Ye Jun baru saja menginjakkan kakinya di tanah airnya. Langkah kakinya berat, ditambah hati yang terasa sesak kembali berada di tempat ia semestinya berada. Semula Ye Jun pikir hatinya sudah sedikit sembuh dari kepahitan kenyataan yang ada di Seoul, nyatanya luka itu hanya tersamarkan karena ia begitu bahagia berada di dekat Ilona. Ketika ia disudutkan dengan kenyataan bahwa ia harus melanjutkan hidup dan segala hal yang belum terselesaikan di kota ini pasca kematian tragis kedua orang tuanya, Ye jun sadar bahwa ini bukanlah tentang suka atau tidaknya ia melakoni kehidupan yang seperti ini, tetapi memang ini mutlak harus ia jalani tanpa pilihan lain. Ye Jun harus mengatur segala yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya, demi membanggakan mereka dan membuat mereka tenang di sana. ‘Aku akan mencari siapa yang telah membunuh kalian. Ayah, ibu... aku harap kalian beristirahat tenang di sana. Jangan hiraukan aku di sini, aku akan baik-baik saja.’
Pandangan mata Ye Jun mengedar ke sekeliling, mencari sosok yang seharusnya datang menjemputnya di bandara Incheon International Airport. Ia berhenti melangkah, merasa cukup menunggu kemunculan orang yang akan menjemputnya. Setidaknya ia bisa tenang, ini negaranya dan tidak mungkin ia tersesat seperti orang hilang seperti yang dialaminya saat berada di Jakarta. Tak lama kemudian, ekor matanya melirik dua sosok yang sangat ia kenali. Semula ingin tersenyum lega, tetapi lekuk itu menghilang lantaran ada satu sosok yang tak ia harapkan muncul merusak suasana hatinya. Dia lah sepupu tercantik dan mengesalkan yang sebenarnya tak ingin Ye Jun lihat saat ini, Lee Ae Ri.
Seorang pria kisaran usia kepala empat langsung membungkuk saat sampai di hadapan Ye Jun. Sikap hormat itu menular pada Ae Ri yang ikut menganggukkan kepala pelan kepada kakak sepupunya. Ye Jun menatap ke arah Ae Ri dengan jengah, menampakkan ketidak senangannya dan tampak ingin segera membuat perhitungan pada gadis menyebalkan itu.
“Salam kepada tuan muda, selamat datang kembali.” Ucap Chin Ho, pengawal setia Ye Jun seraya mengambil alih koper yang dipegang bos mudanya.
Ye Jun tersenyum tipis merepson salam formal itu kemudian mengalihkan pandangan sejenak demi melirik Ae Ri yang tampak bertekuk wajah padanya. “Aku pikir kamu datang sendiri.” Sergah Ye Jun, bicara pada Chin Ho namun perhatiannya tak lepas dari Ae Ri.
Chin Ho agak gelagapan, merasa melakukan kesalahan lantaran Ye Jun memang berpesan untuk menjemputnya dan tidak memberi perintah tambahan yang mengijinkan ia membawa orang lain kemari. “Itu....” Jawab Chin Ho agak berat.
“Aku yang memaksa ikut. Itu bukan salah dia.” Celetuk Ae Ri yang paham sedang disindir oleh sepupunya. Tatapannya sewot, hendak melayangkan protes, itulah kenapa ia tidak sabar menunggu Ye Jun yang menghampirinya hingga nekad memaksa pengawal pribadi pria itu agar membawanya serta ke bandara.
Ye Jun menyeringai, adik sepupunya yang sudah keterlaluan itu semakin tak tahu posisi dirinya, membuat ia merasa kesal dan hendak membuat perhitungan lebih kepada gadis cantik itu. “Kamu ini... Tidak puas ya membuat masalah denganku sampai liburanku nyaris kacau. Sekarang bukannya minta maaf, malah berani menatapku seakan mau menatang.” Geram Ye Jun, tidak pandang tempat lagi dan bersuara keras sehingga memancing perhatian pengunjung bandara melirik ke arah mereka.
Ae Ri pun terbawa suasana, ia melipat kedua tangannya di depan d**a, hendak membuat perhitungan pada Ye Jun. Raut wajahnya menunjukkan kegeraman yang tak bisa ia pendam lagi, siap membludak mengikuti alur permainan yang diciptakan Ye Jun. “Siapa yang membuat masalah? Setahuku kamu hanya minta ijin liburan ke sana dan menitipkan perusahaanmu padaku, tapi kenapa rencanamu bisa berubah mendadak? Kenapa bisa terlibat hubungan nggak jelas dengan gadis lokal di sana? Jelas saja aku khawatir, siapa tahu dia hanya memanfaatkan kamu yang hanya turis di sana.” Geram Ae Re, tak mau sepenuhnya disalahkan, ia pun punya alibinya sendiri.
“Hubunganku sama dia jelas! Lagi pula aku tidak menyuruhmu mengkhawatirkan aku! Kalau memang mau memanfaatkan, aku jauh lebih punya kesempatan memanfaatkan dia ketimbang aku yang dimanfaatkan. Kamu tetap sudah lancang melampaui batas, aku akan membuat perhitungan denganmu.” Geram Ye Jun, terus menanggapi alibi Ae Ri hingga cekcok tidak terhindarkan.
Orang-orang yang lalu lalang pun tak bisa memalingkan wajah dari pemandangan mencolok itu. Sebagian orang yang tidak mengenali mereka beranggapan bahwa dua orang itu tengah cekcok layaknya pasangan pada umumnya, namun ada beberapa yang mulai peka menyadari siapa pria yang berdiri di sana dan bersitegang dengan seorang wanita cantik. Chin Ho lebih peka menyadari situasi di sekitar, bukan hal yang menguntungkan bagi bosnya jika terus terlibat cekcok mulut dengan sepupunya di muka umum. Terlebih jika ada satu di antara orang yang lalu lalang itu adalah paparazi, bisa jadi kemunculan Ye Jun yang perdana terlihat di muka publik pasca musibah duka itu akan memancing perhatian publik lagi.
Chin Ho memepetkan tubuhnya lalu berbisik kepada Ye Jun, “Maaf tuan muda, saya rasa ini bukan tempat yang tepat untuk membahas masalah. Beberapa pengunjung sepertinya sudah menyadari siapa anda.” Usai membisikkan itu, Chin Ho segera kembali pada posisi siaganya, berdiri tegak layaknya ajudan yang berani pasang badan untuk tuannya.
Ye Jun mengunci mulutnya, sadar bahwa ia sudah keceplosan saking tersulut emosinya kepada sepupunya itu. Tanpa menghiraukan Ae Ri lagi, ia berjalan duluan dan diikuti oleh Chin Ho yang menarik koper besarnya. Ae Ri merasa dikucilkan, mendelik kesal mengikuti punggung kekar pria itu yang kian menjauh. Wanita cantik itu mengepalkan kedua tangannya, geram, tapi tak bisa berbuat apa-apa sekarang selain merutukinya dari kejauhan. “Tunggu pembalasanku, Oppa!” Geramnya dengan suara kecil kemudian berlari mengejar ketinggalannya.
Ilona menyeruput mie instan yang diseduhnya, aroma khas itu membuat selera makannya sangat baik. Ia tak peduli dengan perhitungan kalori dari makanan instan yang katanya rentan membuat tubuh seseorang – terutama yang berjenis kelamin wanita – menjadi melar jika sering mengkonsumsinya. Tanpa merasa berdosa, Ilona sudah menghabiskan satu cup besar mie instan itu dan belum merasa kenyang sehingga ia pun menyeduh cup yang kedua dan melahap denga nikmat, tanpa dibayangi dosa.
“Huft, gara-gara nekad sewa kamar semahal ini, terpaksa aku harus makan mie begini sampai beberapa hari. Nggak mungkin juga aku pakai semua uangku buat makan, pokoknya sebelum aku nemu pekerjaan yang pas, aku nggak boleh boros. Anggap saja ini buat nebus dosaku yang khilaf begini. Puluhan juta demi tidur semalam di sini dan makan mie instan. Duh... Miris.” Gumam Ilona meringis membayangkan nasibnya yang tidak karuan. Ia menggelengkan kepala berulang kali kemudian melahap lagi mie yang masih mengebulkan uap panas itu. Tinggal beberapa suap lagi mie itu ludes, tetapi selera makan Ilona mendadak hilang lantaran ia teringat akan waktu.
Ilona bergegas berdiri, meraih ponselnya yang sejak tadi sangat sepi. Tidak ada seorang pun yang mengingatnya, memprihatinkan sekali baginya saat menyadari bahwa ia benar-benar sendirian, tanpa sahabat baik, kekasih bahkan orangtua. Ilona melirik jam yang ada di ponselnya yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia mengetuk jemarinya pada dagu, spontan melirik ke atas saking asyiknya berpikir. “Hmmm... Selisih waktu di sana dua jam, berarti sudah jam dua belas malam di sana. Apa selama itu perjalanannya? Apa dia belum sampai juga? Kenapa nggak ngabarin aku sampai sekarang?” Setumpuk pertanyaan itu terus mengusik pikiran Ilona, tak tahu harus mencari jawabannya di mana dan kepada siapa. Ia membuka kontak di ponselnya, melihat lekat pada nomor Ye Jun yan tersimpan di sana dan seketika itu hatinya menggalau.
“Apa mungkin dia udah melupakan aku? Hmm....” Lirih Ilona, nyaris ingin menangis membayangkan andai ketakutannya ternyata menjadi kenyataan. Apa yang harus ia lakukan jika Ye Jun sungguh melupakannya sekembalinya pria itu ke Seoul?