BAB 4

985 Words
“Kok sudah pulang? Kalian dihina lagi sama mereka? Sudah Mamak bilang, kalian tidak usah datang ke acara mereka. orang sombong seperti mereka, akan selalu mencari cela, untuk menjatuhkan orang lain yang dianggap tidak sepadan.” Rukmini menitikkan air mata. Sudah sekian lama tinggal di rumah yang dibangun di dekat rumah kakak iparnya, membuat hari-harinya terasa tak bahagia. Hinaan dan cacian selalu mereka terima. Lestari dan Firman gegas duduk dengan senyum mengembang, membuat Rukmini keheranan. Lestari mengusap bahu Rukmini dengan lembut. Perempuan yang telah melahirkan dirinya itu, kini tampak mencari jawaban dari sorot mata ayu Lestari. “Mamak tidak boleh menangis. Mereka sudah dibuat mati kutu sama mas Firman. Dan Mamak tahu tidak, rumah baru yang Mas Firman buat, tepat di samping rumah Veni loh.” “Loh, mundur kena, maju kena ini namanya. Niat hati ingin menghindar dari manusia julid, eh ketemu manusia julid satunya.” “Paling setelah ini mereka bakalan baik-baik sama kita, Mak. Lihat saja! Mereka sudah bungkam dapat uang sepuluh juta. Enggak akan banyak omong lagi mereka.” “Uang sepuluh juta? Kamu memberi mereka uang sebanyak itu, Le?” tanya Rukmini pada Firman yang duduk di hadapannya. Laki-laki berhidung bangir itu, tersenyum seraya mengangguk. “Iya, Mak. Biar saja. Biar mereka tidak menghina kita lagi. Setelah kita pindah rumah, mungkin bapak dan ibuku akan datang Mak.” “Alhamdulillah kalau begitu Le. Kita harus menyiapkan masakan istimewa, untuk menyambut kedatangan bapak dan ibumu Le.” ***** Sore harinya, rumah bernuansa kuning pucat itu, kedatangan beberapa pekerja Firman. Firman menyuruh mereka datang, hendak membicarakan rencana kepindahannya ke hunian baru. Bukan Kokom namanya jika tidak kepo. Kokom mengintip dari celah pintu rumahnya. Rumah mereka hanya bersebelahan saja. “Nah, benarkan dugaanku, mereka pasti berhutang, demi bisa menghadiri acara tasmiyahan Nazira. Sekarang ditagih sama para lintah darat. Kapok! Makanya jangan sok kaya jadi orang.” Kokom tetap berada di dekat pintu, guna melihat keadaan di rumah Bagio. Ia sudah tidak sabar mendatangi dan mencemooh mereka, akibat berhutang. Ia tetap sembunyi. Ia tidak mau, jika Rukmini meminta bantuan padanya untuk membayar hutang. “Masa bodoh sama hutang kalian. Yang penting, uang sepuluh juta sudah di tangan. Bisa untuk biaya kuliah Santi.” Setengah jam berlalu. Para pekerja Firman pun sudah pulang. Dengan langkah tergesa, Kokom mendatangi rumah Bagio dan Rukmini. “Bagaimana rasanya di tagih hutang? Pasti malu, ya? Makanya, kalau tidak punya tidak usah memaksa. Sok-sokan beli perlengkapan rumah, ke acara tasmiyahan bawa buket uang segepok, eh sorenya didatangi rentenir, duh pasti malu banget kalau masih punya muka. Lain lagi kalau muka tembok,” ucap Kokom sembari tersenyum mengejek. “Bude mending diam. Kalau tidak tahu apa-apa, jangan kebanyakan bicara deh. Nanti malu dapatnya,” sahut Lestari sembari melempar pandang ke luar jendela. “Kamu bicara sama Bude, matanya jelalatan ke mana-mana. Mbok ya sopan sedikit jadi orang. Tahu aturan. Jangan kayak enggak pernah dididik begini. Bikin malu saja.” “Mbak! Bisa tidak, tidak mengganggu anak istriku? Biarkan kami hidup damai, Mbak!” seru Bagio yang baru pulang dari kebun. Bagio meletakkan topi rajutnya di atas meja.” “Wah, habis panen cabai kamu? Mbak mau minta sekarung dong,” ucapnya mengalihkan. Bagio hanya membuang nafasnya kasar. Punya kakak kandung satu saja, tidak bisa dijadikan saudara. Dirinya hanya dimanfaatkan saja oleh kakak tertuanya itu. Hanya akan dicari, jika dibutuhkan. Namun jika Bagio dan keluarganya yang kesusahan, jangankan menolong, berpapasan di jalan saja, pura-pura tidak melihat. “Le, ayo ikut Bapak. Kita antar cabainya ke pasar. Sudah ditunggu pembeli.” “O iya, Pak.” Firman pun beranjak dan mengekor langkah Bagio. Mereka ke pasar yang jaraknya tidaklah terlalu jauh dari rumah. Hanya sekitar lima belas menit sampai. Puluhan karung cabai, terjejer rapi di bak mobil pick up. Setelah Bagio dan Firman pergi, Lestari pun melanjutkan obrolan panas yang terlewat. “Minta? Bude ini tidak tahu malu banget sih. Bapak susah payah menanam dan merawatnya, Bude tinggal minta. Kalau mau, beli Bude. Jangan tahunya meminta saja. Cabai sedang mahal. Di pasar, satu kilogram cabai seharga daging sapi,” ketus Lestari. Rukmini hanya diam saja. Dia malas menanggapi ucapan kakak iparnya itu. “Halah, Cuma cabai saja kok perhitungan? Dasar medit. Biar kalian pelit, enggak juga kaya-kaya. Rumah saja dari dulu begini-begini saja, tidak ada perubahan,” sambungnya lagi membuat emosi Lestari semakin membuncah. “Mengatai kami medit dan perhitungan? Lagi mengatai diri sendiri, ya? Coba Bude ingat lagi, hutang Bude pada Ibu sudah berapa puluh juta? Silahkan dibayar dan jangan banyak alasan lagi.” “Hutang sepuluh juta saja dibahas. Lagian sama saudara sendiri ikhlaskan saja, kenapa sih?” “Benar-benar Bude ini ya. Tidak punya pikiran dan perasaan. Sepuluh juta saja kata Bude. Sedikit bagi Bude, berarti bagi kami. Uang penjualan hasil panen yang seharusnya kami nikmati, malah Bude pinjam tanpa ada serupiah pun Bude bayar. Sudah dua tahun loh Bude. Malu dong, orang kaya berhutang sama orang miskin.” “Sudah, Nduk. Jangan meladeni budemu ini. Sana mandi dulu sudah sore. Kita yang waras, yang mengalah.” Rukmini menyela perdebatan sengit keduanya. “Kamu mengatai aku gila? Dasar senewen!” BRAK Lagi-lagi, Kokom meninggalkan jejak kaki di pintu yang tak bersalah itu. Untung jauh dari tetangga, kalau tidak sudah heboh jadi tontonan gratis sehari-hari. “Oalah, bapakmu punya saudara satu saja, selalu mencari masalah, kalian ada sepuluh, bisa mati berdiri kita.” “Iya sudah Mak, mau mandi dulu. Siapa tahu setannya bude Kokom ketinggalan di sini. Kan seram kalau sampai merasuki Lestari, nanti Lestari jadi sejulid bude Kokom.” “Ada saja kamu ini. Setannya sudah cocok sama budemu, enggak akan pindah ke mana-mana,” sahut Rukmini sembari terkekeh membuat Lestari tertawa. **** “Bude mau pinjam uang satu juta saja, untuk membayar arisan RT.” “Maaf Bude, uangnya sudah Lestari masukkan ATM semua. Kalau Bude mau pinjam uang, hutang Bude yang sepuluh juta kembalikan dulu.” ‘Dasar ponakan durhaka. Ponakan tidak tahu diri,’ umpatnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD