Pagi menyapa.
Tak seperti biasanya. Tere yang selalu bangun setelah matahari muncul, kini ia sudah mengeliat beberapa kali. padahal jam masih ada diangka enam.
“Eeghh ....” melengkuh pelan karna merasa sedikit sesak nafas. Seperti ada sesuatu yang menimpa tubuhnya.
Tere mengerjap pelan, mengucek mata dengan satu tangan agar bisa benar-benar melek. Matanya melotot saat menatap ada bahu yang tepat berada diseparuh dadanya. Ello tidur tengkurap dengan separuh tubuh yang menindih tubuh Tere.
“Aaaa!” jeritnya melengking, membuat Ello beringsut dengan menutup telinga.
“Berisik, mbak.” Ucap Ello tanpa melek. Pindah posisi, ngrungkel membelakangi Tere dan kembali ngebo.
Sementara Tere bangun, menatap seluruh tubuh yang tentu utuh, nggak ada yang cuil. Jantungnya berdebar tak normal, seperti mau keluar dari tempatnya. Untuk pertama kali ada seorang pria yang tidur disatu ranjang dengannya.
Gegas beranjak dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi. Berdiri didepan cermin mengecek leher. Aman, tak ada tanda merahnya. Tere menghembuskan nafas penuh kelegaan, mengelus d**a dengan sedikit senyuman. Karna sudah bangun, ia memutuskan untuk mandi sekalian. Melepas baju yang nempel ditubuhnya, lalu ....
“Aaaa!” kembali teriakan melengking itu memenuhi kamar mandi.
Ello yang merasa khawatir dengan istrinya, langsung loncat dari atas kasur dan menerobos masuk ke kamar mandi. Diam terpaku dengan mata melotot. Untuk yang kedua kali ia melihat Tere toples.
Menyadari kedatangan Ello, Tere jongkok, memeluk kedua lututnya. “Kamu ngapain?!” tanyanya sedikit nge gas.
Ello masih mematung, tadi, untuk beberapa detik itu, cukup nyata. Dua gundukan dan bagian bawah yang tanpa tanaman itu. kali ini Ello sudah menghafalnya.
“Ello!”
“Iya,” jawabnya tertahan.
“Keluar!”
“Uum, ya.”
Ello kembali menutup pintu, mengacak rambutnya dengan kesal. Lalu membuang nafas panjang. Menatap bagian bawah yang menggelembung dibalik kolor.
“Keknya emang dia sengaja deh.” gerutunya kesal, mengelus miliknya yang sudah berasa.
**
Ceklek!
Tere keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk kimono. Wajahnya cemberut tak ramah. Langsung buka lemari, ngambil baju ganti dan kembali masuk ke kamar mandi. Selang beberapa menit, ia keluar sudah dengan blouse warna navy yang tanpa lengan dengan rok span diatas lutut. Tangannya sibuk mengusap rambut yang basah dengan handuk kecil.
“El,”
“Ya.” Ello yang memang memperhatikannya sejak tadi, menyahut cepat.
“Iissh,” berdesis pelan, mendudukkan p****t ke kursi. “Semalam, kita ... kita ngapain?” tanyanya lirih, jujur, ia sangat malu menanyakan ini.
“Semalam—“
“Kenapa kamu bobok dikasur? Kenapa nggak disofa lagi?” memotong kata-kata Ello dengan wajah yang terlihat sangat kesal.
Ello diam, bahkan terlihat sangat santai. “Jadi, lo nggak ingat?” menaikkan alis dengan senyum menyebalkan.
Tere mengerutkan dahi, sedikit melotot. “Ingat apa?”
“Elo yang minta gue bobok dikasur, anying! Nyalahin gue!” beranjak dari kasur, ngeloyor masuk ke kamar mandi.
“Ello!” panggilan yang membuat Ello kembali menatap Tere. “Semalam kenapa cdku basah?”
Ello mematung dengan wajah cengo, lalu berkedip beberapa kali. “Uumm, celana lo basah ya,”
Tere ngangguk dengan menggigit bibir bawah, malu sebenernya, tapi sangat penasaran. Karna ini untuk pertama kalinya.
“Ngompol, mungkin.” Jawab Ello sekenanya, lalu menutup pintu.
“Iissh, nyebelin.” Kesal Tere, kembali menatap wajah cemberutnya dicermin rias yang baru datang kemarin sore. “Tanda-tanda perawan melakukan malam pertama apa sih?” bertanya pada bayangannya sendiri.
Katakanlah Tere bodoh atau terlalu blo’on. Tapi memang dari dulu dia lugu dan polos untuk masalah seperti ini. Apa lagi semenjak Darel meninggal, dia hanya fokus ke perusahaan saja.
**
Beberapa menit berlalu, Ello keluar hanya memakai handuk yang membelit pinggang. Reflek, mata Tere terarah kebagian tubuh Ello yang tanpa penutup. Bisa dibilang itu perut dan d**a nggak kotak-kotak, nggak juga mirip roti sobek. Biasa aja, karna Ello memang bukan pecinta gym. Dia juga jarang berolahraga.
Tapi untuk Tere yang baru pertama kali liat tubuh cowok, cukup membuatnya tak berkedip. Sampai tak sadar jika Ello telah berdiri tepat didepannya.
“Keknya lo nafsu banget liat tubuh gue.” Ucapnya dengan senyum jahil.
Tere terkesiap, mengalihkan pandangan dengan menutup wajah. “Pakai baju sana.”
“Halah, munafik. Tadi aja sampai susah nelan ludah.” Senyum jahil itu tak juga pudar saat mengingat pertanyaan istrinya sebelum mandi. “Lo nggak inget? Semalam lo minta gue kelonin dan—“
“Stoop!” tere melotot tepat didepan wajah Ello. “Jan ngarang ya. Aku nggak mungkin minta dikelonin.”
Ello terkekeh pelan. “Harusnya, semalam gue rekam. Sayang, gue nggak kepikiran sampai kesana.”
“Ello!” teriaknya dengan wajah yang merona. Malu, sangat malu, bahkan dia tak mengingat apapun.
“Iya, sayang. Kenapa? Mau dibikin ngompol lagi, hn?”
“Ello!” mendorong bahu Ello, lalu beranjak. Ngambil blazer warna putih tulang dan keluar dari kamar.
Sementara Ello terkekeh melihat wajah Tere yang sangat malu.
**
Mobil mereh Tere berhenti tepat didepan gedung kantor. Ello menatap istrinya yang merapikan rambut. Lalu tersenyum, tentu mengingat yang semalam.
“Udah cantik kok, mbak.” Memeluk stir mobil dan menyandarkan kepala disana sambil tersenyum imut.
Tere jadi salah tingkah, kedua pipi kembali memerah dengan bibir yang menahan senyum
“Cie, pipinya mereh, cie.” Ejek Ello.
Tere nabok lengan Ello pelan. “Iisshh, apa sih! Nyebelin!” meraih tas dan menyampirkan ke bahu. “Aku turun.”
Tangannya digondeli, melotot saat Ello mendaratkan kecupan singkat di pipi.
“Ntar gue jemput.” Mengelus puncak kepala Tere lembut, lalu tersenyum imut.
“Aagg, i—iya.” Gugup dengan wajah sangat malu. Segera membuka pintu dan turun dari mobil.
Detik kemudian Ello melambaikan tangan saat mobil berjalan meninggalkan gedung.
Tere mengelus d**a yang berdetak lebih cepat. Membuang nafas kasar beberapa kali untuk menstabilkan jantungnya. Lalu tersenyum dengan memegang kedua pipi.
“Heh, dapet apa? Senyam senyum sendiri!” Sally menepuk bahu Tere dari belakang.
Mambuat Tere sedikit terlonjak, lalu menyeret lengan Sally masuk kedalam.
“Selamat pagi, Bu,” sapa pak satpam dengan sedikit tersenyum dan bungkukan badan.
“Pagi.” Jawab Tere singkat.
“Ada apa sih, Re?” tanya Sally yang udah penasaran.
“Ntar gue ceritain kalo udah di ruangan. Malu cerita disini.”
Mereka masuk kedalam lift bersama beberapa karyawan yang lainnya. Mereka sedikit tersenyum dengan anggukan kecil. Mata Tere tertuju ke Caudia yang dandanannya paling menor dengan rok yang mini dan sangat membentuk.
Tere melipat tangan didepan d**a. “Heh, kamu masih mau kerja disini?” tanyanya dengan nada tak ramah.
Dua wanita yang berada disana menatap kearah Caudia.
“Saya?” Caudia menunjuk dirinya sendiri.
Tere ngangguk. “Kerja disini itu yang jadi prioritas otak kalian. Karna saya butuh karyawan yang pintar. Kamu, dandanan menor, baju kekecilan, rok kekecilan. Nyaman kerja kek gini?”
Caudia menunduk, menarik rok, berharap bisa sedikit turun menutupi pahanya.
“Aku kasih waktu lima belas menit. Kamu pulang ganti pakaian dan hapus bedak yang tebel itu. dan lagi, lipstiknya nggak usah kek ondel-ondel begitu.” Menunjuk bibir Caudia yang memang memakai lipstik merah menyala.
“Iya, Bu.” Jawabnya dengan menahan kesal.
Ting!
Lift terbuka. Segera Tere keluar dari sana, diikuti Sally dan dua karyawan yang lain. Sementara Caudia kembali turun untuk ganti kostum.
“Sal, bilang ke bagian depan tentang karyawan tadi itu.” ucapnya sambil terus berjalan menuju ke ruangannya.
“Ok, ntar aku kasih tau Erka.” Jawab Sally yang mengikuti langkah Tere. “Eh, lo kek gini bukan karna dia selingkuhan Bian kan, Re?”
Tere menghentikan langkah, nonyor kepala Sally. “Enggak ya! Gue udah males inget benalu itu.” kembali lanjutin langkah, menengadahkan tangan sebelum membuka pintu ruangannya. “Jadwal gue hari ini ngapain aja?”
Sally merogoh tablet dari dalam tasnya. Menghidupkannya, lalu menyerahkan ke Tere. “Jadwal lo dimulai dari jam sembilan kurang lima belas menit. Kita ada meeting sama semua petinggi perusahaan.”
“Meeting tentang apa?” tanya Tere sambil membuka pintu, nggak jadi nerima tablet yang Sally ulurkan.
“Ini meeting pertemuan dengan beberapa kolage dari Sumatra. Sama Pt. Koil Sejahtera yang dua bulan lalu fix kerjasama sama Eldrax group.” Sally berdiri tepat disamping kursi kebanggaan Tere. Menaruh tablet diatas meja. “Kemungkinan besar Pt. Koil mau ambil beberapa barang lagi dari gudang A. Lalu minta kita untuk kasih diskon yang sepertinya lebih dari 5%.”
Tere mulai menyalakan komputer, ngangguk paham mendengar penjelasan Sally. “Jadi, gue nggak perlu ikutan hadir dalam pertemuan ini kan?”
Sally geleng kepala. “Menurut gue sih nggak harus elo. Ini bisa diwakilkan. Pertemuannya juga agak jauh, Re. Itu di hotel Santika yang ada dibatas kota.”
“Yaudah, gue kirim orang aja. Lagian gue lagi pengen free.” Tersenyum sendiri menatap beberapa jadwalnya hari ini.
“Eh, lo tadi mau cerita apa?” Sally menarik kursi, lalu duduk dengan memperhatikan wajah ceria Tere.
Tere balas menatap Sally serius. “Sal, tanda kita abis gituan apa sih?” tanyanya lirih.
Sally mengerutkan kening. “Gituan?” membeo yang didengar.
Tere ngangguk. “Jan belagak bego. Lo paham.”
Sally menutup mulut untuk menahan tawa. “Lo kenapa tetiba nanyain ini?”
“iiihh, jan ngetawain. Gue tuh ....” menggelembungkan mulut, lalu membuang anginnya kasar.
“Lo abis ngapain sama Ello?” desak Sally.
“Sal,” ragu untuk bercerita, tapi dia sangat penasaran.
“Cerita aja, Re. Gue nggak bakalan ceritain keorang lain.”
“Tadi pagi ya,” Tere memilin jari jemari. “Masa’ cd gue ... basah.” Ucapnya lirih, bahkan hampir tak bisa Sally dengar.
“Cd lo basah?” kembali Sally mengulang kata-kata Tere untuk memastikan.
Tere ngangguk dengan wajah cemberut. “Tapi gue nggak ngerasa ngapa-ngapain. Emang sih, semalam kita bobok disatu ranjang. Tapi kan—“
“Ppfftt ....” Sally menutup mulut untuk tak tertawa.
Tere memukul bahu Sally. “Jan ngetawain!” omelnya.
“Hahaha ....” bukannya berhenti ketawa, Sally malah semakin tak tahan untuk tertawa lepas.
Bhuk!
“Sal!” kesal Tere sampai memukul bahu Sally dengan map diatas meja.
Sally memijat perut yang udah kaku. “Ya, mungkin aja lo ngompol, kan, Re.”
Tere mengerutkan kening, lalu geleng kepala. “Nggak mungkin. Gue bisa bedain pipis sama bukan.” Elaknya dengan wajah serius.
Sementara Sally masih menahan tawa. Dia sangat mengenal Tere, tau jika memang Tere tak paham tentang hal ini. “Menurut gue nih ya, semalam kalian melakukan sesuatu.”
Seketika mata Tere melotot, sangat terkejut mendengar kata-kata Sally. “Maksud lo kita ... ngelakuin hubungan badan?”
“Mungkin bukan itu, Re. Soalnya nggak mungkin lo nggak kerasa jika kalian berhubungan badan, apa lagi untuk pertama kalinya, itu sakit banget. Lo bakalan teriak minta tolong.”
Tere begidik ngeri dengan kedua bahu yang bergerak takut. “Jadi, gue semalam ngapain sama dia?”
“Kenapa lo nggak nanya sama dia? Kenapa nanyanya malah sama gue?”
Tere menegakkan duduknya. Kembali mengingat ekspresi senyum Ello tadi pagi yang menjengkelkan. “Tadi pagi gue udah nanya.”
“Si Ello jawab apa?”
“Dia bilang semalam gue minta kelon.”
Sally kembali tertawa. “Serius? Lo minta kelon? Hahha ....”
Kembali Tere memukul bahu Sally. “Mana gue ingat.”
Telfon diatas meja berbunyi. Segera Sally meraih gagang telfon itu.
“Hallo,”
“Hallo, bu. Di depan ada Bu Amanda. Beliau minta bertemu dengan Ibu Tere.” Suara resepsionis didepan. Karna sudah dipastikan satpam dan karyawan yang ada dilantai bawah tak akan mengijinkan Amanda dan Galih menerobos masuk.
Sally menoleh, menatap Tere yang diam memperhatikannya. “Ada nyokap tiri lo dibawah.”
“Iissh.” Desis Tere dengan sangat kesal. Meminta telfon yang ada ditangan Sally, lalu menempelkan ke telinga. “Kasih telfonnya ke Bu Amanda.”
“Baik, Bu.” Patuh Resa si resepsionis menjawab. “Silakan, Bu. Bu Tere ingin berbicara melalui telfon.” Terdengar suara ramah Resa.
“Hallo, Tere.” Sekarang suara serak ibu tirinya.
“Kenapa kesini?” tanya Tere tanpa basa-basi.
“Kenapa kamu bekukan atm mama?” tanya Amanda dengan lantang. “Kamu jangan pelit! Mentang-mentang Galih nggak ikut kerja di pusat, jadi kamu seenaknya begini?”
Tere membuang nafas lebih dulu. “Galih udah ada gaji pokok, ma. Dia akan nerima gaji tiap tengah bulan. Dua puluh juta aku rasa bisa kok cukupi kebutuhan kalian berdua.”
“Tere! Itu masih kurang. Duit segitu mana cukup. Kamu jangan serakah ya! Mama tau kamu sekarang udah nikah, pasti juga dapat jatah dari suami, kan? Duit kamu bisa dimakan ulet kalo Cuma dianggurin. Mama nggak mau tau, pokoknya kamu harus aktifin lagi atmnya mama.”
Tere menatap telfon, seakan bisa melihat wajah mama tirinya ditelfon itu. kembali menempelkan gagang telfon ke telinga. “ok, aku kasih mama lima juta tiap bulan.”
“Lima juta untuk apa? Beli ikan asin doang!”
“Astaga, ma. Ikan asin beli lima juta bisa buat mandi mama sama Galih satu bulan.”
“Mama minta lima juta sehari.”
Tere memijat pelipis. “Mama kira cari duit kek nyari cebong dikali apa! Heran!” menyerahkan telfon ke Sally, lalu menjatuhkan tubuh ke sandaran kursi.
“Kita akan kembali aktifkan kartu atm ibu. Dan uang akan kami kirim sesuai perintah ibu Tere. Selamat pagi ya, Bu. Sekarang kita mau rapat dulu.” Sally meneruskan kata-kata penutup, lalu menutup telfonnya. Tak peduliin Amanda yang masih ngomel tak karuan.