Seorang pria bertubuh tegap berdiri dari balik kaca apartemen seraya menatapi hamparan lampu kota Manhattan, sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar di tangannya dan menyesap Screaming Eagle Cabernet.
"Vinic." Vinic menoleh ketika sang istri memanggil namanya dan ia tersenyum kala Luvena menghampirinya.
"Here is my queen," ucap Vinic lalu segera merengkuh tubuh sang istri, membawa wanita paruh baya tersebut ke dekapannya lalu mengecup pelipis sang istri.
"Apa ini? Lenier berkata bahwa map ini untukmu," tanya Luvena seraya menyodorkan sebuah map berwarna navy kepada Vinic.
"Oh, aku meminta data seseorang pada Lenier," jawab Vinic seraya meletakkan gelas wine miliknya ke meja lalu menerima map tersebut tanpa melepaskan rengkuhannya pada pinggang sang istri.
"Bisa bantu bukakan?" Tanya Vinic yang membuat Luvena menggeram lalu melepaskan rengkuhan sang suami.
"Kau bisa melakukannya sendiri, Vinic," jawab Luvena yang membuat Vinic memasang muka sedih.
"Kau jahat," ucap Vinic membuat Luvena memutar kedua bola matanya.
Vinic segera membuka map tersebut namun gerakannya terhenti akibat perkataan sang istri.
"Kau tidak akan membunuh lagi, bukan?" Tanya Luvena.
"Oh, come on, aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal sejahat itu," jawab Vinic yang membuat Luvena berdecak.
Vinic membaca laporan itu dengan seksama. "Jadi pria itu bernama Tony?" Monolog Vinic sedangkan Luvena ikut membaca isi map tersebut.
"Dia siapa?" Tanya Luvena.
"Astaga, dia hanya memiliki lima cabang? Berani sekali dia mendekati putri ku," lanjut Vinic tanpa menjawab pertanyaan sang istri.
"Ckk, kau terlalu sombong, Tuan Abraham," ucap Luvena yang membuat Vinic terkekeh.
"Aku melihat pria ini di loby bersama Perrie beberapa jam yang lalu," ucap Vinic seraya menatap sang istri.
"Perrie sudah berumur sembilan belas tahun, Vinic," ucap Luvena.
"I know, tapi tetap saja aku tidak akan mengijinkan nya berkencan dengan seorang pria sebelum berumur dua puluh tahun," ujar Vinic lalu menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Lihat, sudah pukul sepuluh malam tapi tuan putri itu belum juga pulang," lanjut Vinic lalu berteriak memanggil Lenier, meminta pria tersebut yang tidak lain adalah bawahannya sekaligus teman masa kecil Perrie untuk mencari wanita itu sedangkan Luvena hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sang suami yang terlalu kuno menurutnya bahkan mereka harus bersusah payah tinggal di Manhattan untuk sementara agar sang suami bisa memantau kegiatan putri mereka.
***
Di tempat lain, Perrie berjalan perlahan di belakang Tony seraya mengamati tempat di sekitarnya, The Rink At Rockefeller Center.
"Kenapa kau mengajakku kemari?" Tanya Perrie yang membuat langkah Tony terhenti. Ia menoleh ke belakang lalu tersenyum.
"Kau bisa berseluncur?" Tanya Tony, kini mereka sedang berada di wahana ice skating, hal yang tidak terpikirkan oleh Perrie bahwa Tony akan mengajaknya ke tempat ini.
"Of course," jawab Perrie begitu mantap.
"Aku sudah lama tidak ke sini, aku harap kau tidak keberatan untuk menemani ku berseluncur malam ini," ucap Tony yang membuat Perrie tersenyum.
Mereka berjalan menghampiri loket karcis, membayar harga tiket, menyewa baju dan sepatu, setelah itu mereka berganti pakaian dan mengenakan sepatu ice skating.
Perrie tersenyum kala kakinya sudah berada di padatan es tersebut, malam ini pengunjung tidak terlalu ramai dan sebagian besar berdominan orang dewasa. Perrie menggerakkan kakinya diikuti oleh Tony di belakangnya.
"Kapan terakhir kali kau bermain seperti ini?" Tanya Perrie ketika ia membalikkan tubuhnya ke arah Tony, tak lupa juga ia mengawasi keadaan di sekitarnya.
"Lima tahun yang lalu, maybe," jawab Tony seraya mengangkat kedua bahunya.
"Aku tidak menyangka bahwa kau bisa berseluncur," lanjut Tony yang membuat Perrie terkejut.
"Aku bukan anak kecil," ucap Perrie tidak terima yang membuat Tony terkekeh.
"Kau bisa berdansa di sini?" Tanya Tony yang membuat Perrie terdiam tanpa menghentikan gerakan kakinya.
"Kalau itu, aku tidak bisa," jawab Perrie yang membuat Tony tertawa.
"Hei, kau mencibir ku?" Tanya Perrie.
Tony menarik lengan Perrie secara perlahan, mata teduh berwarna hazel yang terpancar dari kedua netra milik Tony sukses membuat Perrie terdiam.
"Mau ku ajari?" Tanya Tony. Sebelum Perrie menjawab pertanyaan pria itu, Tony segera merengkuh pinggang Perrie, menarik tubuh gadis itu untuk mendekat ke arahnya sedangkan Perrie terdiam membisu, merasakan kehangatan menjalar di setiap permukaan kulit tubuhnya.
Tubuh Perrie bergerak mengikuti gerakan Tony, sesekali ia mendongakkan wajahnya untuk melihat wajah Tony, pria itu tampak memperhatikan keadaan sekitar hingga akhirnya netra mereka bertemu.
Perrie berdehem untuk memecah keheningan. "Wanita yang tempo hari datang ke kantor mu itu adikmu?" Tanya Perrie yang diangguki oleh Tony.
"Ya, dia adikku," jawab Tony.
"Adiku yang sangat berisik," lanjut Tony seraya terkekeh.
"Kau berapa bersaudara?" Tanya Perrie kembali, pertanyaan simple yang ia lontarkan membuat rasa gugup yang ia rasakan saat ini kian memudar.
"Hanya aku dan adikku, kalau kau?" Tanya Tony.
"Aku anak tunggal," jawab Perrie tanpa mereka sadari, sepasang mata tajam tengah mengintai mereka dari kejauhan.
"Jangan harap kau bisa memiliki wanita ku," ucap pria itu lalu berjalan mendekati Perrie dan juga Tony.