Eps 12

1967 Words
Tet! Tet! Tet! Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Bu Nana yang masuk di jam terakhir segera berkemas. “Ingat untuk kumpulkan tugas ya. Buat kelompok, masing-masing kelompok berisi dua orang, cewek dan cowok.” Kembali memperingatkan yang tadi ia jelaskan. “Ya, bu.” Serempak beberapa anak menjawab. “Selamat pulang, hati-hati dijalan.” Bu Nana tersenyum, lalu keluar dari dalam kelas. Zayn noleh kebelakang, karna dia duduk dikursi depan meja Ello dan Lexi. “Napa harus cowok cewek yak, heran.” “Ngajarin nggak bener ituh guru.” Sahut Lexi. Ello mengeryit menatap Lexi, nggak paham. “Cowok cewek suruh berduaan, ngerjain tugas. Tugas apa kah gerangan?” lanjut Lexi, lalu memainkan kedua alis. Zayn langsung nonyor kepala Lexi. “Emang ya, otak lo dah penuh sama s**********n. Ppcckk,” menggeleng, terlalu heran sama satu temannya yang sudah terlalu jauh ini. Ello terkekeh mendengar jawaban Lexi. Ia memasukkan headseat dan satu buku paket kedalam tas. Melirik jam yang melingkar ditangan kiri. “Gue cabut ya.” Pamitnya ke teman-teman. Beranjak dari duduk, nyampirin tas kebahu. Berhenti saat Raisa tetiba mencekal lengannya. “El, kita satu kelompok ya.” Ello menatap tangan yang melingkar dilengan kanannya. “Lepasin.” Pintanya dingin. Dengan terpaksa, Raisa melepaskan lingkaran jarinya disana. Tanpa menatap wajah Raisa, Ello kembali melangkah, berhenti tepat disamping meja Lena. Siswi yang paling pendiam dengan rambut yang dikepang dua. Tentu menjadi sasaran bully anak-anak satu kelas, namun semua baik-baik saja karna Ello akan marah ketika melihat gadis kecil itu diganggu oleh teman sekelasnya, atau bahkan teman yang lain. “Lo satu kelompok sama gue.” Ucapan yang terdengar perintah dan tak mau ada penolakan. Lena mendongak, menatap wajah Ello yang ada diatasnya, lalu kembali menunduk karna tak ada nyali untuk menatap cowok paling disegani disekolahan ini. “I—iya.” Jawabnya gugup. Tak lagi peduliin Raisa yang terlihat sangat syok dengan kelakuan Ello. Dia melangkah keluar kelas dengan sangat santai. “What?! Dia lebih milih cewek jelek itu dari pada gue? b******k, bener-bener keterlaluan.” Umpatnya dengan sangat kesal. Lexi dan beberapa anak yang melihat kejadian barusan, tertawa kecil dengan ejekan ke Raisa. Semua sudah hafal Ello, nggak suka basa-basi. Kalo nggak suka, dia pasti akan memilih jujur dari pada munafik. “Mending satu kelompok sama gue aja, Sa.” Verso mengeluarkan suara. Raisa menoleh, menatap Verso dengan tak suka. Kembali duduk dimejanya, memberesi barang miliknya, lalu menyampirkan tas kebahu. “Ok, kita satu kelompok. Lo yang kerjain tugasnya.” Dengan seenak jidat Raisa mengatakan itu, lalu ngeloyor keluar dari kelas. “Lha, kamvret itu kunti!” umpat Verso. “Mampus lo!” timpal Zayn dengan kekehan. ** Ello masih duduk diam didalam mobil, tepatnya diparkiran sekolahan. Menatap benda pipih, menanti pesan balasan dari istrinya. Klunting! Segera ia membuka pesan yang baru saja masuk. [jam enam, aku banyak kerjaan hari ini.] Ello membuang nafas. “Pacaran sama wanita dewasa dan bersatus wanita karir beda. Nggak bisa tiap waktu bareng.” Ucapan yang lebih banyak mengeluh. “Nggak apa lah, yang penting dia kan nggak aneh-aneh.” Tersenyum sendiri menatap chatroom dengan sang istri. [jan lupa makan.] send istriku. Tak menunggu lama, pesan itu langsung centang biru, membuat Ello mengulas senyum. Bukankah berarti memang Tere sedang menikmati berbalasan pesan dengannya? [iya, aku ntar makan sama Sally dicaffe. Sekalian mau ketemu clien disana] Ello mengeryit membaca pesan balasan itu. [ok] send istriku. Ello mematikan ponsel, lalu memasukkannya kesaku celana. Menghidupkan mesin mobil dan berjalan pelan meninggalkan parkiran. Berhenti tepat didepan gerbang sekolah, menanti jalanan lenggang untuk menyabrang. Dua motor gede milik Zayn dan Lexi berhenti disebelah mobil Ello. “El, bascamp nggak?” tanya Lexi. “Uumm, ok.” Jawab Ello sambil berfikir sebentar. Toh di rumah Cuma sendirian, sudah dua hari papanya tak pulang. Istrinya juga pulang jam enam. Sendiri itu membosankan bukan? Mobil merah yang Ello kendarai mengekor dua motor gede milik sahabatnya. Mereka terpisah ketika berada di lampu merah. Ello terpaksa berhenti, tak lagi bisa tetap dibelakang kedua motor sahabatnya. Setelah beberapa detik berlalu, lampu kembali hijau. Ello segera tancap gas dan melaju menyusul teman-temannya. Matanya memicing saat melihat mobil warna pink yang berhenti dipinggir jalan yang lumayan sepi. Ada beberapa motor king yang berhenti didepan mobil itu. lalu Raisa di pepet oleh dua pria dengan pakaian preman dan tato yang memenuhi lengan. Tanpa kebanyakan mikir, Ello menghentikan mobilnya dibelakang mobil Raisa. Segera turun setelah mesin mati. “Hey! Lepasin!” teriaknya. Empat preman yang sudah mencengkram bahu dan tangan Raisa itu menoleh, tersenyum smirk dengan angkuh. “Mau jadi pahlawan, hn?!” tanya salah satunya. Ello gantian tersenyum miring. “Nggak malu apa? Tampang nyeremin kek bang uwo, tapi beraninya Cuma sama cewek. Cih!” meludah kesamping, lalu gelang kepala. “Nggak level.” Mengacungkan tangan dengan jempol mengarah kebawah, lalu menaikkan satu alis. “Bangsad! Hajar!” Dua lelaki yang mencengkram lengan Raisa maju, melayangkan tinjuan ke wajah Ello, tapi Ello masih bisa menghindar, kakinya menendang salah satu kaki pria yang hampir menonjok wajahnya. Bhuuk! Pria yang pakai anting itu jatuh setelah kaki ditendang, Ello melayangkan kepalan tangan tepat dihidungnya. Gantian teman yang lainnya maju, terlihat wajah khawatir Raisa saat Ello tersungkur karna pria yang bertato itu menonjok wajah Ello hingga sisi bibir mengeluarkan darah. “Ello!” teriak Raisa, berlari untuk membantu Ello berdiri. “Yook, cabut!” mendapat interupsi dari si ketua, ketiga preman itu kembali menaiki motor. Menit kemudian mereka meninggalkan jalan itu. Raisa mengelap darah yang ada disudut bibir Ello, tapi dengan cepat Ello menepis tangannya. “Gue obati ya. Ada obat dimobil.” Ello meraba bibirnya yang perih. “Nggak usah. Gue harus pergi.” Tolaknya. Kembali Raisa gondeli lengan Ello yang hampir meninggalkannya. “Makasih, udah tolongin.” Ucapnya dengan menatap wajah Ello dari samping. “Ya.” Ello menatap tangan yang menggondeli tangannya. “Lepasin.” “El,” bukannya melepaskan, tapi dia makin mengeratkan genggaman. “Gue ikut di mobil lo ya. Gue takut, kalo nanti ketemu lagi sama preman.” Rengeknya. Ello membuang nafas berat, hingga dadanya terlihat bergerak. “Maaf, nggak bisa.” “El, lo tega kalo gue diapa-apain sama preman-preman itu?” masih saja tangan itu ada dilengan Ello. Ello merogoh ponsel disaku celana. Mengusap layar itu sebentar dan mengetik sesuatu. Tak berselang lama, sebuah taxi berhenti disamping mobil Ello. Supir taxi itu keluar, sedikit tersenyum menatap Ello. “Masnya yang pesan taxol?” tanya si supir. Ello ngangguk, lalu natap Raisa yang terlihat sangat terkejut. “Biar dianter sama supir itu.” “Tap—“ Ello menyerahkan selembar uang berwarna merah. “Kalo kurang, minta sama dia. Anterin dia pulang ke rumahnya.” Sama sekali tak peduli dengan Raisa yang tak terima kelakuannya. Ello kembali masuk kedalam mobil, segera melaju meninggalkan Raisa yang masih menatapnya tak percaya. Bahkan dia sama sekali tak peduli dengan rengekan. “b******k! Dasar Ello sialan!” umpatnya, kesal. “Mari, non. Saya antar pulang.” Si sopir membukakan pintu. “Lo buta ya?! Gue bawa mobil.” Ketusnya. Sopir taxi melongo melihat perubahan sikap Raisa. Lalu geleng kepala dan menutup pintu mobilnya. “Ealah, masih bocah udah belajar modus. Ppcck!” ** [ok] Tere masih melotot membaca chatroomnya dengan Ello. “Balesnya gini doang?” Menggenggam hape dengan erat karna kesal, lalu meletakkannya di atas meja. “Yaudah, ntar kita makan malam sekalian di caffe. Misalnya.” Ngomong sendiri sambil menatap ponsel yang masih menyala. Lalu mendorong ponsel itu sedikit menjauh. “Dasar bocah! Nggak ada romantisnya!” menggerutu dengan bibir manyun. “Atau nanyain, cliennya cowok apa cewek? Atau bisa ngomong ... ngomong apa ya? Iiihh ngeselin!” akhirnya menjatuhkan tubuh ke sandaran kursi kebanggaannya dengan kasar. Melipat kedua tangan didepan. Terdiam dengan pikirannya, lalu tersenyum sendiri. “Eh, tapi kenapa dia ngegemesin ya. Wajahnya yang imut dan khas bocah itu bikin pengen, hihihi ....” memegangi kedua pipi sambil tertawa kecil. Setelah lama tertawa, tersenyum, ngomong sendiri mirip orang sinting, Tere menggelengkan kepala. “Astaga, apa gue ....” menutup mulutnya sendiri dengan mata sedikit melotot. “Ah, nggak mungkin! Gue kan nggak suka sama yang umurnya lebih muda. Apa lagi jaraknya banyak banget. Nggak mungkin!” Menyangkal sesuatu yang sebenarnya mulai hadir dihatinya. ** Pukul 6.15pm Ello tersenyum saat melihat Tere keluar dari gedung. Terepun sama, tersenyum dengan binar yang bahagia. Semua terlalu kentara. Tanpa berkata apapun, Ello segera membuka pintu kemudi, lalu masuk. Sedangkan Tere melotot, mematung diundakan lobby gedung. ‘Bukannya bukain pintu, tapi anteng duduk sendiri. Dasar nyebelin!’ batinnya menggerutu. “Belum mau pulang?” tanya Ello melalui kaca mobil yang terbuka. Tak menawab, Tere melangkah dengan kesal mengitari mobil, lalu membuka pintunya sendiri dan masuk. Melirik suami yang udah nyalain mesin dan melajukannya pelan. “El, bibir kamu kenapa?” tanyanya dengan khawatir saat melihat memar di sisi bibir Ello. Ello sedikit mengulas senyum. “Kena tonjok.” Mata Tere membulat. “Kamu berantem?” ello hanya ngangguk sebagai jawaban. ‘Brandalan juga ternyata.’ Batin Tere, lalu menjatuhkan tubuh ke sandaran kursi. Tak ada obrolan didalam mobil, keduanya sama-sama diam tanpa berniat memulai bicara. Hingga mobil itu masuk ke halaman rumah. Lalu Tere keluar dan segera masuk kedalam. Bergegas masuk kekamar mandi karna ia sudah merasa sangat gerah. Sekitar tiga puluh menit, Tere keluar sudah dengan baju santai yang tentu hanya dress tipis selutut. Mengeringkan rambut sambil duduk di depan meja rias. Matanya terarah pada Ello yang tiduran disofa dengan ponsel ditangan. Cowok itu terlihat asik tanpa meliriknya, membuat Tere cemberut menatap kaca. “Mbak,” Panggilan yang cukup mengejutkannya. Karna pikirannya sedang tak fokus. Tere menoleh, menatap suami. “Ya,” “Lo mau makan lagi nggak?” tanyanya. “Uumm, udah kenyang sih. Aku tadi makan di caffe. Kamu udah makan belum?” “Yaudah. Gue mau keluar bentar ya.” Segera bangun, meraih topi diatas meja dan melangkah keluar. “El!” panggil Tere sebelum tubuh itu benar-benar meninggalkan kamar. Ello menoleh, menatap Tere tanpa menjawab. “Mmm ... kamu mau kemana?” tanyanya ragu. “Mau main. Kenapa? Mau nitip sesuatu?” Tere geleng kepala. “Enggak.” “Yaudah, gue keluar dulu, udah ditungguin sama temen-temen.” “Uumm, El!” panggilnya lagi. “Ya,” “Kamu pulang jam berapa?” sebenernya bukan ini yang ingin ia katakan. “Malam sih. Kenapa?” tanya Ello dengan menatap jam didinding. Tere menunduk, pengen ngomong. ‘Jangan pergi, temeni aku.’ Tapi terasa sulit untuk mengatakannya. Ello tersenyum, memasukkan kedua tangan kesaku celana, lalu kembali melangkah masuk kedalam kamar. menunduk agar wajahnya bisa sejajar dengan Tere. Dan itu sudah membuat kedua pipi Tere memerah. “Gue kumpul sama temen-temen yang malam itu. cowok semua, nggak ada ceweknya, jadi ... lo nggak perlu cemburu.” Tere menautkan alis, lalu manyun. “Siapa yang cemburu sih! Aku juga nggak mikir begitu kok.” “Terus? Kenapa? Kek nggak rela kalo aku pergi.” Tanyanya dengan menatap Tere tepat didepannya. “Ppcck, apa sih! Yaudah, pergi sana!” mempoutkan bibir, mendorong pelan bahu Ello, lalu memutar tubuh membelakanginya. Ello menegakkan badan dengan sedikit senyuman. Menatap wajah istrinya melalui kaca depan. “Yaudah, gue pergi dulu.” Akhirnya berbalik dan melangkah keluar kamar setelah lama hanya saling tatap melalui kaca rias. Tere menatap punggung suami melalui kaca, hingga punggung itu benar-benar keluar dari kamar. kedua bahu Tere melemas, melempar handuk kecil itu keatas meja dengan kasar. “Mau main, kenapa? Mau nitip sesuatu?” meniru yang tadi Ello katakan dengan bibir monyong. “Iissh, nggak bisa apa? Habisin waktu yang Cuma sebentar ini sama aku? Seharian kan kita nggak ketemu. Tiap ketemu Cuma bangun tidur dan pulang kerja aja. Nggak kangen gitu. Uuggh!” memukul meja dengan sisir ditangannya. Ello tertawa kecil mendengar ocehan Tere. Karna dia masih ada diambang pintu. Mengurungkan niat ngambil hape yang tertinggal di sofa, lalu kembali berbalik pergi keluar rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD