggal nama saja nantinya.” Alice mengedipkan matanya dan pergi dari hadapan Jeno.             Jeno yang mendengar itu menelan salivanya kasar. Tinggal nama saja? Jeno tidak mau mati muda.             ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD