Masih berusaha menetralkan degupan jantungnya, Aiza memilih duduk sambil memegang dadanya dan menundukkan wajahnya.
Dengan menarik napasnya sejenak, Aiza membatin bahwa Arvino adalah Dosen yang angkuh sekaligus si tukang gombal receh yang membuat wanita sepertinya menjadi malu.
Oh ayolah, lumrahnya seorang wanita adalah lemah terhadap perasaan dan pujian dari seorang pria sehingga menyebabkan sedikit banyaknya terbawa perasaaan tapi tetap saja! Arvino adalah seorang pria si tukang perayu ulung yang tugasnya membuat semua wanita tersipu-sipu malu.
Sekali lagi, Aiza menatap beberapa lembar artikel yang sudah di sobek oleh Arvino beberapa menit yang lalu dan berserakan begitu saja di lantai.
Berusaha sabar, Aiza pun mencoba mengumpulkan dengan segala kekesalan yang terpendam. Arvino benar-benar keterlaluan! Ia sudah bersusah payah mengumpulkan materi melalui internet lalu mengetiknya diaplikasi Word kemudian ia print dan sekarang? Dengan santainya Arvino menyobek tugas-tugasnya hanya karena masalah konyol.
"Tugasmu simpel. Jadi calon istri saya meskipun hanya berpura-pura. Atau mungkin calon istri beneran untuk saya."
Aiza berusaha menghenyakan tawaran Arvino padanya. Ini semua adalah tugas hasil jerih payahnya selama semalaman suntuk.
Setidaknya, Aiza memilih menghargainya dengan cara memasukkannya kembali kedalam tas bertepatan saat dua orang wanita yang usianya lebih tua dari Aiza memasuki kelasnya.
"Jadi ini orangnya?"
Aiza menoleh dan mendapati seorang wanita berdiri didepan pintu. Wanita itu menatapnya sinis kemudian sambil menarik pergelangan tangan Aiza dengan kasar.
"Kamu!"
"Maaf, tolong lepaskan tangan saya." pinta Aiza.
"Tidak akan! Kamu mahasiswi tahun pertama ya?!" tanya wanita itu dengan kesal.
Aiza mengagguk. "I-iya, maaf ada apa?"
"Ck!" dengan kesal wanita itu mendorong bahu Aiza hingga hampir saja membuat Aiza terjatuh kalau saja ia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya.
"Jangan coba-coba berani untuk mendekati Pak Arvino! Kamu mengerti?!"
Aiza menatap wanita itu yang sepertinya kakak tingkatnya atau alumni lulusan Universitas ini. Aiza berusaha membela dirinya.
"Maaf, ini tidak seperti yang kamu pikirkan aku-" Plak! Sebuah tamparan keras dipipi Aiza membuatnya terkejut bahkan terasa pedih oleh amarah yang dirasakan dari wanita itu. Seorang wanita yang sejak tadi berada disebelahnya mencoba untuk melerai.
"Devika hentikan! Cobalah untuk tenang."
"Aku tidak mungkin bisa tenang jika wanita sok tidak tahu ini berpura-pura tidak mau mengakuinya!"
"Tapi setidaknya kamu bisa menanyakan baik-baik sebelum- Dev!!" pekikan suara dari sahabatnya itupun terdengar ketika tanpa diduga Devika menyiram Aiza dengan sebotol air mineral dari atas kepala hingga membuat Aiza basah.
"Ini pelajaran buat dia! Setidaknya dia harus tahu kalau Pak Arvino itu sudah memiliki diriku sehingga wanita sok pendiam ini tidak mengganggunya!"
Aiza menatapnya tajam. "Aku tidak masalah jika kamu menyiramku dengan banyak air! Tapi aku tidak terima jika kamu menuduhku bahwa aku mendekati Pak Arvino!"
Merasa kesal, Devika hendak melayangkan tamparan lagi pada pipi Aiza namun dengan cepat Aiza menahan pergelangan tangannya.
"Kamu harus ingat satu hal." Aiza merasa muak dan menatap Devika dengan tajam.
"Secara tidak langsung kamu memfitnahku dan hal itu lebih kejam daripada pembunuhan!" Dalam sekali hentak, Aiza menjauhkan tangan Devika kemudian melenggang pergi begitu saja dengan perasaan kesal.
Melawan seseorang seperti Devika saat ini adalah hal yang tidak penting bagi Aiza. Padahal ia tidak mendekati Arvino, tapi Dosen perayu ulung itulah yang mendekatinya.
Aiza berjalan dengan langkah cepat. Keinginannya untuk pergi kekantin karena perutnya yang lapar hilang begitu saja dan memilih pulang ke kostnya sekarang juga.
"Aiza?"
Aiza menoleh dan mendapati Reva sedang bersama Fikri. Keduanya terkejut melihat hijab dan wajah Aiza yang basah akibat siraman air dari Devika.
"Kamu, A-apa yang sedang terjadi Za? Kenapa-"
Aiza menyela. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Reva, aku baik-baik saja. Permisi."
"Tapi-"
Dan lagi, Aiza memilih mengabaikan Reva untuk melanjutkan niatnya yang ingin cepat-cepat pulang kekostnya.
"Sepertinya Aiza habis bertemu dengan Devika."
Reva menatap Fikri. "Bertemu Devika? Siapa dia?"
Fikri pun akhirnya tersenyum penuh arti. "Secara tidak sengaja aku mendengar percakapan Devika dikantin dengan sahabatnya yang ingin memaki Aiza dan tanpa mereka sadari, posisiku tidak jauh dari mereka."
Fikri melihat raut wajah Reva sejenak. Reva terlihat khawatir dengan nasib Aiza. Padahal jika dipikir Aiza bukanlah sahabatnya, melainkan dirinyalah yang menjadi sahabat Reva sejak pertemuannya di universitas dan kebetulan satu jurusan Ilmu Komunikasi dengannya.
"Devika itu alumni lulusan universitas ini. Dia tetanggaku sejak kecil dan menyukai Pak Arvino sejak dulu. Kalau dia ada kesini, berarti dia mendatang Pak Arvino. Mungkin sekedar singgah makan siang di kantin."
"Dia tidak kerja?"
"Saat ini masih menganggur. Aku dengar Ayahnya akan mempercayai dirinya untuk memimpin perusahaan penyiaran miliknya di Jakarta."
"Kenapa kamu begitu tahu semuanya Fik? Aku jadi curiga denganmu." tanya Reva dengan tatapan menyelidiknya.
"Em, aku.." mendadak Fikri menjadi bingung untuk menjelaskannya pada Reva. Sebenarnya ia menyukai Devika. Tapi karena penampilannya yang culun, membuat Fikri tidak memiliki rasa percaya diri.
"Aku, em.. aku mengagumi Devika sejak dulu sehingga aku mengetahui tentang semuanya." Reva menatap Fikri yang terlihat gugup dalam mengucapkannya.
Tapi Fikri tidak menyadari satu hal bahwa kata-katanya barusan secara tidak langsung menyentil hati Reva yang membuatnya wanita berlesung pipi itu tidak suka. Atau mungkin cemburu.
*****
Arvino jadi kesal sendiri ketika diirinya merasa lelah hanya untuk menatap layar ponselnya sejak bermenit-menit yang lalu.
Bagaimana itu tidak terjadi jika dirinya tiba-tiba saja merasa penasaran dengan sosok Aiza yang begitu misterius baginya dan berusaha mencari akun sosmed gadis itu namun sungguh disayangkan ia tidak kunjung menemukannya.
Arvino memilih menyerah dan meletakkan ponselnya bertepatan saat ponselnya itu berdering tanda panggilan masuk.
"Adila?"
Seketika Arvino merasa ragu untuk menerima panggilan dari Adila. Tapi untuk apa dia ragu? Bukankah mereka hanya teman biasa? Akhirnya Arvino mengalah dan menerima panggilan tersebut.
"Halo?"
"Halo Assalamu'alaikum Arvino."
"Wa'alaikumussalam. Iya ada apa Adila?"
"Tidak ada apa-apa. Alhamdulillah kamu masih menyimpan nomor ponselku."
"Ya begitulah." Arvino menggaruk lehernya sambil berdeham. "Aku tidak pernah berpikir untuk menghapusnya."
Adila tertawa geli "Aku senang kamu tidak melakukannya. Em langsung saja ke intinya ya. Kalau kamu tidak sibuk, apakah besok kamu bisa datang keacara launching butikku?
"Besok ya?" Arvino mengusap dagunya sambil berpikir. "Baiklah aku akan mengusahakannya jika tidak sibuk."
"Terima kasih. Aku harap besok kamu bisa datang terlebih aku juga mengundang Om Azka dan Tante Ayu. Tapi aku minta maaf jika hal ini akan merepotkanmu."
"Sama sekali tidak Adila."
Kecanggungan pun terjadi, baik Adila dan Arvino sama-sama terdiam sesaat. Arvino sendiri merasa bingung harus membahas hal apalagi sedangkan Adila, wanita itu merasa grogi meskipun durasi panggilan mereka baru berjalan 1 menit.
"Em aku rasa itu saja. Kebetulan sudah malam dan aku mau tidur."
"Kalau begitu semalam malam Adila. Semoga mimpi indah."
"Terima kasih. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumusallam." Adila mematikan ponselnya dengan raut wajah malu sekaligus merona merah dipipinya. Adila tidak bisa berhenti tersenyum. Sosok Arvino benar-benar membuatnya jatuh cinta saat pandangan pertama sejak acara makan bersama dikeluarga besarnya dengan keluarga besar Arvino.
Disisilain, mendapati besok adalah undangan dari Adila, seketika ia teringat soal hutang Aiza padanya. Sambil memasang raut wajah santai dan smirknya, sebuah ide cemerlang pun muncul di benaknya.
"Ck! Aku harus menagih janji kepada si gadis pipi kemerahan itu sekarang juga."
*****
Lagi-lagi Arvino mau cari kesempatan sama Aiza-_-
bagaimana ya selanjutnya? tetap stay di Arvino Aiza ya.
With Love
LiaRezaVahlefi
Blog : www.liarezavahlefi.com
Instagram: lia_rezaa_vahlefii