BAB 3

1196 Words
“Wah, rupanya ada barang-barang baru di sini. Ini sih cocoknya di taruh di rumah ibuku. Kalau di sini, enggak pantas. Dari mana kamu mendapatkan barang-barang ini, Tari? Aku tidak percaya jika kamu yang membelinya. Apalagi suami kamu, yang kata ibuku hannyalah tukang ojek.” “Berhenti menghina kami!” Firman berteriak marah keluar dari tempat persembunyiannya. “Memangnya kalian saja yang bisa membeli barang mahal? Barang-barang ini milik istriku, dan sangat cocok menjadi miliknya.” Veni hanya bengong melihat wajah tampan suami Lestari. Pria yang selalu dihina dan direndahkan oleh ibunya itu, memang tampan dan sedap dipandang mata. Buntelan kentut, jelek, sama sekali tidak cocok tersemat untuk seorang Firman yang gagah dan tampan. “Wah, baru juga tinggal di sini sudah berani kamu? Jodoh cerminan diri menang betul adanya. Si Lestari yang enggak punya sopan santun, dapat suami yang urakan juga.” “Veni! Ayo pulang! Biarkan saja manusia-manusia miskin ini berkembang. Yang pasti, tidak akan bisa menyaingi kekayaan kita. Dari segi rumah saja, mereka sudah kalah jauh.” “Lagian kami juga tidak berminat bersaing sama Bude. Apalagi menyaingi kesombongan dan keangkuhan Bude,” sahut Lestari geram. “Kami akan datang ke acara tasmiyahan itu. Tunggu saja! Tapi, kali ini kami datang sebagai tamu, bukan babu. Jangan lagi kalian memerintah ibuku!” Kokom tersentak mendengar ucapan Lestari. Selama ini, Rukmini atau pun Lestari hanya berkutat di dapur, jika diundang ke acara besar mereka. “Menyumbanglah yang banyak kalau mau diperlakukan seperti tamu. Kalau kalian datang tidak membawa apa-apa, ya wajarlah kalau kami meminta kalian menyumbang tenaga.” “Jangan khawatir! Kalau hanya memberikan kado untuk kalian, bukanlah hal sulit. Firman minta, kalian pulang, dan berhenti meremehkan orang lain.” “Duh, enggak usah nyolot. Kami memang mau pulang kok. Kami alergi jika terlalu lama berada di rumah kalian. Engap, sempit, enggak ada AC. Ayo pulang Ven! Nanti kita ketularan miskin kalau lama-lama di sini.” Kokom menggandeng tangan Veni, melewati Rukmini begitu saja tanpa permisi. “Sebentar lagi, mereka tidak akan menghina kita lagi Dek. Mas sudah menyiapkan tempat tinggal baru, dan rumah ini kita sewakan saja. Ajaklah mamak dan bapak tinggal bersama kita. Di sini, lingkungannya toxic sekali. Tidak baik untuk kesehatan mamak dan bapak.” “Mas, tidak perlu repot. Kami sudah biasa kok diperlakukan seperti ini.” “Sudah tanggung jawab Mas untuk membahagiakan dan melindungi kamu Dek. Sudah saatnya mamak tahu, bagaimana pekerjaan kita.” “Maksud kalian apa? Apa yang sebenarnya kalian sembunyikan? Apa barang-barang ini, kamu yang membelinya, Le?” tanya Rukmini bingung. “Sebenarnya Firman hanya menyamar jadi tukang ojek Mak. Pekerjaan Firman sendiri bukanlah tukang ojek. Firman memiliki toko pembuat buket terbesar di Semarang. Firman juga memiliki beberapa cabang restoran yang menyediakan makanan nusantara di kota Semarang. Maafkan Firman baru mengatakan kebenaran ini Mak.” “Ya Allah, mau kamu kaya atau tidak, mamak tidak pernah mempermasalahkan pekerjaan kamu, Le. Mamak sudah sangat bersyukur karena kamu sangat bertanggung jawab pada istrimu. Alhamdulillah. Ya Allah, menantuku orang berada. Engkau angkat derajat kami lewat pemuda baik ini.” Rukmini tidak menyangka jika menantunya adalah orang kaya. “Kebetulan, rumah baru kita masih di daerah sini juga. Besok kita datang ke acara tasmiyahan cucunya bude Kokom, sekalian kita lihat rumah baru kita.” ***** Keesokan harinya, mereka berangkat ke rumah Veni yang terletak di kota Yogyakarta. Mereka memilih angkutan umum. Rukmini dan Bagio, mereka lebih memilih di rumah. Mereka tidak mau ikut, karena hanya akan dihina oleh Kokom dan teman-teman sosialitanya yang kayanya masih nanggung, alias enggak kaya-kaya banget. “Loh, ini rumah anaknya bude Kokom, Dek? Dunia sempit sekali Dek. Itu rumah kita di sebelahnya,” Firman menunjuk bangunan baru yang terlihat sangat megah yang terdiri dari dua lantai, dengan cat warna abu-abu. “Sejak kapan Mas membangun bangunan itu? Bukankah kita baru pindah ke Yogya sebulan ini?” “Sudah sejak enam bulan yang lalu. Mas tidak tahu, jika sebelahnya adalah rumah saudara sepupumu, Dek.” “Loh, malah bagus Mas. Mereka bisa kepanasan setiap hari. Iya sudah ayo kita masuk, Mas. Buket uang sepuluh juta ini, untuk Veni, Mas?” tanya Lestari memastikan. “Iya Dek. Tapi sembunyikan dulu. Biar dipegang sama mas Adi dulu. Mas mau melihat reaksi mereka, jika mengetahui kita datang tidak membawa apa-apa.” “Aduh, sebaiknya jangan Mas. Aku enggak mau, nanti bude Kokom heboh dan menghina kita habis-habisan.” “Sudah ayo kita masuk. Jangan khawatir, ada Mas di sini.” Mereka pun masuk, setelah mengisi buku tamu. “Wah, rupanya kalian menang punya mental baja, ya? Berani datang. Mana ibumu, Lestari? Cucian piring sudah menunggu di belakang?” Veni berkacak pinggang sembari menatap tak suka akan kehadiran Lestari. “Langsung ke belakang, ya. Karena ibumu enggak ikut, jadi kalian saja yang mencuci piring.” “Maaf. Kami datang sebagai tamu, bukan babu.” Kini Firman sudah berdiri di depan Veni dengan tatapan elangnya. “Kenapa melotot? Kamu pikir aku takut? Ganteng sih, tapi kere. Sok-sokan jadi tamu, bawa amplop enggak? Kalau pun membawa, paling Banter juga lima puluh ribu saja isinya.” Entah waktu mengandung, Kokom mengidam apa? Sehingga sifat Veni menurun 100 persen seperti ibunya. Apa mengidam makan tangga kali ya? Jadi cepat banget turunnya. Bahkan tidak meleset barang sedikit pun. Nyinyirnya, jahatnya. Mulut mereka sama-sama mengandung racun yang berbahaya. “Eh, si miskin sudah datang? Sana ke belakang cuci piring. Kalian enggak lantas duduk di sini,” ketus Kokom. “Enggak tahu ini, Bu. Mereka enggak punya malu. Sudah kesini enggak bawa apa-apa. Langsung mau makan saja,” sambung Veni.” “Oh, dasar orang miskin. Kayak teman-teman Bude dong. Ada yang menyumbang lima ratus ribu. Bahkan istri pak Lurah, menyumbang satu juta. Kalian mau menyumbang berapa, sih? Kalau lima puluh ribu, mending kalian bantu cuci piring di belakang.” Kebetulan jam 12 siang. Tamu undangan tidak banyak. Hanya ada beberapa orang yang tersisa. Malu, canggung, kesal, menjadi satu di d**a Lestari. Firman pun mengirim pesan pada anak buahnya yang membawakan buket uang sebesar sepuluh juta itu. “Permisi, ini buketnya Pak. Kebetulan toko sedang ramai, saya langsung pamit ya, Pak. Oh, iya besok ada dua pekerja baru yang ingin bertemu, apa Bapak bisa pulang sebentar ke Semarang?” Kedua manusia sombong itu langsung melongo mendengar ucapan Adi. Buket uang itu juga tak luput dari penglihatan mereka. Kokom dan Veni pun langsung bungkam sesaat. Adi pun melesat pergi, setelah menjalankan tugasnya. Lestari pun kelepasan tertawa melihat ekspresi Kokom dan Veni. “Kamu bayar berapa? Bagus sekali aktingnya.” Kokom pun bertepuk tangan seraya merebut buket uang yang berada di tangan Lestari. “Halah, ini pasti uang palsu. Buang malu kan kalian, sampai memesan buket segede ini, tapi isinya uang palsu.” “Silahkan di cek ke Bank, biar tahu itu asli apa palsu, Bude? Masa suamiku memberi kalian uang palsu? Jangan terlalu kelihatan, kalau enggak suka sama orang.” “Ayo Dek kita pulang! Mas tidak level makan di rumah orang sombong. Nanti Mas ketularan sombongnya lagi.” Firman berjalan beriringan dengan istrinya, menuju mobil, yang tadi ditinggalkan oleh Adi. Belum selesai melongo karena dapat uang sepuluh juta, kini mereka melongo, melihat Firman dan Lestari masuk ke dalam mobil mewah, yang mereka saja belum tentu mampu membelinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD