BAB 2

1133 Words
Saat sampai sekolah. Arsya turun dari mobil cewek yang sudah menumpanginya. Siswi-siswi yang melihat Arsya datang bersama seorang cewek pun penasaran. Apakah cewek itu cewek baru Arsya? "Thanks, ya," ucap Arsya. "Iya." "Lo mau gue anterin ke kelas?" "Nggak usah, thank you. Aku bisa sendiri, kok." "Oh, ya udah." Cewek itu melangkah pergi. Namun, lengannya ditahan oleh Arsya yang membuat cewek itu menoleh. "Nama lo siapa?" tanya Arsya. "Rara," jawabnya tersenyum singkat. Gadis itu menatap lengannya yang masih dipegang oleh Arsya. Buru-buru cowok itu melepaskan pegangannya. "Oke. Salam kenal, ya, gue Arsya. Cowok paling ganteng di sekolah ini," ucap Arsya dengan kepedean tingkat tinggi. "Oke." Rara tersenyum singkat. "Duluan, ya." "Iya." Arsya pun tersenyum menatap punggung Rara. Kenapa ia tak pernah mengetahui ada cewek secantik dan selembut Rara di kelas sebelah. Rara adalah anak Bahasa. Sedangkan Arsya anak IPS. Selama ini anak IPA dan IPS-lah yang menjadi incaran Arsya. "Beb! Itu tadi siapa?" tanya sebuah suara. Arsya pun menatap gadis itu. "Lo siapa?" tanya Arsya. "Ih, tuh, kan, masa lupa lagi! Aku Rani." "Oh, Rani. Ya, ya, cewek ketemu di pasar abang, bukan?" "Ish, kita ketemunya di taman!" "Nah, iya, itu." Memang susah sekali jadi Arsya. Ia sering lupa siapa nama cewek yang ia pacari, karena Arsya akan selalu mengajak pacaran jika bertemu cewek cantik. "Hari ini kamu bilang mau pacaran sama aku. Nanti ketemu di kantin, ya," ucap Rani memegang lengan Arsya manja. "Iya." Setelah itu, Arsya pun melanjutkan langkahnya menuju kelas. *** Saat masuk kelas. Tangan Arsya langsung ditarik oleh dua cewek sekaligus. Arsya pun dipersilakan duduk di bangkunya yang sudah dibersihkan dan disemprot parfum. "Hai, Arsya. Udah sarapan, belum?" tanya Santi. "Arsya, ini ada bekal untuk kamu," ucap Wawa memberikan kotak bekalnya. "Arsya, ini minum s**u dulu," ujar Gia menyodorkan botolnya. "Arsya, nih, ada oleh-oleh untuk kamu," kata Nia pula. "Arsya, aku bawain cokelat untuk kamu, enak banget, cobain, deh," ucap Fitri. Baik, kelima cewek tadi adalah pacar Arsya di kelas ini. Ada tiga puluh orang lainnya di kelas lain. Mereka tak peduli jika Arsya memacari satu sekolahan, yang terpenting mereka bisa dekat dengan Arsya. Memang sangat playboy, bukan? "Thank you, Sayang-sayang," ucap Arsya. "Aaaa!" pekik kelima cewek itu baper, jiwa mereka terasa sedang melayang. Bunyi bel menandakan masuk pun berkumandang. Semua siswa pun berbondong-bondong masuk kelas. Arsya masih memikirkan Rara—cewek cantik ketemu di halte. Arsya akan mengajak Rara pacaran nantinya. Ya, ia sudah tidak sabar. "Selamat pagi," sapa Bu Tina—guru yang mengajar pagi ini. "Pagi, Bu." "Keluarkan kertas, kita ulangan sekarang!" Oke, itu adalah kalimat paling horor diucapkan oleh seorang guru, apalagi secara mendadak. Semua siswa pun berdecak, bersyukurlah jika yang belajar tadi malam, jika tidak maka siap-siap membuat contekan. Arsya menatap Fitri yang duduk tak jauh darinya. Arsya pun mengedipkan sebelah matanya seolah mengode apa yang ia maksud. Fitri pun langsung paham. Ia memberikan jempolnya yang membuat Arsya tersenyum. Tidak perlu khawatir, contekan Arsya sudah ada. Fitri—cewek paling pintar di kelas—pasti akan memberikan Arsya jawaban. Bu Tina pun mulai memberikan lembar soal. "Arsya, nih, kertas," ucap Gia memberikan kertas pada Arsya. "Thank you." "Pena udah ada? Nih, pakai," ujar Santi pula melempar penanya. "Thank you." Sungguh nikmat jadi Arsya! Setelah lembar soal selesai dibagikan. Bu Tina pun duduk di kursinya untuk mengawasi. "Kerjakan sendiri, jangan mencontek dan tanya sama teman!" ujar Bu Tina tegas. "Baik, Bu," jawab siswa. Berbeda dengan hati mereka yang menjawab, "kami akan berusaha semaksimal mungkin melihat catatan, Bu." Arsya mulai berpura-pura membaca soal. Ia menutupi wajahnya dengan lembar soal itu, sedangkan mata Arsya menatap ke arah Fitri. "Nanti, ya," bisik Fitri pelan. "Oke." "Arsya! Jangan tutup wajah kamu," tegur Bu Tina. "Iya, Bu." Arsya mendesis pelan. Bagaimana caranya nanti ia memanggil Fitri. Arsya pun pura-pura membaca soal saja. Ia mengetuk-ngetukan ujung pena di dagu—seperti orang tengah berpikir keras memikirkan jawaban. Arsya menatap Fitri yang sepertinya sudah selesai. "Psstt, psst," panggil Arsya pelan. Fitri pun menoleh. Ia mengangguk pelan. Fitri pun merobekkan sedikit kertasnya dan menuliskan jawabannya di situ. Setelah itu, Fitri menggulung sampai bulat kecil. Menatap Bu Tina apakah aman, saat Bu Tina melengah, ia pun melempar ke meja Arsya. Cowok itu pun tersenyum. Ia memberikan kissbye kepada Fitri yang membuat cewek itu klepek-klepek. Arsya segera menyalin jawaban yang diberikan Fitri. "Arsya!" "Arsya!" "Bentar, ah, orang lagi nyalin." "Arsya!" "Kenapa, sih? Eh ...." Arsya menelan salivanya susah. Ternyata yang memanggilnya daritadi adalah Bu Tina yang sudah berdiri di depannya. "Eh, Ibu. Udah makan, Bu?" tanya Arsya mencoba se-asyik mungkin. "Kamu mencontek, kan!" bentak Bu Tina yang membuat jantung Arsya tidak aman. "Nggak, kok, Bu." "Nggak, apanya? Itu kertas contekan dari siapa, ha!" "Oh, ini ... ini kertas saya, Bu. Saya sengaja nulis di sini dulu, baru pindahin ke kertas ulangan, biar nggak salah-salah, Bu." "Banyak alasan! Sekarang keluar kamu!" suruh Bu Tina. "Sekarang, Bu?" "Ya, iyalah! Keluar!" "Oke, Bu." Arsya pun bangkit, dengan senang hati berjalan keluar kelas. "Selamat mengerjakan ulangan di kelas, kawan. Lihat, nih, gue bisa keluar, bebas mau ke kantin!" ucap Arsya tersenyum senang. Teman-temannya pun menggeleng tak mengerti dengan pola pikir Arsya. *** Adimas melangkah masuk ke rumah besar yang menjulang tinggi di depannya. Rumah yang memiliki tujuh lantai dan memakai lift itu adalah rumah Alex—Papi Adimas. "Dimas," sapa seorang wanita tua. Ia adalah Yuni—istri pertama Alex. Adimas langsung menyalami tangan Yuni. "Hai, Bu." "Duduk, Nak," suruh Yuni. "Iya, Bu." Adimas pun duduk di single sofa berhadapan dengan Yuni. "Papi mana, Bu?" tanya Adimas. "Papi kamu lagi keluar kota, Nak. Lusa baru pulang." Adimas mengembuskan napas pelan. Artinya ia tak bisa bertemu Alex sekarang. "Oh, ya, Bu. Emangnya beneran papi mau nikah lagi?" "Iya, Nak. Katanya gitu." "Ibu kenal sama calon istri papi itu?" "Nggak, Nak, tapi setahu Ibu, dia sekretaris papi kamu." "Hah, sekretaris?" Bagaimana bisa papinya itu tertarik dengan seoarang sekretaris? Adimas semakin curiga. "Bukannya sekretaris papi itu Mbak Nina ya, Bu?" "Nina udah lama resign, Nak, karena dia pindah ikut suaminya ke Lombok." "Ooh, gitu." Adimas harus bertemu dengan Alex. Kenapa Adimas tak menelepon papinya itu saja? Bukannya tidak mau, tetapi urusan seperti ini tidaklah enak dibicarakan lewat telepon. Lagi pula, Adimas jarang menelepon papinya, karena takut mengganggu. "Oh, ya udah, deh, Bu. Adimas ke atas dulu, ya." "Iya, Nak." Ketahuilah, jika Yuni tak mengetahui jika Adimas seorang gadis. Ia selama ini beranggapan Adimas adalah seorang laki-laki. Bagaimana bisa? Ya, tentu saja hanya Farah dan Adimas yang tahu apa alasannya. Adimas menaiki tangga saja untuk ke lantai dua. Ia mencari keberadaan Adiba—adiknya. Saat Adimas melewati ruang tengah di lantai dua. Ia mendengar suara tangisan yang tak asing. Ia pun masuk ke ruang itu. Ruang untuk menonton TV di lantai dua. Betapa terkejutnya Adimas melihat Adiba sedang menangis tersedu-sedu di sana. "Adiba," panggil Adimas. Kenapa adiknya itu menangis? Ada apa dengannya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD